Al-Ta'lim al-Muta'allim (19)
Teomorfisme Manusia (2)
Oleh: Nasaruddin Umar
Manusia tidak tepat disebut antropomorfisme karena potensi dan keunggulan yang dimilikinya luar biasa besarnya. Akan tetapi manusia juga tidak bisa disebut sebagai makhluk antroposentris, karena meskipun ia memiliki keunggulan dan keutamaan tetapi manusia masih memilki kelemahan fundamental. Manusia dikaruniai akal pikiran dan intelektualitas yang bertingkat-tingkat tetapi manusia memiliki kelemahan dasar sebagai pelupa (al-gafil). Sayed hussen Nasr menyebut manusia lebih tepat disebut sebagai makhluk teomorfis, suatu makhluk yang agung tetapi masih memiki kekurangan. Karena kekurangannya itu maka manusia membutuhkan Tuhan sebagai kekuatan ekstra untuk mengembalikan manusia dari kelemahannya sebagai makhluk pelupa (al-gafil) menjadi makhluk yang sadar (al-dzakir).
Manusia memiliki akal pikiran, jiwa, roh, dan keunggulan lainnya, namun tetap saja masih membutuhkan bantuan dan pertolongan Tuhan karena manusia masih memiliki kelemahan melekat. Kelemahan yang lmelekat pada dirinya sesungguhnya juga dapat diatasi dengan keunggulan melekat. Manusia memerlukan petunjuk Tuhan dalam bentuk wahyu yang berfungsi sebagai informasi dan konfirmasi. Wahyu sebagai informasi untuk memberitahukan kepada manusia tentang sesuatu yang selama ini di luar jangkauan pemahamannya. Wahyu sebagai konfirmasi untuk menguji kebenaran daya intelektualitas manusia, apakah sesuai dengan harapan-harapan idealnya atau belum. Kehadiran wahyu, dalam hal ini Al-Qur'an untuk menguji hasil penalaran manusia.
Tidak cukup dengan wahyu, Allah Swt juga mengutus
utusan-utusannya berupa Nabi dan Rasul untuk membantu memahami wahyu dan kitab
suci yang diturunkan kepada umat manusia. Kehadiran wahyu, nabi, dan rasul
diharapkan mampu memandu perjalanan hidup umat manusia secara komperhensif.
Sehebat apapun manusia pasti belum mempu memecahkan seluruh misteri
kehidupannya. Dari sinilah Allah swt menurunkan wahyu, nabi, dan rasul-Nya
untuk melengkapi dan sekaligus untuk mendukung kapasitas manusia sebagai
khalifah di bumi. Tanpa petunjuk dan pertolongan Tuhan tidak mungkin manusia
mampu mencapai kesempurnaan.
Manusia sebagai makhluk teomorfi tidak bisa
berprilaku sombong, angkuh, dan ujub, karena Tuhan Maha Tahu kelemahan mendasar
manusia. Sebaliknya manusia juga tidak bisa bersikap oesimistik dan under
confidence karena satu-satunya makhluk yang mendapatkan kepercayaa dan
kelebihan begitu besar dari Tuhan. Sikap paling benar bagi manusia ialah
bersikap optimisme (al-raja') yang diimbangi rasa takut (khauf) dan dipandu
dengan rasa tawadhu' dan mawas diri. Untuk meraih cita-cita perjuangan hidup,
manusia diminta untuk melakukan sinergi dengan kekuatan-kekuatan lain dari luar
dirinya. Manusia tetap dipandang penting untuk berdoa, menghadirkan pertolongan
Tuhan dalam setiap even kegiatan dan aktivitasnya. Usaha keras bagi anak
manusia bukan jaminan meraih keberhasilan. Betapa banyak usaha provisional
namun tidak berhasil dengan baik seperti direncanakan. Ini semua menjadi bukti
bahwa sehebat apapun manusia masih tetap memilki keterbatasan. Karena itu
manusia tidak boleh bangga dan angkuh yang ditandai dengan ketidak taatannya di
dalam menaati perintah dan menjauhi larangan-Nya. []
DETIK, 08 Juli 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar