Al-Ta'lim al-Muta'allim (27)
Epistimologi Khidhir
Oleh: Nasaruddin Umar
Epistimologi Khidhir tidak lagi mengandalkan logika. Bukannya Khidhir anti logika tetapi sudah melewati fase logika itu. Selama orang masih berkutat di dunia logika maka selama itu sulit untuk menembus hijab-hijab yang jumlahnya menurut hadis Nabi sebanyak 70 lapis. Menurut Imam Al-Gazali, ilmu hushuli, yaitu ilmu yang hanya diperoleh melalui olah nalar, tidak disertai olah batin, akan menjadi hijab yang yang amat tebal untuk ditembus para pencari Tuhan (salikin). Dengan kata lain, ilmu-ilmu logika sulit mengantarkan seseorang untuk menyingkap tabir rahasia Tuhan (mukasyafah).
Khidhir meninggalkan Musa merupakan peristiwa
simbolik. Khidhir tidak memberikan ijazah kelulusan terhadap muridnya, Musa,
bahkan terkesan gagal dengan ketidak mampuannya mengikuti aturan Khidhir, akan
tetapi justru itu merupakan "tanda lulus" agar Musa mau menyadari
bahwa di atas langit masih ada langit. Dengan begitu, Musa terus akan mencari
sendiri jalan ma'rifahnya menuju puncak ketinggian. Karena memang semakin ke
puncak semakin memerlukan pendekatan dan kemampuan personal. Mursyid atau sang
guru biasanya hanya menuntun sampai ke leher gunung tetapi ke puncak diperlukan
kekuatan pribadi. Sama dengan Jibril, hanya mengantar sampai ke maqam khusus
para malaikat, tetapi ke puncak (Sidratil Muntaha) Nabi Muhammad ditentukan
sendiri jalannya oleh Sang Pengundang, Allah Swt. Fungsi Khidhir terhadap Nabi
Musa seperti fungsi Jibril terhadap Nabi Muhammad Saw, yaitu mengantar ke leher
gunung untuk sampai ke puncak seorang diri.
Sebagai seorang awam, pelajaran berharga dari kisah
Khidhir dan Nabi Musa ialah: 1) Berikanlah kesempatan kepada pembawa amanah
untuk meneruskan program-programnya tanpa harus banyak diintrupsi. 2) Di atas
langit ada langit, tidak boleh seseorang merasa diri serba hebat sendiri. 3)
Jangan pernah memandang enteng orang-orang yang kelihatan biasa-biasa, karena
boleh jadi ia tidak populer di bumi tetapi populer di langit. 4) Sekolah
profesional tidak mesti harus di dalam bangunan yang megah. Penjelasan fauna
dan flora di papan tulis atau layar monitor, tidak bisa mengalahkan pengenalan
langsung secara visual obyek itu di lapangan. 5) Jangan berhenti pada
kecerdasan intelektual karena tidak banyak artinya dibandingkan dengan
kecerdasan spiritual. 6) Orang pintar belum tentu arif. Kearifan lebih banyak
menyelesaikan persoalan daripada kepintaran.
Secara khawas, kisah Khidhir dan Nabi Musa ialah: 1)
Tinggalkan logika jika ingin mukasyafah. Selama masih ada logika maka hijab
tidak akan tersingkap secara keseluruhan. 2) Tujuan akhir dan merupakan puncak
pencarian anak manusia sesungguhnya bukan dunia lahiriah tetapi dunia batiniah.
Kepuasan puncak adalah kepuasan rohani. 3) Khidhir adalah figur personal
simbolik. Khidhir secara kebahasaan berarti "kehadiran", seakar kata
dengan hadhir yang semakna dengan bahasa Indonesia "hadir". Boleh
jadi hati nurani kita sendiri adalah Khidhir bagi kita. Siapapun biasa menjadi
Khidhir dan setiap orang mempunyai Khidhirnya masing-masing. Jika Allah Swt
akan menuntun hambanya maka Ia akan mengutus Khidhir untuknya. Khidhir
sesungguhnya ialah sahabat spiritual kita, siapapun dan apapun dia. []
DETIK, 16 Juli 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar