KHUTBAH JUMAT
Mengobati Hati dari Penyakit Riya'
Khutbah I
اَلْحَمْدُ
للهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ،
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا
اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
أَمَّا
بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ في مُحْكَمِ
كِتَابِهِ: فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (الكهف: ١١٠)
ـ
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Takwa adalah kata yang ringan untuk diucapkan, akan tetapi berat dalam timbangan amal perbuatan. Takwa tempatnya adalah hati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke dadanya tiga kali dan mengatakan:
اَلتَّقْوَى هَا هُنَا، اَلتَّقْوَى هَا هُنَا (رَوَاهُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ) ـ
Maknanya: “Takwa ada di sini, takwa ada di sini” (HR Ahmad dalam Musnad-nya).
Jadi, hati adalah pemimpin anggota badan. Jika hati baik, maka seluruh anggota
badan akan baik sehingga orang menjadi bertakwa. Sebaliknya jika hati rusak,
maka anggota badan menjadi rusak sehingga orang menjadi pelaku maksiat. Maka
marilah kita bertakwa kepada Allah, yaitu melaksanakan semua kewajiban dan
meninggalkan semua yang diharamkan serta mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk
kehidupan akhirat. Allah ta’ala berfirman:
يَوْمَ
لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ، إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
(سورة الشعراء: ٨٨-٨٩) ـ
Maknanya: “(yaitu) di hari yang harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
kecuali orang-orang yang dihisab oleh Allah dengan hati yang bersih (dari
kekufuran)” (QS asy-Syu’ara’: 88-89)
Saudaraku seiman rahimakumullah,
Oleh karenanya mari kita perbaiki hati kita dengan menerapkan adab-adab yang diajarkan dalam Islam secara lahir dan batin. Kita obati hati dengan mengikuti ajaran Allah ta’ala dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita obati hati kita karena hati memiliki penyakit-penyakit yang tidak bisa diobati oleh para dokter. Penyakit-penyakit hati itu hanya bisa diobati dengan kesungguhan kita mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Di antara penyakit hati adalah riya’, yaitu melakukan bentuk ketaatan agar dilihat oleh orang lain dengan tujuan mengharapkan pujian darinya. Allah ta’ala berfirman:
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ (سورة البيّنة: ٥) ـ
Maknanya: “Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya” (QS al Bayyinah: 5)
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Mari kita ikhlaskan niat selalu hanya karena Allah ta’ala dan jangan sampai jatuh pada maksiat riya’. Sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits qudsi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman:
أَنَا أَغْنَىْ الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ (رواه مسلم) ـ
Maknanya: “Aku tidak menerima tujuan lain dalam beramal, barangsiapa melakukan
satu amal perbuatan dan memiliki tujuan lain selain ridha-Ku, maka Aku akan
meninggalkannya dan tidak menerimanya” (HR Muslim)
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Jika kita melakukan suatu amal perbuatan untuk mencari pahala dari Allah dan sekaligus mengharap pujian sesama manusia, maka Allah tidak akan menerima amal tersebut dari kita. Jadi seseorang yang melakukan amal perbuatan yang disertai riya’, maka tidak ada pahalanya sama sekali, bahkan dia berdosa karena riya’nya. Oleh karenanya, marilah kita introspeksi diri. Kita awasi dan amati hati kita.
Jika kita melakukan shalat lima waktu sendirian, kita tidak mengiringinya
dengan shalat sunnah rawatib, tapi jika kita shalat berjamaah di masjid, kita
mengiringinya dengan shalat sunnah rawatib. Kita tanyai diri kita, kenapa kita
melakukan itu?
Jika kita melakukan shalat sendirian, kita selesaikan dengan cepat dan hanya
melakukan rukun-rukunnya saja, sedangkan jika berada di tengah-tengah banyak
orang kita perpanjang shalat kita, kita berusaha untuk menghadirkan rasa
khusyu’ dan kita baguskan shalat kita, maka tanyakanlah kepada diri kita,
kenapa kita melakukan itu?
Apakah kita menginginkan pujian sesama hamba? Apakah kita ingin agar dihormati
oleh mereka? Apakah ini lebih kita sukai daripada ridha Allah ta’ala? Padahal
seluruh manusia adalah makhluk-makhluk ciptaan Allah sama seperti kita. Mereka
tidak dapat menciptakan manfaat maupun mudlarat. Mereka tidak bisa memberikan
manfaat kepada kita atau mencelakai kita kecuali atas kehendak Allah. Kenapa
kita memilih dicela oleh Allah agar dipuji oleh sesama hamba? Pujian mereka
kepada kita tidak akan menambah rezeki, tidak menunda ajal dan tidak bermanfaat
bagi kita dalam kehidupan akhirat. Oleh karenanya, obatilah hati kita dari
penyakit riya`. Kita jadikan ridha Allah Sang pencipta kebaikan dan keburukan
sebagai tujuan kita. Kita ikhlaskan niat karena Allah dan jangan kita pedulikan
apakah orang mencela atau memuji kita. Sungguh kebaikan seluruhnya ada pada
ridha Allah subhanahu wa ta’ala.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Marilah bersama-sama kita renungkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata:
Ketika majelis Abu Hurairah usai dan orang-orang pergi meninggalkan majelis,
maka Natil–seorang penduduk Syam–berkata kepada Abu Hurairah: Wahai Guru,
sampaikanlah kepada kami sebuah hadits yang telah engkau dengar dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah berkata: Iya, aku telah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang pertama kali
diberikan keputusan kepadanya di hari kiamat adalah orang yang tewas di medan
peperangan. Ia pun didatangkan dan diingatkan tentang nikmat-nikmat yang
diberikan kepadanya di dunia maka dia pun mengingatnya. Dikatakan kepadanya:
Apa yang engkau lakukan terhadap nikmat-nikmat tersebut? Dia pun menjawab: aku
berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid. Maka dikatakan kepadanya: Engkau
telah berdusta, engkau berperang untuk dikatakan sebagai pemberani dan itu
sudah dikatakan. Kemudian diperintahkan agar orang tersebut diseret dengan
posisi muka di bawah hingga dilempar ke neraka. Begitu juga seorang hamba yang
telah mempelajari ilmu agama, mengajarkannya dan rajin membaca al Qur`an, maka
didatangkan dan diberitahukan nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya, maka ia
pun mengingatnya. Ditanyakan kepadanya: Apakah yang engkau lakukan terhadap
nikmat-nikmat tersebut? Ia menjawab: Aku mempelajari ilmu, mengajarkannya dan
membaca al Qur`an karena-Mu ya Allah. Dikatakan kepadanya: Engkau berdusta,
kenyataannya engkau mempelajari ilmu agar dikatakan sebagai ulama, engkau
membaca al Qur`an agar engkau dikatakan pandai membaca al Qur`an dan ini telah
dikatakan. Kemudian diperintahkan agar orang itu diseret dengan posisi muka di
bawah sehingga dilempar ke neraka. Begitu juga seseorang yang Allah lapangkan
rezekinya dan Allah berikan kepadanya seluruh jenis harta, maka ia didatangkan,
diingatkan tentang nikmat-nikmatnya, maka ia pun mengingatnya. Dikatakan
kepadanya: Apa yang engkau lakukan terhadap nikmat-nikmat tersebut? Ia pun
menjawab: Aku tidak meninggalkan jalan infaq yang Engkau anjurkan kecuali aku
infaqkan hartaku untuk meraih ridha-Mu ya Allah. Lalu dikatakan
kepadanya: Engkau berdusta, engkau lakukan ini agar dikatakan sebagai dermawan
dan itu telah dikatakan. Kemudian diperintahkan agar orang itu diseret dengan
posisi muka di bawah sehingga dilemparkan di neraka” (HR Muslim).
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Jika kita melakukan shalat, maka kita lakukan karena Allah. Jika kita
bersedekah, maka kita bersedekah karena Allah. Jika kita perindah akhlak, kita
lakukan itu karena Allah. Jika kita belajar ilmu agama, maka juga karena Allah.
Jika kita mengajarkan ilmu agama, maka kita mengajar karena Allah. Jika kita
menaati Allah, maka kita taat karena semata-mata ingin meraih ridha-Nya. Jika
kita melakukan itu semua bukan karena Allah melainkan karena tujuan-tujuan
lain, maka sia-sialah umur kita dan alangkah ruginya waktu kita.
Hadirin rahimakumullah,
Demikian khutbah yang singkat ini. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.
أَقُوْلُ
قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى،
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا، ـ
أَمَّا
بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ
الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ،
أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ
اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى
سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ
الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ
وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ
وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ
وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ
وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا
هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيْرٌ
عِبَادَ
اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ
أَكْبَرُ.
Ustadz Nur Rohmad, Pemateri/Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Ketua Biro Peribadatan & Hukum, Dewan Masjid Indonesia Kab. Mojokerto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar