KH Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wa al-Muta’allim melanjutkan paparannya tentang bahaya kebodohan dan urgensi ilmu untuk kehidupan manusia.
Dalam pandangan Hadratussyekh, musibah terbesar yang menimpa manusia bukan kelaparan, kesulitan rezeki, sakit, dan lain sebagainya. Menurut beliau musibah paling buruk adalah kebodohan. Sebaliknya, pemberian Tuhan yang terbaik bukanlah harta yang melimpah, pangkat yang tinggi dan lainnya, namun karunia terbesar sesungguhnya adalah akal. Dengan akal manusia dapat menyerap ilmu, ia dapat membedakan antara yang haq dan batil.
KH Hasyim Asy’ari mengutip ucapan sebagian ulama salaf:
خير المواهب العقل وشر المصائب الجهل
“Pemberian Allah yang terbaik adalah akal, seburuk-buruknya musibah adalah kebodohan.”
KH Hasyim Asy’ari melanjutkan penjelasannya bahwa ilmu dapat menjamin keselamatan manusia dari tipu daya setan, dapat menjaga dari serangan orang yang dengki dan menjadi petunjuk bagi akal. Keterangan ini beliau kutip dari sebagian ulama.
Dalam tema yang senada, Hadratussyekh mengutip sebuah syair:
“Sungguh alangkah bagusnya akal, orang terpuji adalah yang berakal. Sungguh sangat buruk kebodohan, orang tercela adalah orang bodoh.”
“Sungguh tidak layak pembicaraan seseorang dalam perdebatan, sementara kebodohan menghancurkannya ketika ia dihujani berbagai pertanyaan.”
“Ilmu adalah hal yang paling mulia yang digapai seorang lelaki, maka siapa saja yang tak punya ilmu maka bukanlah lelaki sejati.”
“Tuntutlah ilmu lalu amalkanlah wahai saudaraku. karena ilmu merupakan perhiasan bagi orang yang mengamalkannya.”
Seluruh aktivitas yang berkaitan dengan ilmu adalah hal yang positif dan memiliki keutamaan yang besar. Sahabat Mu’adz Bin Jabal berkata “tuntutlah ilmu karena mempelajari ilmu adalah kebaikan, menuntutnya adalah ibadah, mengkajinya adalah tasbih, membahasnya adalah jihad, mencurahkan jerih payah untuknya adalah qurbah (mendekatkan diri kepada Allah), serta mengajarkannya kepada orang yang tidak mengerti adalah sedekah.”
Sufi kesohor, Fudlail bin ‘Iyadl juga berkata “Orang alim yang mengajarkan ilmunya disebut sebagai orang besar di kerajaan-kerajaan langit.”
Pakar hadits ternama, Sufyan bin ‘Uyaynah berkata, “Orang yang derajatnya paling tinggi di sisi Allah ﷻ adalah orang yang berada di antara Allah ﷻ dan makhluk-Nya (menjadi perantara). Yaitu para nabi dan ulama.”
Dalam keterangan yang lain, Sufyan bin ‘Uyaynah menegaskan, “Tak ada sesuatu apa pun di dunia yang lebih utama dari derajat kenabian. Dan tak ada sesuatu apa pun setelah derajat kenabian yang lebih utama dari ilmu dan fiqih.” Beliau ditanya tentang sosok yang dibicarakan dalam statemennya tersebut. Sufyan menjawab, “(Saya sedang membicarakan) para fuqaha seluruhnya.”
Pakar fiqih yang mengamalkan ilmunya disebut oleh Imam al-Syafi’i sebagai kekasih Allah. Imam al-Syafi’i berkata “Andai saja para pakar fiqih yang mengamalkan ilmunya bukanlah para wali (kekasih) Allah, maka Allah tidak memiliki wali.”
KH Hasyim Asy’ari selanjutnya menegaskan siapakah orang berilmu. Menurut beliau, orang berilmu adalah mereka yang senantiasa belajar, ia tetap memburu ilmu di mana pun dan kepada siapa pun, bahkan kepada teman sebaya atau yang lebih muda usianya. Abdullah bin al-Mubarak berkata:
لا يزال الرجل عالما ما طلب العلم فإذا ظن أنه قد علم فقد جهل
“Seseorang senantiasa disebut alim (berilmu) selama ia mencari ilmu. Bila ia menduga telah alim, maka sungguh ia telah bodoh.”
Syekh Waki’, guru Imam al-Syafi’i berkata:
لا يكون الرجل عالما حتى يسمع ممن هو أسن منه وممن هو مثله وممن هو دونه
“Seorang lelaki tidak bisa disebut alim sehingga ia bersedia mendengarkan (ilmu) dari orang yang lebih tua, seumuran dan yang lebih muda darinya.”
Di bagian akhir bab, KH Hasyim Asy’ari memaparkan kematian orang alim adalah kehilangan besar bagi umat. Saat tidak ada lagi pakar agama di muka bumi, mimbar pengajian dan podium khotbah akan diisi oleh orang-orang bodoh, mereka ditanya tentang masalah agama lalu berfatwa tanpa landasan ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.
Sufyan al-Tsauri berkata, “Hal-hal yang mengherankan telah mewabah. Di akhir zaman lebih mewabah lagi. Berbagai malapetaka telah menumpuk, dan malapetaka dalam perkara agama lebih menumpuk lagi. Musibah-musibah adalah hal yang besar, dan kematian para ulama lebih besar lagi. Sesungguhnya kehidupan orang alim menjadi rahmat bagi umat, kematiannya merupakan lubang kecacatan bagi mereka.”
Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari sahabat Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash beliau berkata, saya telah mendengar Nabi Muhammad ﷺ bersabda “Sesungguhnya Allah ﷻ tidak mencabut ilmu begitu saja, akan tetapi Allah mencabutnya dengan kewafatan para ulama, sampai-sampai ketika tidak tersisa satu ulama pun, manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lantas mereka ditanya dan berfatwa tanpa dasar ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.”
Dari sekian uraian yang telah dipaparkan, dapat dipahami bahwa belajar dan mengajarkan ilmu adalah ibadah yang paling utama dibandingkan amal ibadah lainnya. Ulama sebagai pewaris para Nabi adalah manusia terbaik yang dapat menuntun kehidupan masyarakat.
Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith menegaskan:
فتأمل رحمك الله هذه النصوص والأدلة والآثار تعرف من ذلك أن العلم أي تعلمه وتعليمه أرفع وأفضل من سائر الأعمال التي يتقرب بها إلى الله تعالى رب اليريات فهو من أعظم العبادات والفضائل المستجادات وأن الاشتغال به من أفضل الطاعات وأولى ما أنفقت فيه نفائس الأوقات وأن العلماء أفضل الناس وأرفعهم قدرا وأحسنهم ذكرا وأشرفهم فخرا.
“Berpikirlah tentang beberapa nash, dalil dan ucapan sahabat ini –semoga Allah merahmatimu-, maka engkau mengetahui bahwa belajar dan mengajarkan ilmu lebih tinggi dan utama dari pada sekian amal-amal yang dibuat mendekatkan diri di sisi Allah, sang Tuhan semesta. Maka belajar dan mengajarkan ilmu termasuk lebih agung-agungnya ibadah dan keutamaan-keutamaan yang baik. Sesungguhnya menyibukkan diri dengannya termasuk lebih utama-utamanya ketaatan dan lebih utamanya aktivitas yang di dalamnya dialokasikan waktu-waktu yang berharga. Sesungguhnya para ulama lebih utamanya manusia, paling tinggi derajatnya, paling bagus reputasinya serta paling mulia kebanggaannya.” (al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Manhaj al-Sawi, hal.101).
Semoga kita ditakdirkan oleh Allah sebagai orang yang senantiasa belajar dan mengajarkan ilmu hingga ajal menjemput. Amin. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar