Rabu, 14 Oktober 2020

Azyumardi: Pilkada Mau ke Mana?

Pilkada Mau ke Mana?

Oleh: Azyumardi Azra

 

”As Covid-19 has swept one country to another, leaving death, despair, and economic devastation in its path, it has given rise in many states to the increased assertion of authority by political executives… resulted in erosion and weakening of democratic norms….”

 

(Democracy and the Rise of Authoritarianism in Covid-19 World, Yale Macmillan Center, 2020)

 

Pemerintah, DPR, dan KPU akhirnya memutuskan tidak menunda Pilkada 2020 yang dilaksanakan serentak di 270 daerah pada 9 Desember. Keputusan rawe-rawe rantas malang-malang putung—pokoknya jalan terus walau banyak rintangan.

 

Peningkatan otoritas pejabat politik. Tak mau dengar aspirasi publik. Erosi dan pelemahan norma demokrasi. Demokrasi berhadapan dengan kebangkitan otoritarianisme, seperti kutipan di atas.

 

Pilkada mau ke mana? Pandemi Covid-19 terus merajalela di Tanah Air. Sampai pertengahan pekan ini, warga positif Covid-19 mencapai lebih dari 280.000 orang, yang meninggal melangkahi angka psikologis 10.000.

 

Pemerintah agaknya boleh ”menghibur diri”, warga terinfeksi yang sembuh sekitar 210.000 jiwa. Namun, mereka yang harus dirawat terus bertambah, melewati 61.000 jiwa, sehingga membuat rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain mesti ditambah.

 

Banyak penyelenggara Pilkada 2020 juga terpapar Covid-19. Hingga akhir pekan lalu, 92 komisioner KPU dan KPU daerah terjangkit. Sementara mereka menjalani perawatan, bisa efektifkah penyelenggaraan pilkada?

 

Dengan melanjutkan pilkada pada 9 Desember, pemerintah menolak imbauan banyak kalangan. M Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI 2004-2009 dan 2014-2019, dalam artikelnya di Kompas berjudul ”Pilihan Menyelamatkan Rakyat” menulis: ”Jalan yang terbaik, demi kepentingan rakyat, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah seharusnya ditunda hingga tahun depan setelah vaksin ditemukan dan benar-benar efektif mencegah penyebaran Covid-19. Kita bisa menyelenggarakannya pada Juni 2021.”

 

Organisasi kemasyarakatan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, dan banyak ormas Islam lain, Konferensi Wali Gereja Indonesia, serta Persatuan Umat Buddha Indonesia juga mengimbau pemerintah menunda Pilkada 2020. Ormas Islam memandang, di tengah masih merajalelanya Covid-19, pilkada mengandung banyak mudharat dan mafsadat. Padahal, menjaga kehidupan (hifz al-nafs) menurut ketentuan agama (maqashid al-syari’ah) lebih utama.

 

Banyak lembaga swadaya masyarakat untuk advokasi demokrasi, hak asasi manusia, dan good governance juga meminta penundaan pilkada.

 

Harian Kompas sepanjang pekan lalu mengimbau pemerintah agar serius mempertimbangkan sebelum melanjutkan Pilkada 2020. Lihat judul berita utama Kompas: ”Timbang Serius Risiko Pilkada” (20/9), ”Desakan Penundaan Pilkada 2020 Menguat” (21/9). Lalu nada getir: ”Suara Publik Diabaikan” (22/9) dan ”Kematian akibat Covid-19 Tembus 10.000 Jiwa” (25/9).

 

Mempertimbangkan peningkatan Covid-19 dan argumen banyak pihak yang meminta penundaan pilkada, saya memandang perlu adanya solidaritas kemanusiaan kepada korban Covid-19 yang wafat atau berjuang di rumah sakit. Saya pribadi terbuka menyatakan ”golput” atau tidak memberikan suara pada Pilkada 2020 yang juga dilaksanakan di wilayah kota domisili saya.

 

Saya berpendapat semua pihak patut menunjukkan empati kepada korban Covid-19. Menjaga kehidupan kemanusiaan jauh lebih penting daripada memperebutkan kekuasaan lewat pilkada di tengah pandemi.

 

Saya tidak tahu pasti berapa besar dampak pernyataan pribadi itu. Pernyataan itu bukan kampanye agar pemilih menjadi golput. Menjadi golput atau tidak adalah pertimbangan dan pilihan pribadi masing-masing sesuai kebebasan beraspirasi dalam demokrasi. Tanpa golput pun partisipasi pemilih di Pilkada 2020 hampir bisa dipastikan rendah. KPU terlalu percaya diri dengan pernah memproyeksikan partisipasi pemilih sekitar 70 persen.

 

Mau ke mana pilkada? Pemerintah dan KPU perlu lebih cermat sebelum melanjutkan pilkada. Adalah kesia-siaan dan pemborosan dana, tenaga, dan waktu apabila pilkada dilanjutkan dengan partisipasi pemilih rendah. Lembaga Survei Indonesia dalam survei awal September 2020 menyatakan, 20-46 persen responden enggan datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Persentase ini bisa meningkat dengan kian merebaknya Covid-19.

 

Hal itu berpotensi menurunkan secara drastis partisipasi pemilih dibandingkan pilkada sebelumnya. Partisipasi pemilih di tiga gelombang pilkada serentak ialah 73,24 persen (2018), 74,2 persen (2017), dan 70 persen (2015).

 

Rendahnya partisipasi karena banyak pemilih khawatir terinfeksi Covid-19 walau protokol kesehatan lebih ketat diterapkan KPU sejak pekan lalu terkait kampanye. Di dua hari pertama kampanye (26-27/9/2020) terjadi 19 pelanggaran. Tak jelas sanksi apa terhadap pelanggar dan siapa yang memutuskan sanksi; ”Ada Potensi Saling Lempar Tanggung Jawab”, berita utama Kompas (30/9).

 

Juga ada anjuran pihak berwenang agar warga berusia 50 tahun ke atas tidak keluar rumah kecuali untuk kepentingan mendesak. Apakah datang ke TPS kebutuhan mendesak? Pemilu di Indonesia sukarela, bukan wajib yang mengandung sanksi hukum jika tidak mencoblos.

 

Sangat mungkin kalangan pemilih Muslim lebih mengikuti imbauan ormas Islam. Bagi mereka, ada fatwa shalat berjemaah fardu di masjid yang bisa diganti shalat di rumah; qiyas-nya bisa tak mencoblos yang ”tidak wajib” secara fiqhiyah.

 

Tingkat partisipasi minim jelas mengakibatkan rendahnya legitimasi pemenang pilkada. Keadaan ini kemudian dapat mengakibatkan tidak efektifnya pemerintahan yang bakal dijalankan pemenang.

 

Pilkada mau ke mana? Pemerintah, DPR, dan KPU mesti mempertimbangkan semua nalar dan fenomena terkait. Sebaiknya Pilkada 2020 ditunda sampai wabah Covid-19 melandai ketika warga terinfeksi sekitar 500 atau kurang per hari. Jika mau lebih pasti dan cepat, dapat dilaksanakan pilkada tak langsung lewat DPRD dalam waktu tiga bulan. Pilkada lewat DPRD tak melanggar UUD 1945; Pasal 18 menyatakan, ”gubernur, bupati/wali kota dipilih secara demokratis”—tak harus pemilihan langsung.

 

Presiden Joko Widodo dapat melakukan terobosan politik dengan mengeluarkan perppu pilkada lewat DPRD. Langkah ini bisa mengurangi politik uang yang merusak massa pemilih akar rumput dan merusak demokrasi secara keseluruhan. []

 

KOMPAS, 1 Oktober 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar