Jumat, 30 Oktober 2020

Malang Tumbang, Markas Hizbullah-Sabilillah Pindah ke Solo

Belum genap 2 tahun bangsa Indonesia menikmati udara kemerdekaan, pada tahun 1947, Belanda yang datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu (Inggris), melancarkan serangannya secara serentak terhadap daerah-daerah Republik Indonesia. Serangan itu dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II. Di front timur, setelah merebut Magelang, Belanda melanjutkannya ke Surabaya dan Malang.

 

Beita buruk tumbangnya Malang, yang merupakan Markas Tertinggi pasukan Hizbullah dan Sabilillah, akhirnya sampai pula kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Rais Akbar NU itu tak kuasa menahan keterkejutannya, seraya memegangi kepalanya ia terus berdzikir: “Masya Allah! Masya Allah! Laa ilaha illallah!” Seketika itu pula ia tidak sadarkan diri, dan hingga akhirnya meninggal pada hari Jumat, 7 Ramadhan 1366 H atau 25 Juli 1947.

 

Usai agresi militer yang ditandai dengan Persetujuan Renville itu, membuat pasukan-pasukan pejuang Indonesia, termasuk Hizbullah dan Sabilillah, yang berada di daerah yang diduduki Belanda, mesti dipindahkan ke daerah Republik Indonesia seperti Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya.

 

Sebagaimana yang dituturkan salah satu pemimpin pasukan Hizbullah Jawa Tengah, KH Saifuddin Zuhri, dalam buku Berangkat Dari Pesantren, kala itu KH A Wahid Hasyim, terpaksa juga ikut memindahkan Markas Tertinggi Hizbullah (di bawah pimpinan KH Zainul Arifin) dan Sabilillah (dipimpin KH Masykur), yang semula berkedudukan di Malang ke Solo, berhubung Malang diduduki Belanda.

 

Kota Solo dipilih karena letaknya yang strategis dalam menghadapi serbuan di front Mojokerto-Jombang dan front Malang-Kediri. Selain itu, amat strategis pula dalam menghadapi aksi-aksi teror kaum Komunis yang makin meningkat di daerah Madiun-Kediri, Madiun-Bojonegoro, dan di sekitar Semarang. Yang tak kalah penting, letak Solo yang dekat dengan Yogyakarta dapat memperkuat keamanan daerah ibu kota.

 

Hal lain yang tentu menjadi pertimbangan penting, di Solo juga menjadi markas Barisan Kiai Jawa Tengah, yang dipimpin oleh KH Ma’ruf Mangunwiyata, pengasuh Pesantren Jenengan. Juga pasukan Hizbullah Surakarta (Divisi Sunan Bonang), yang dikomandoi Letkol Muh. Munawar dan Sabilillah Surakarta yang dipimpin oleh Mayor Arman.

 

Untuk keperluan logistik dan pengobatan, kaum ibu (termasuk juga Muslimat NU Surakarta yang dipimpin Mahmudah Mawardi) ikut membantu di Balai Kesehatan Hizbullah yang terletak di Kampung Tegalsari, Bumi, Laweyan. Di antara fungsi balai tersebut, selain menjadi tempat perawatan, juga untuk mengusahakan obat-obatan, mencarikan bahan pakaian, dan menggalang sumbangan baik berwujud uang maupun perhiasan.

 

Namun, dampak Kota Solo dijadikan markas dari para pejuang tersebut dan menjadi area yang berdekatan dengan medan pertempuran, sebagaimana diungkapkan salah satu tokoh ulama Solo, Kiai Raden Moh. Adnan, dalam sebuah catatan pribadinya, yang kemudian dituliskan kembali oleh putranya, Abdul Basit Adnan.

 

Kiai Adnan menuturkan kondisi di sekitar Solo pada masa tersebut: “Sepanjang perjalanan, saya dapat menyaksikan akibat perang kemerdekaan ini di desa-desa. Saya merasa sangat sayang dan kecewa melihat beberapa pabrik gula di Pedan dan Tegalgondo yang rusak akibat perang ini. Saya juga mendengar kabar masih adanya sejumlah bentrokan senjata antara pasukan TNI dan sisa-sisa pasukan Merah di Klaten. Pertentangan partai merembet pada pasukan bersenjata. Semoga tidak terjadi perang saudara, seperti yang terjadi di tiongkok.”

 

Dampak dari perang berkepanjangan juga membuat banyak orang hidup susah, seperti yang juga dikisahkan Mahbub Djunaidi dalam novel Dari Hari ke Hari, yang terinspirasi dari memoar Mahbub, sewaktu ia ikut mengungsi ke Solo bersama keluarganya akibat Agresi Militer Belanda II. Kata Mahbub: “Jaman revolusi semua rakyat adalah kere dan melarat.” []

 

(Ajie Najmuddin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar