Partai Perhimpunan Nasional dan Wajah Baru Arab Saudi
Oleh: Zuhairi Misrawi
Setelah 88 tahun Kerajaan Arab Saudi didirikan, aroma reformasi masih jauh dari harapan. Muhammad bin Salman (MBS) atas restu Raja Salman bin Abdul Aziz terus melakukan manuver reformasi dan modernisasi kota kaya minyak itu menyongsong 2030. Tapi peta jalan reformasi yang digariskan MBS masih menyisakan persoalan yang serius, karena reformasi dan modernisasi dilakukan sekadar melanggengkan hasrat kekuasaan MBS.
Faktanya, MBS mempunyai mimpi besar untuk dirinya sendiri, bukan untuk mimpi besar warga Arab Saudi. Pasca pembunuhan secara sadis dan tidak manusiawi terhadap Jamal Kashoggi, warga Arab Saudi dan warga dunia mulai kehilangan harapan terhadap MBS. Pasalnya, jika dulu Ibnu Saud menggunakan Wahabisme sebagai justifikasi kekuasaan yang berlumuran darah, saat ini MBS menggunakan moderasi sebagai justifikasi untuk melanjutkan kekuasaan yang tidak kalah kejamnya. Ribuan ulama yang ditangkap dan dihabisi nyawanya karena menolak tunduk pada ambisi kekuasaan MBS.
Atas dasar itu, sejumlah warga Arab Saudi yang tinggal di pengasingan mendirikan partai politik, Partai Perhimpunan Nasional (Hizb al-Tajammu' al-Wathani). Salah satu pendirinya adalah Madawy al-Rasheed, seorang guru besar yang saat ini mengajar di Oxford, Inggris bersama sejumlah aktivis asal Arab Saudi lainnya yang kini tinggal di Amerika Serikat dan Kanada. Antara lain Abdullah Alaoudh dan Ahmed al-Mshikhs.
Mereka mempunyai keresahan yang sama terhadap realitas kepemimpinan MBS yang akan membawa Arab Saudi pada jurang kehancuran. Satu-satunya jalan bagi masa depan Arab Saudi yang lebih baik adalah partisipasi publik secara transparan, akuntabel, dan rasional dalam setiap kebijakan Arab Saudi. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan membuka jalan demokrasi dan hak asasi manusia bagi negeri yang menjadi pelayan bagi dua kota suci umat Islam, Mekah dan Madinah.
Partai Perhimpunan Nasional didirikan pada 23 September yang lalu bersamaan dengan Forum G-20 yang akan digelar pada November di Riyadh. Para pendiri partai memandang rezim Arab Saudi saat ini telah menggunakan kekerasan dan tindakan represif terhadap warga Arab Saudi, di samping tidak ada penegakan hukum yang adil dan bebas. Langkah yang harus diambil, menurut mereka, yaitu perlu segera digelar pemilu legislatif untuk memilih para wakil rakyat yang dapat mengontrol dan mengkritisi langkah yang diambil oleh lembaga eksekutif, khususnya MBS.
Setelah MBS menjadi putera mahkota, dan digadang-gadang akan menjadi suksesor Raja Salman, masa depan Arab Saudi makin suram. Pasalnya langkah dan manuver MBS semakin mengancam warga dan kepentingan nasional Arab Saudi. Bayangkan, uang melimpah yang dimiliki negeri kaya minyak ini justru digunakan untuk membunuh saudara-saudara Muslim lainnya di Yaman dan Bahrain selain memperkaya lingkaran kerajaan. Akibatnya, keamanan dalam negeri justru makin terancam, karena Houthi kerapkali melakukan pembalasan ke jantung kekuasaan Arab Saudi di Riyadh. Rudal-rudal Houthi mampu memporak-porandakkan tempat-tempat strategis.
Secara umum, kebijakan-kebijakan yang diambil MBS, baik di dalam negeri maupun di luar negeri sudah terbukti gagal total. Warga Arab Saudi sekarang merasa terancam, akankah mereka akan ditangkap dan diperlakukan secara represif oleh MBS setelah adanya ribuan penangkapan terhadap ulama, aktivisi, dan kalangan profesional. Belum lagi, mereka yang selama ini menjadi korban kebijakan luar negeri MBS, sewaktu-waktu dapat mengancam keamanan dalam negeri.
Kehadiran partai politik di Arab Saudi sudah menjadi keniscayaan di tengah otoritarianisme MBS. Kebijakan-kebijakan MBS tidak bisa dibiarkan seenaknya melenggang kangkung. Perlu lembaga dan komunitas yang menguji dan mengontrol kebijakan MBS layaknya negara-negara demokratis lainnya, atau seperti Kuwait yang memberikan keleluasaan kepada parlemen untuk mengkritisi dan mengontrol kebijakan eksekutif, termasuk rezim yang berkuasa.
Kepercayaan dunia internasional terhadap Arab Saudi semakin merosot tajam akibat akrobat politik yang dimainkan MBS. Visi 2030 sepertinya hanya akan menjadi kenangan, karena setelah kematian Jamal Kashoggi, dunia internasional semakin tidak percaya terhadap MBS. Mereka menghendaki masa depan Arab Saudi tanpa MBS.
Maka dari itu, wajah baru Arab Saudi harus
benar-benar ditentukan oleh warga Arab Saudi. Warga mesti berdaulat penuh,
sebagaimana berlaku dalam negara-negara demokratis lainnya. Setiap warga
diberlakukan secara adil dan setara tanpa ancaman dari siapapun. Begitu pula,
masa depan Arab Saudi dapat ditentukan oleh warga secara luas dari berbagai
faksi politik dan kelompok masyarakat sipil. MBS harus tunduk terhadap
konstitusi dan kepentingan warga Arab Saudi.
Namun, sejujurnya, jalan ke arah itu tidak mudah. Sebab rezim Arab Saudi saat ini, khususnya MBS dan Wahabisme masih mengharamkan demokrasi dan partai politik. MBS dan elite politik Arab Saudi sadar betul bahwa sekali membuka kran demokrasi dan partai politik, maka segala kemewahan dan keistimewaan hidup yang mereka rasakan akan hilang seketika diberlakukan demokrasi. Korupsi yang dilakukan lingkaran kerajaan dapat dengan mudah diungkap jika reformasi peradilan yang bebas dan adil diberlakukan.
Inisiatif yang diambil oleh Madawy Rasheed dan kawan-kawannya adalah mimpi dan cita-cita yang menginginkan reformasi, bahkan revolusi harus terjadi di Arab Saudi. Dan saya kira warga di seantero Arab juga mengharapkan hal yang sama, sehingga peta politik di kawasan berjalan dengan normal, dikendalikan oleh kepentingan warga, bukan kepentingan elite politik dalam rangka mempertahankan kekuasaan mereka. Hanya itulah cara yang mesti diwujudkan dalam rangka mewujudkan wajah baru Arab Saudi yang adil, damai, setara, dan berkemajuan. []
DETIK, 01 Oktober 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar