Selasa, 20 Oktober 2020

Satrawi: Merampungkan Proyeksi Indonesia

Merampungkan Proyeksi Indonesia

Oleh: Hasibullah Satrawi


PADA tahap tertentu pandemi Covid-19 bisa diibaratkan seperti tsunami, sedangkan Indonesia bisa diibaratkan seperti rumah beton yang masih pada tahap pembangunan; sebagian atap belum terpasang secara baik dan kamar-kamar yang ada belum berfungsi secara baik. Pun demikian dengan instalasi listrik dan saluran airnya. Sementara penghuninya sangat padat dengan pendidikan yang belum merata.


Mungkin karena terbuat dari "beton", sejauh ini Indonesia tak goyah (apalagi runtuh-lumpuh) oleh terjangan Covid-19. Namun demikian, jelas terjadi kebocoran di sana-sini. Dari segi elite (baik pusat maupun daerah), nyaris tidak ada kejelasan yang akan didahulukan antara penyelamatan nyawa atau ekonomi (maunya keduanya terselamatkan tapi justru terancam kehilangan kedua-duanya). Sementara dari sisi masyarakat akar rumput kebutuhan ekonomi sehari-hari dan ketidakpercayaan terhadap bahaya wabah ini bercampur menjadi satu. Ditambah lagi di satu sisi, selama ini ada penyakit kronis berupa korupsi yang membuat masyarakat nyaris tidak percaya kepada elitenya (bahwa elite bekerja untuk kebaikan rakyat), dan di sisi yang lain, tidak semua mereka yang terkena Covid-19 mematikan (ada yang bisa sembuh bahkan tanpa gejala). Semua ini telah membuat Covid-19 acap tak terkendali seperti terlihat belakangan dengan jumlah kasus dan kematian yang semakin meningkat.


Sampai hari ini, penulis merasa lingkaran penyebaran Covid-19 tak ubahnya obat nyamuk bakar. Awalnya titik apinya terjadi di Wuhan yang jauh di sana, tapi pelan-pelan semakin dekat ke Indonesia dan terus semakin dekat ke lingkaran kita sebagai pribadi. Belakangan beberapa kolega yang kenal dekat dengan penulis mulai ada yang terkena virus ini, baik dari unsur pejabat pemerintahan maupun rakyat biasa.


Kondisi Darurat


Dilihat dari perkembangan yang ada, dalam hemat penulis, persoalan Covid-19 sudah masuk dalam kondisi darurat. Tidak hanya dilihat dari data-data positif Covid-19 yang terus meningkat, melainkan juga dilihat dari cara masyarakat yang (karena beberapa hal di atas) tidak terlalu percaya dengan bahaya virus ini. Persoalan Covid-19 di Indonesia tak ubahnya benang kusut yang melilit kehidupan bersama; tak mudah menarik ujung pangkal untuk mengurainya. Salah-salah bisa semakin erat membunuh kita semua.


Oleh karenanya, dibutuhkan ketenangan untuk mengatasi situasi darurat ini dengan penetapan skala prioritas yang dijalankan secara konsisten, yaitu penyelamatan nyawa daripada ekonomi (sesuai dengan saran ahli kesehatan dan epidemiolog). Tak berarti ekonomi tidak penting, tapi seseorang butuh hidup terlebih dahulu sebelum berbicara tentang kebutuhan dalam hidupnya.


Peran kepemimpinan nasional tentu sangat dibutuhkan dalam situasi ini. Ibarat menegakkan benang basah, kepemimpinan nasional bisa menjadi pucuk pimpinan yang bisa menegakkan kepemimpinan-kepemimpinan yang ada di daerah hingga di level paling bawah, minimal dalam menghadapi situasi darurat ini. Dengan kata lain, pemerintah pusat atau badan yang ditunjuk untuk menangani Covid-19 (seperti satgas) harus diberikan wewenang untuk menetapkan wilayah mana yang sudah masuk situasi darurat serta langkah-langkah yang harus dilakukan oleh daerah tersebut untuk bisa keluar dari situasi darurat yang ada.


Adapun pemerintah daerah setempat bisa mendukung sepenuhnya langkah-langkah yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh Satgas. Setelah wilayah tersebut berhasil melewati masa-masa darurat, satgas bisa menyerahkan kembali "pengelolaan daerah" kepada pemerintah daerah (pemda) dengan semangat pemulihan ekonomi. Sebagaimana pemda sebelumnya mendukung penuh kerja-kerja satgas pada masa darurat, satgas juga perlu membantu penuh pemda dalam upaya menghadapi persoalan ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19. Hingga penanganan ekonomi bisa berjalan dan penanganan Covid-19 bisa tetap terkontrol dalam satu manajemen kepemimpinan.

 

Dalam hemat penulis, kondisi ini akan jauh lebih baik daripada penanganan Covid-19 diserahkan kepada para kepala daerah dengan pembagian tugas yang tidak efektif dengan pemerintah pusat atau satgas. Hingga menimbulkan kesan pemerintah daerah selama ini berjalan sendiri-sendiri, tak jarang saling bertentangan satu sama lain, bahkan tak jarang seakan berseberangan dengan pemerintah pusat.


Pasca-Covid-19


Bila nanti badai Covid-19 sudah berlalu, semua pihak harus segera mengambil peran untuk merampungkan Indonesia yang masih pada tahap proyeksi maupun pembangunan ini.


Hingga Indonesia yang diharapkan menjadi rumah bersama bisa segera terwujud menaungi seluruh penghuninya dengan optimalisasi "kamar-kamar" yang ada.


Ada beberapa hal yang harus dilakukan ke depan untuk merampungkan proyeksi Indonesia. Salah satunya adalah pemerataan pembangunan, baik fisik maupun nonfisik. Pada masa pandemi, sangat terlihat dan terasa dampak dari pembangunan yang tidak merata. Sebagian daerah memiliki fasilitas layak untuk kebutuhan penanganan Covid-19 (seperti isolasi), sementara sebagian wilayah lain tak memiliki fasilitas yang dibutuhkan.


Pun demikian dengan pembangunan nonfisik seperti data kependudukan dengan segala kriteria dan klasifikasi yang ada; siapa saja yang membutuhkan bantuan? Ada berapa jumlahnya? Bantuan apa untuk kelompok yang mana? Semua pertanyaan di atas acap menjadi gelap gulita karena lemahnya data. Hingga akhirnya banyak bantuan yang tidak terdistribusikan secara tepat sasaran. Sangat miris karena perdebatan soal data kerap kali terjadi, seperti pada momen pemilihan umum. Bahkan, tidak jarang yang berkembang menjadi sengketa dan gugatan ke pengadilan. Kondisi ini terasa sangat menyedihkan mengingat usia Republik yang sudah hampir satu abad. Tapi, sistem data kependudukan belum baik dan efektif hingga hari ini.


Pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan adalah pekerjaan besar berikutnya yang harus segera diselesaikan setelah pandemi berlalu. Ketidakmerataan pendidikan bisa dilihat dari infrastruktur sekolah yang banyak tidak memenuhi kategori sekolah sehat sesuai dengan protokol kesehatan. Alih-alih sistem pendidikan untuk kebutuhan pembelajaran jarak jauh dengan para siswa yang berada di rumah masing-masing, di sebagian kota besar, sistem pembelajaran jarak jauh masih bisa berjalan (walau banyak kekurangan). Sementara di sebagian tempat yang lain (seperti di perdesaan dan pedalaman) pelajaran jarak jauh sama sekali tidak bisa berjalan karena kurangnya infrastruktur penunjang, seperti terkait jaringan internet, komputer atau laptop dan yang lainnya.


Problem yang tak kalah berat justru terkait dengan mutu pendidikan. Hal ini bisa dilihat dari rasionalitas publik, khususnya dalam merespons pandemi seperti Covid-19. Tingginya jumlah masyarakat yang tidak terlalu memerhatikan bahaya Covid-19 menunjukkan lemahnya rasionalitas publik. Sementara lemahnya rasionalitas publik salah satunya disebabkan oleh rendahnya mutu pendidikan.


Pekerjaan besar yang tak kalah mendesak setelah Covid-19 berlalu adalah penataan sistem kerja pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagian kepala daerah bersikap tak ubahnya presiden kecil. Bahkan, kadang-kadang nyaris menihilkan keberadaan pemerintahan pusat. Mirisnya adalah semua ini terjadi salah satunya karena lemahnya manajemen dari pemerintah pusat yang kadang-kadang terasa tidak menguasai persoalan bahkan cenderung disorientasi.


Pekerjaan besar lain adalah tata kelola pemerintahan yang bersih dengan adanya aparat negara yang amanah. Hingga masyarakat dapat memercayai secara penuh bahwa yang dilakukan aparat negara untuk kepentingan publik semata-mata (termasuk dengan mengikuti seluruh arahan dan kebijakan yang ada). Meminjam istilah ulama terkemuka pada abad pertengahan yang sangat kaya dengan ilmu pemerintahan, Ibnu Taymiyyah, ada hubungan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus menjalankan segala tugas yang ada secara amanah hingga dipercaya oleh masyarakat.


Sementara masyarakat harus menaati kebijakan pemerintah hingga tercapai kemaslahatan bersama. Dan, hal besar terakhir yang mendesak dilakukan setelah pandemi adalah upaya-upaya untuk merangkul sebagian warga yang belum menerima Indonesia dengan semua sistem yang berlaku, apa pun alasannya. Indonesia dianugerahi wilayah yang sangat luas, tapi tak jarang terasa sangat sempit ketika berhadapan dengan sebagian masyarakat yang belum menerima NKRI. Seakan sudah tidak ada ruang lagi untuk menampung dan merangkul mereka agar tetap berada di bawah naungan NKRI. Padahal, mereka sama-sama mengalami tumpah darah di atas bumi Nusantara. []

 

KORAN SINDO, 07 Oktober 2020

Hasibullah Satrawi | Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar