Kamis, 22 Oktober 2020

Nasaruddin Umar: Al-Ta'lim al-Muta'allim (27) Epistimologi Khidhir

Al-Ta'lim al-Muta'allim (27)

Epistimologi Khidhir

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Epistimologi Khidhir tidak lagi mengandalkan logika. Bukannya Khidhir anti logika tetapi sudah melewati fase logika itu. Selama orang masih berkutat di dunia logika maka selama itu sulit untuk menembus hijab-hijab yang jumlahnya menurut hadis Nabi sebanyak 70 lapis. Menurut Imam Al-Gazali, ilmu hushuli, yaitu ilmu yang hanya diperoleh melalui olah nalar, tidak disertai olah batin, akan menjadi hijab yang yang amat tebal untuk ditembus para pencari Tuhan (salikin). Dengan kata lain, ilmu-ilmu logika sulit mengantarkan seseorang untuk menyingkap tabir rahasia Tuhan (mukasyafah).


Khidhir meninggalkan Musa merupakan peristiwa simbolik. Khidhir tidak memberikan ijazah kelulusan terhadap muridnya, Musa, bahkan terkesan gagal dengan ketidak mampuannya mengikuti aturan Khidhir, akan tetapi justru itu merupakan "tanda lulus" agar Musa mau menyadari bahwa di atas langit masih ada langit. Dengan begitu, Musa terus akan mencari sendiri jalan ma'rifahnya menuju puncak ketinggian. Karena memang semakin ke puncak semakin memerlukan pendekatan dan kemampuan personal. Mursyid atau sang guru biasanya hanya menuntun sampai ke leher gunung tetapi ke puncak diperlukan kekuatan pribadi. Sama dengan Jibril, hanya mengantar sampai ke maqam khusus para malaikat, tetapi ke puncak (Sidratil Muntaha) Nabi Muhammad ditentukan sendiri jalannya oleh Sang Pengundang, Allah Swt. Fungsi Khidhir terhadap Nabi Musa seperti fungsi Jibril terhadap Nabi Muhammad Saw, yaitu mengantar ke leher gunung untuk sampai ke puncak seorang diri.


Sebagai seorang awam, pelajaran berharga dari kisah Khidhir dan Nabi Musa ialah: 1) Berikanlah kesempatan kepada pembawa amanah untuk meneruskan program-programnya tanpa harus banyak diintrupsi. 2) Di atas langit ada langit, tidak boleh seseorang merasa diri serba hebat sendiri. 3) Jangan pernah memandang enteng orang-orang yang kelihatan biasa-biasa, karena boleh jadi ia tidak populer di bumi tetapi populer di langit. 4) Sekolah profesional tidak mesti harus di dalam bangunan yang megah. Penjelasan fauna dan flora di papan tulis atau layar monitor, tidak bisa mengalahkan pengenalan langsung secara visual obyek itu di lapangan. 5) Jangan berhenti pada kecerdasan intelektual karena tidak banyak artinya dibandingkan dengan kecerdasan spiritual. 6) Orang pintar belum tentu arif. Kearifan lebih banyak menyelesaikan persoalan daripada kepintaran.


Secara khawas, kisah Khidhir dan Nabi Musa ialah: 1) Tinggalkan logika jika ingin mukasyafah. Selama masih ada logika maka hijab tidak akan tersingkap secara keseluruhan. 2) Tujuan akhir dan merupakan puncak pencarian anak manusia sesungguhnya bukan dunia lahiriah tetapi dunia batiniah. Kepuasan puncak adalah kepuasan rohani. 3) Khidhir adalah figur personal simbolik. Khidhir secara kebahasaan berarti "kehadiran", seakar kata dengan hadhir yang semakna dengan bahasa Indonesia "hadir". Boleh jadi hati nurani kita sendiri adalah Khidhir bagi kita. Siapapun biasa menjadi Khidhir dan setiap orang mempunyai Khidhirnya masing-masing. Jika Allah Swt akan menuntun hambanya maka Ia akan mengutus Khidhir untuknya. Khidhir sesungguhnya ialah sahabat spiritual kita, siapapun dan apapun dia. []

 

DETIK, 16 Juli 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar