Merampungkan Proyeksi Indonesia
Oleh: Hasibullah Satrawi
PADA tahap tertentu pandemi Covid-19 bisa diibaratkan
seperti tsunami, sedangkan Indonesia bisa diibaratkan seperti rumah beton yang
masih pada tahap pembangunan; sebagian atap belum terpasang secara baik dan
kamar-kamar yang ada belum berfungsi secara baik. Pun demikian dengan instalasi
listrik dan saluran airnya. Sementara penghuninya sangat padat dengan
pendidikan yang belum merata.
Mungkin karena terbuat dari "beton", sejauh
ini Indonesia tak goyah (apalagi runtuh-lumpuh) oleh terjangan Covid-19. Namun
demikian, jelas terjadi kebocoran di sana-sini. Dari segi elite (baik pusat
maupun daerah), nyaris tidak ada kejelasan yang akan didahulukan antara
penyelamatan nyawa atau ekonomi (maunya keduanya terselamatkan tapi justru
terancam kehilangan kedua-duanya). Sementara dari sisi masyarakat akar rumput
kebutuhan ekonomi sehari-hari dan ketidakpercayaan terhadap bahaya wabah ini
bercampur menjadi satu. Ditambah lagi di satu sisi, selama ini ada penyakit
kronis berupa korupsi yang membuat masyarakat nyaris tidak percaya kepada
elitenya (bahwa elite bekerja untuk kebaikan rakyat), dan di sisi yang lain,
tidak semua mereka yang terkena Covid-19 mematikan (ada yang bisa sembuh bahkan
tanpa gejala). Semua ini telah membuat Covid-19 acap tak terkendali seperti
terlihat belakangan dengan jumlah kasus dan kematian yang semakin meningkat.
Sampai hari ini, penulis merasa lingkaran penyebaran
Covid-19 tak ubahnya obat nyamuk bakar. Awalnya titik apinya terjadi di Wuhan
yang jauh di sana, tapi pelan-pelan semakin dekat ke Indonesia dan terus
semakin dekat ke lingkaran kita sebagai pribadi. Belakangan beberapa kolega
yang kenal dekat dengan penulis mulai ada yang terkena virus ini, baik dari
unsur pejabat pemerintahan maupun rakyat biasa.
Kondisi Darurat
Dilihat dari perkembangan yang ada, dalam hemat
penulis, persoalan Covid-19 sudah masuk dalam kondisi darurat. Tidak hanya
dilihat dari data-data positif Covid-19 yang terus meningkat, melainkan juga
dilihat dari cara masyarakat yang (karena beberapa hal di atas) tidak terlalu
percaya dengan bahaya virus ini. Persoalan Covid-19 di Indonesia tak ubahnya
benang kusut yang melilit kehidupan bersama; tak mudah menarik ujung pangkal
untuk mengurainya. Salah-salah bisa semakin erat membunuh kita semua.
Oleh karenanya, dibutuhkan ketenangan untuk mengatasi
situasi darurat ini dengan penetapan skala prioritas yang dijalankan secara
konsisten, yaitu penyelamatan nyawa daripada ekonomi (sesuai dengan saran ahli
kesehatan dan epidemiolog). Tak berarti ekonomi tidak penting, tapi seseorang
butuh hidup terlebih dahulu sebelum berbicara tentang kebutuhan dalam hidupnya.
Peran kepemimpinan nasional tentu sangat dibutuhkan
dalam situasi ini. Ibarat menegakkan benang basah, kepemimpinan nasional bisa
menjadi pucuk pimpinan yang bisa menegakkan kepemimpinan-kepemimpinan yang ada
di daerah hingga di level paling bawah, minimal dalam menghadapi situasi
darurat ini. Dengan kata lain, pemerintah pusat atau badan yang ditunjuk untuk
menangani Covid-19 (seperti satgas) harus diberikan wewenang untuk menetapkan
wilayah mana yang sudah masuk situasi darurat serta langkah-langkah yang harus
dilakukan oleh daerah tersebut untuk bisa keluar dari situasi darurat yang ada.
Adapun pemerintah daerah setempat bisa mendukung
sepenuhnya langkah-langkah yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh Satgas.
Setelah wilayah tersebut berhasil melewati masa-masa darurat, satgas bisa
menyerahkan kembali "pengelolaan daerah" kepada pemerintah daerah
(pemda) dengan semangat pemulihan ekonomi. Sebagaimana pemda sebelumnya
mendukung penuh kerja-kerja satgas pada masa darurat, satgas juga perlu membantu
penuh pemda dalam upaya menghadapi persoalan ekonomi yang ditimbulkan oleh
Covid-19. Hingga penanganan ekonomi bisa berjalan dan penanganan Covid-19 bisa
tetap terkontrol dalam satu manajemen kepemimpinan.
Dalam hemat penulis, kondisi ini akan jauh lebih baik daripada penanganan Covid-19 diserahkan kepada para kepala daerah dengan pembagian tugas yang tidak efektif dengan pemerintah pusat atau satgas. Hingga menimbulkan kesan pemerintah daerah selama ini berjalan sendiri-sendiri, tak jarang saling bertentangan satu sama lain, bahkan tak jarang seakan berseberangan dengan pemerintah pusat.
Pasca-Covid-19
Bila nanti badai Covid-19 sudah berlalu, semua pihak
harus segera mengambil peran untuk merampungkan Indonesia yang masih pada tahap
proyeksi maupun pembangunan ini.
Hingga Indonesia yang diharapkan menjadi rumah
bersama bisa segera terwujud menaungi seluruh penghuninya dengan optimalisasi
"kamar-kamar" yang ada.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan ke depan untuk
merampungkan proyeksi Indonesia. Salah satunya adalah pemerataan pembangunan,
baik fisik maupun nonfisik. Pada masa pandemi, sangat terlihat dan terasa
dampak dari pembangunan yang tidak merata. Sebagian daerah memiliki fasilitas
layak untuk kebutuhan penanganan Covid-19 (seperti isolasi), sementara sebagian
wilayah lain tak memiliki fasilitas yang dibutuhkan.
Pun demikian dengan pembangunan nonfisik seperti data
kependudukan dengan segala kriteria dan klasifikasi yang ada; siapa saja yang
membutuhkan bantuan? Ada berapa jumlahnya? Bantuan apa untuk kelompok yang
mana? Semua pertanyaan di atas acap menjadi gelap gulita karena lemahnya data.
Hingga akhirnya banyak bantuan yang tidak terdistribusikan secara tepat
sasaran. Sangat miris karena perdebatan soal data kerap kali terjadi, seperti
pada momen pemilihan umum. Bahkan, tidak jarang yang berkembang menjadi
sengketa dan gugatan ke pengadilan. Kondisi ini terasa sangat menyedihkan
mengingat usia Republik yang sudah hampir satu abad. Tapi, sistem data
kependudukan belum baik dan efektif hingga hari ini.
Pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan adalah
pekerjaan besar berikutnya yang harus segera diselesaikan setelah pandemi
berlalu. Ketidakmerataan pendidikan bisa dilihat dari infrastruktur sekolah
yang banyak tidak memenuhi kategori sekolah sehat sesuai dengan protokol
kesehatan. Alih-alih sistem pendidikan untuk kebutuhan pembelajaran jarak jauh
dengan para siswa yang berada di rumah masing-masing, di sebagian kota besar,
sistem pembelajaran jarak jauh masih bisa berjalan (walau banyak kekurangan).
Sementara di sebagian tempat yang lain (seperti di perdesaan dan pedalaman)
pelajaran jarak jauh sama sekali tidak bisa berjalan karena kurangnya
infrastruktur penunjang, seperti terkait jaringan internet, komputer atau
laptop dan yang lainnya.
Problem yang tak kalah berat justru terkait dengan
mutu pendidikan. Hal ini bisa dilihat dari rasionalitas publik, khususnya dalam
merespons pandemi seperti Covid-19. Tingginya jumlah masyarakat yang tidak
terlalu memerhatikan bahaya Covid-19 menunjukkan lemahnya rasionalitas publik.
Sementara lemahnya rasionalitas publik salah satunya disebabkan oleh rendahnya
mutu pendidikan.
Pekerjaan besar yang tak kalah mendesak setelah
Covid-19 berlalu adalah penataan sistem kerja pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Sebagian kepala daerah bersikap tak ubahnya presiden kecil. Bahkan,
kadang-kadang nyaris menihilkan keberadaan pemerintahan pusat. Mirisnya adalah
semua ini terjadi salah satunya karena lemahnya manajemen dari pemerintah pusat
yang kadang-kadang terasa tidak menguasai persoalan bahkan cenderung
disorientasi.
Pekerjaan besar lain adalah tata kelola pemerintahan
yang bersih dengan adanya aparat negara yang amanah. Hingga masyarakat dapat
memercayai secara penuh bahwa yang dilakukan aparat negara untuk kepentingan
publik semata-mata (termasuk dengan mengikuti seluruh arahan dan kebijakan yang
ada). Meminjam istilah ulama terkemuka pada abad pertengahan yang sangat kaya
dengan ilmu pemerintahan, Ibnu Taymiyyah, ada hubungan timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus menjalankan segala tugas yang ada
secara amanah hingga dipercaya oleh masyarakat.
Sementara masyarakat harus menaati kebijakan
pemerintah hingga tercapai kemaslahatan bersama. Dan, hal besar terakhir yang
mendesak dilakukan setelah pandemi adalah upaya-upaya untuk merangkul sebagian
warga yang belum menerima Indonesia dengan semua sistem yang berlaku, apa pun
alasannya. Indonesia dianugerahi wilayah yang sangat luas, tapi tak jarang
terasa sangat sempit ketika berhadapan dengan sebagian masyarakat yang belum
menerima NKRI. Seakan sudah tidak ada ruang lagi untuk menampung dan merangkul
mereka agar tetap berada di bawah naungan NKRI. Padahal, mereka sama-sama
mengalami tumpah darah di atas bumi Nusantara. []
KORAN SINDO, 07 Oktober 2020
Hasibullah Satrawi | Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar