Rabu, 28 Oktober 2020

Alissa Wahid: Titik Buta

Titik Buta

Oleh: Alissa Wahid

 

Salah satu penyebab kecelakaan lalu lintas terbesar di dunia adalah area titik buta yang tak terjangkau oleh medan penglihatan pengemudi kendaraan, misalnya area samping kendaraan. Titik buta menyebabkan pengemudi tidak melihat risiko.

 

Selain titik buta secara fisik, titik buta ini diperparah dengan sikap ceroboh para pengemudi kita, yang menganggap enteng titik buta ini dan tidak mengindahkan teknologi untuk mengatasinya, seperti kaca spion. Akibatnya, kecelakaan masih menjadi salah satu penyebab kematian terbesar.

 

Titik buta juga kita alami dalam kehidupan personal. Matriks Johari Window menunjukkan ada empat area tentang kita: yang kita ketahui dan diketahui orang lain, yang kita ketahui tetapi tidak diketahui orang lain, yang tidak kita ketahui pun tidak diketahui orang lain, dan area yang dilihat orang lain, tetapi tidak kita ketahui. Yang terakhir disebut sebagai titik buta kehidupan kita.

 

Contohnya, seorang bos membanggakan dirinya sebagai atasan yang apa adanya, sebaliknya staf menganggapnya seenak hati. Seorang ayah meyakini dirinya mampu membuat anaknya sukses dengan prestasi, sementara sang anak mengaku stres karena ayah terlalu mendominasi kehidupannya. Sebagian besar konflik interpersonal terjadi karena kedua belah pihak bersikukuh dengan sudut pandangnya sendiri dan tidak menyadari titik buta yang menjebaknya.

 

Begitu pun dalam ihwal kepemimpinan. Daniel Goleman (1998) menyebutkan kesadaran diri (self-awareness) dan kemampuan mengelola diri (self-regulation) merupakan faktor penting yang menentukan kecerdasan emosional (EQ).

 

Menariknya, penelitian-penelitian mutakhir dalam dunia manajemen organisasi menunjukkan semakin tinggi posisi, semakin besar kesenjangan antara potret diri hasil asesmen pribadi dan hasil asesmen lain, seperti tes psikologi, kinerja, dan juga evaluasi rekan kerja.

 

Travis Bradberry, penulis buku Emotional Intelligence 2.0, menyimpulkan bahwa sebagian pemimpin lapisan atas ternyata memiliki kesadaran diri yang lebih rendah daripada pemimpin madya, bahkan rerata EQ tingkat CEO adalah yang terendah. CEO dengan EQ rendah tanpa sadar menghambat kinerja organisasi yang dipimpinnya. Sebaliknya, CEO dengan kesadaran diri tinggi cenderung berhasil membawa organisasi bisnisnya berkembang.

 

Titik buta berdampak paling besar dalam ranah kepemimpinan publik. Para pejabat yang dipilih oleh rakyat untuk duduk dalam lembaga eksekutif dan legislatif, dibantu oleh perangkat pengelola negara bangsa, adalah elemen yang menyusun dan mengembangkan kebijakan publik yang diharapkan membawa kemajuan kehidupan bernegara dan kesejahteraan bangsa. Sayangnya, sebagaimana kepemimpinan dalam organisasi bisnis, banyak pejabat publik yang tidak menyadari titik buta kepemimpinannya.

 

Berkali-kali masyarakat menyaksikan bagaimana pejabat publik sekelas menteri atau kepala daerah bertindak atau membuat pernyataan blunder. Rakyat terbingung-bingung dengan beberapa pernyataan terkait muatan kebijakan, seperti menolak meliburkan sekolah dalam pandemi Covid-19.

 

Contoh lainnya, tindakan yang menggamblangkan ketidakpekaan terhadap kondisi seperti foto anggota parlemen mengenakan alat pelindung diri (APD) di saat barisan tenaga kesehatan dan rakyat sedang berjibaku mengatasi kekurangan APD di fasilitas layanan kesehatan. Rakyat juga disuguhi dinamika terkait staf khusus presiden yang berujung pada mundurnya dua staf khusus generasi milenial. Dinamika ini pun tak lepas dari perangkap titik buta yang mereka alami.

 

Titik buta ini ditandai oleh beberapa gejala, menurut RB Shaw dalam buku Leadership Blindspots (2014).

 

Para pemimpin sering menunjukkan gejala terlalu yakin pada dirinya karena telah mencapai tangga kesuksesan, merasa lebih tahu situasi dan kondisi, dan salah memperkirakan kapasitas pribadinya. Mereka meyakini para pengikut akan tunduk sempurna, dan karenanya sering lupa untuk membangun hubungan yang sinergis dan memberdayakan.

 

Mereka sering menutup mata dan telinga dari masukan, terjebak dalam glorifikasi masa lalu, juga terjebak dalam ambisi pribadi, alih-alih menyelaraskan diri dengan sistem yang ada dan tujuan jangka panjang.

 

Para pemimpin juga sering sekali tak mampu melihat dampak pilihan dan keputusannya pada anak buah dan pembantu-pembantunya. Banyak pemimpin tertinggi yang kemudian membangun jarak dengan lapisan terbawah dalam organisasinya. Bagi pejabat publik, ini berdampak pada disilusi atas kondisi rakyat. Bahkan banyak pejabat publik mengira hanya perlu gimmick populis untuk menjaga dukungan rakyat yang dipimpinnya.

 

Jebakan titik buta ini yang membuat para pemimpin kemudian membuat kebijakan publik yang tidak tepat, yang dibuat tanpa pertimbangan yang matang dari para pakar, yang tidak menjawab tantangan mutakhir kehidupan rakyat, dan menuai kritik pedas dari masyarakat yang dipimpinnya.

 

Seandainya ia paham jebakan ini, seorang pemimpin akan mengelilingi dirinya dengan pakar-pakar sesuai kebutuhan. Ia akan membuka kanal-kanal untuk mendapatkan masukan. Ia tidak akan bersikap defensif dan memaksakan agenda pribadi.

 

Ia juga akan meluangkan ruang pertumbuhan pribadi sebagai pemimpin. Fungsi utama seorang pemimpin publik adalah menyinergikan berbagai kekuatan yang masih terserak untuk bergerak dari ego-system menuju eco-system, bukan untuk tampil dalam acara seremonial semata.

 

Jalan terbaik bagi para pemimpin dimulai dari memahami bahwa sebagai manusia, ia tak sempurna dan karenanya memiliki titik buta. Mengutip Otto Scharmer, kesadaran ini menjadi modal untuk membuka pikiran (open mind), membuka hati (open heart), dan membuka niatan (open will) menghadapi medan berkarya sebagai pemimpin. Hanya bila ia membuka dirinya, ia akan terbebas dari titik buta dan menjadi pemimpin sejati bagi rakyatnya. []

 

KOMPAS, 3 Mei 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar