Bagi seorang Muslim, hubungan suami-istri mestinya tak hanya sekadar jadi rutinitas melepas syahwat. Namun lebih dari itu, ia harus menjadi sesuatu yang bernilai pahala di sisi Allah, mampu melahirkan keturunan yang baik, dan tidak mengganggu pihak lain. Pertanyaannya, benarkah perkara yang mubah ini bisa bernilai ibadah? Bukankah pernikahan sendiri sudah bernilai ibadah? Bagaimana agar nilai itu menjadi lebih besar?
Abu Dzar al-Ghifari meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Di dalam perkawinan (jimak) salah seorang kalian ada sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasul, apakah jika salah seorang dari kami menyalurkan syahwatnya di dalamnya ada pahala?” Beliau menjawab, “Apakah kalian tahu, jika dia menyalurkan syahwatnya di tempat yang haram di dalamnya ada dosa? Demikian halnya jika dia menyalurkannya di tempat yang halal padanya juga ada pahala,” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang suami akan mendapat pahala atas jimak yang dilakukan dengan istrinya manakala disertai dengan niat yang baik, seperti berniat menjaga kehormatan diri dan kehormatan istri dari perkara yang dilarang, memenuhi hak istri sebagai bentuk mu‘asyarah bil ma‘ruf yang diperintahkan, mencari anak saleh yang mengesakan Allah dan membela agama-Nya, dan tujuan-tujuan baik lainnya.
Pertanyaannya, bagaimana jika seseorang tidak berniat apa-apa saat berjimak dengan istrinya kecuali menyalurkan syahwatnya dan memperoleh kenikmatan? Pendapat para fuqaha terpecah menjadi dua mengenai pahala yang didapatkannya. Pertama, menurut sebagian ulama, salah satunya Ibnu Qutaibah, orang itu tetap mendapat pahala dari jimaknya walaupun tidak berniat apa-apa. Para pendukung pendapat ini berargumentasi dengan hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan Abu Dzar. “Di dalam perkawinan (jimak) salah seorang kalian ada sedekah.” Hadits ini bersifat mutlak. Artinya, siapa pun yang berjimak dengan istrinya akan mendapat pahala. Sama halnya ia akan mendapat dosa jika ia menyalurkannya di tempat yang haram (zina).
Kedua, menurut sekelompok ulama, salah satu Ibnu Hajar al-Haitami, jika pada saat jimaknya orang itu tidak berniat ingin mencari anak saleh, tidak berniat menjaga kehormatan diri, tidak berniat menjaga kehormatan istrinya, dan seterusnya, maka ia tidak mendapat pahala. Mereka berdalih dengan hadits lain riwayat Abu Dzar yang secara tegas menyebutkan pentingnya niat baik demi mendapat pahala. Dalam hadits itu, Abu Dzar bertanya kepada Nabi ﷺ, “Bagaimana jika kami menyalurkan syahwat kami, apakah kami mendapat pahala?” Beliau menjawab, “Bukankah engkau tahu bahwa seandainya engkau melakukannya di tempat yang haram, engkau mendapat dosa?” Abu Dzar menjawab, “Tentu.” Beliau melanjutkan, “Mungkinkah kalian mencari pahala dengan perkara buruk dan tidak mendapat pahala dengan perkara yang baik?” (HR Ahmad).
Pendapat ini juga dikuatkan oleh sabda Rasulullah ﷺ kepada Sa‘d ibn Abi Waqash, “Tidaklah engkau mengeluarkan satu nafkah dengan mengharapkan ridha Allah kecuali akan diberi pahala. Bahkan, satu suap yang diberikan kepada istrimu sekalipun,” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah seorang Muslim memberi nafkah kepada keluarganya dengan mengharap pahala Allah, maka itu bernilai sedekah untuknya,” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Beberapa hadits di atas menunjukkan bahwa seorang hamba diberi pahala hanya jika dia berniat baik dan mengharap pahala-Nya. Jika nafkah yang wajib saja disyaratkan untuk berniat baik dan mengharap pahala Allah, maka sudah barang tentu dalam berjimak yang hukumnya mubah.
Selain itu, agar jimak lebih bernilai pahala, dan diharapkan melahirkan keturunan yang saleh, juga dianjurkan untuk memenuhi adab atau etika-etikanya, seperti mengawalinya dengan basmalah dan doa, sebagaimana hadits Rasulullah ﷺ yang menyatakan: seandainya seseorang hendak mendatangi istrinya dan membaca:
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
(Bismillâhirrahmânirrahîm, allâhumma jannibnâsy-sy-syaithâna wa jannibisy-syaithâna mâ razaqtanâ).
Artinya, “Dengan menyebut asma Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang. Ya Allah, jauhkanlah setan dari kami, dan jauhkanlah setan dari turunan yang Engkau berikan kepada kami.”
Maka jika di antara keduanya ditakdirkan lahir seorang anak, maka anak itu tidak akan diganggu oleh setan selamanya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Adab lainnya adalah tidak menghadap kiblat, tidak di tempat terbuka, mengenakan kain penutup, sebaiknya tidak mengumbar suara, tidak banyak bicara, tidak ada yang melihat walaupun anak kecil yang belum baligh, tidak ada yang merekam atau direkam—walaupun keduanya meridhai hal itu—tidak boleh dilakukan di hadapan istri yang lain, sebaiknya dilakukan dalam keadaan suci keduanya, setidaknya setelah mencuci kemaluan dan berwudhu jika ingin mengulangi, dilakukan di hari atau malam Jumat, sebagaimana menurut al-Ghazali.
Kemudian, tidak dilakukan di waktu-waktu yang tidak diperbolehkan, seperti istri sedang haid, sedang nifas, salah satu pasangan sedang beri’tikaf, berpuasa, dan ihram. Sedangkan pada saat istri mengalami istihadhah (keluar darah penyakit) atau belum mandi besar dari haid diperdebatkan para ulama. Namun, kebanyakan ulama menganjurkan si istri sudah mandi besar.
Terakhir, seseorang tidak diperkenankan menceritakan rahasia atau kisah ranjang yang terjadi antara dirinya dengan pasangannya. Bahkan mayoritas ulama, seperti sebagian ulama Hanbali, Hanafi, dan Syafii, mengharamkan untuk membangga-banggakan cerita tentang hubungan badannya atau menyebarkan rahasia yang terjadi dengan pasangannya. Mereka berargumentasi dengan hadits:
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُل يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
Artinya, “Seburuk-buruknya kedudukan seseorang pada hari Kiamat di antaranya adalah seorang laki-laki yang membuka hal istrinya atau seorang perempuan yang membuka hal suaminya (saat jimak) kemudian ia menyebarkan rahasianya,” (HR Muslim).
Bahkan, menurut Ibnu al-Qayyim, al-Haitami, Ibnu ‘Illan, dan yang lain, hal itu dianggap sebagai dosa besar.
Namun, ada pula yang sekadar memakruhkan, sebagaimana pendapat mazhab Hanbali. Dijelaskan oleh al-Nawawi, berstatus haram jika yang diceritakan adalah sesuatu yang seharusnya disembunyikan, seperti kisah jimak atau kisah mesra di antara suami-istri. Sedangkan berstatus makruh adalah jika yang diceritakan adalah sesuatu yang masih pantas dan tak merusak kehormatan. Termasuk makruh juga diceritakan tidak ada tujuan. Artinya, jika ada tujuan tertentu, seperti untuk berobat, maka diperbolehkan.
Demikian beberapa hal yang harus diperhatikan agar jimak atau hubungan suami-istri lebih berpahala, dan diharapkan darinya lahirnya keturunan yang saleh, sebagaimana yang disarikan dari al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah al-Quwaitiyyah. (Lihat: Tim Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman, Al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait: Darus Salasil], 1427 H, jilid 44, hal. 15). Semoga bermanfaat. Walllahu a’lam. []
Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni PP Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar