Jumat, 30 Oktober 2020

(Ngaji of the Day) Mimpi Raja Yaman tentang Nabi Muhammad Dua Abad Sebelum Kelahirannya

Kisah ini tentang tanda-tanda kenabian (dala’il al-nubuwwah) Nabi Muhammad jauh sebelum beliau dilahirkan. Tanda-tanda kenabian tidak hanya muncul ketika seorang nabi telah terpilih. Salah satunya adalah mimpi seorang Raja Yaman, Rabi’ah bin Nashr. Dalam al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyam diriwayatkan:

 

قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ: وَكَانَ رَبِيعَةُ بْنُ نَصْرٍ مَلِكُ الْيَمَنِ بَيْنَ أَضْعَافِ مُلُوكِ التَّبَابِعَةِ فَرَأَى رُؤْيَا هَالَتْهُ وَفَظِعَ بِهَا فَلَمْ يَدَعْ كَاهِنًا، وَلَا سَاحِرًا، وَلَا عَائِفًا وَلَا مُنَجِّمًا مِنْ أَهْلِ مَمْلَكَتِهِ إلَّا جَمَعَهُ إلَيْهِ، فَقَالَ لَهُمْ: إنِّي قَدْ رَأَيْتُ رُؤْيَا هَالَتْنِي، وَفَظِعْتُ بِهَا، فَأَخْبِرُونِي بِهَا وَبِتَأْوِيلِهَا، قَالُوا لَهُ: اُقْصُصْهَا عَلَيْنَا نُخْبِرْكَ بِتَأْوِيلِهَا، قَالَ: إنِّي إنْ أَخْبَرْتُكُمْ بِهَا لَمْ أَطْمَئِنَّ إلَى خَبَرِكُمْ عَنْ تَأْوِيلِهَا، فَإِنَّهُ لَا يَعْرِفُ تَأْوِيلَهَا إلَّا مَنْ عَرَفَهَا قَبْلَ أَنْ أَخْبُرَهُ بِهَا. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنْهُمْ: فَإِنْ كَانَ الْمَلِكُ يُرِيدُ هَذَا فَلْيَبْعَثْ إلَى سَطِيحٍ وَشِقٍّ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْلَمَ مِنْهُمَا، فَهُمَا يُخْبِرَانِهِ بِمَا سَأَلَ عَنْهُ

 

“Imam Ibnu Ishaq berkata: Rabi’ah bin Nasr, seorang Raja Yaman di antara sekian banyak raja-raja al-Tababi’ah bermimpi melihat hal yang menakutkan, kemudian dia memanggil semua dukun, tukang sihir, tukang ramal, ahli nujum dari kerajaannya, setelah berkumpul dia berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya aku bermimpi melihat hal yang menakutkanku, aku pun merasa ngeri dibuatnya. Oleh karena itu, jelaskan takwil mimpi itu kepadaku.’ Mereka menjawab: ‘Ceritakanlah kepada kami mimpi Baginda, maka kami akan menjelaskan takwil di balik mimpi Baginda.’ Rabi’ah bin Nashr berkata: ‘Sesungguhnya jika kuceritakan terlebih dahulu mimpiku kepada kalian, aku tidak akan merasa puas dengan penjelaskan kalian, karena sesungguhnya arti mimpiku tidak akan dimengerti selain oleh orang yang mengetahuinya terlebih dahulu sebelum aku menceritakannya.’ Kemudian berkata salah seorang di antara mereka: ‘Jika itu yang dikehendaki Baginda, seharusnya Baginda mengutus seseorang untuk memanggil Sathih dan Syiq, karena tidak ada seorang pun yang lebih berpengetahuan mengenai hal ini dibandingkan mereka berdua, keduanya akan menjelaskan apa yang baginda tanyakan’.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, ed. Umar Abdul Salam Tadmuri, Dar al-Kutub al-‘Arab, 1990, juz 1, h. 31-32)

 

Setelah mengalami mimpi itu, ia mengutus seseorang untuk mengundang Syathih dan Syiqq. Syathih datang lebih dulu dan langsung menghadap Raja Rabi’ah bin Nashr. Sang raja berkata kepada Syathih:

 

إنِّي رَأَيْتُ رُؤْيَا هَالَتْنِي وَفَظِعْتُ بِهَا، فَأَخْبِرْنِي بِهَا، فَإِنَّكَ إنْ أَصَبْتَهَا أَصَبْتَ تَأْوِيلَهَا

 

“Sesungguhnya aku mengalami mimpi yang mengerikan, jelaskanlah arti mimpi itu kepadaku. Jika kau berhasil mengetahui mimpi menakutkan itu, kau pasti mampu memberikan takwilnya.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, juz 1, h. 31-32)

 

Dengan tenang Syathih memprediksi mimpi menakutkan yang dialami Raja Rabi’ah bin Nashr. Ia mengatakan:

 

أَفْعَلُ، رَأَيْتُ حُمَمَةَ خَرَجَتْ مِنْ ظُلْمَةِ فَوَقَعَتْ بِأَرْضِ تَهَمَةِ فَأَكَلَتْ مِنْهَا كُلَّ ذَاتِ جُمْجُمَةِ

 

“Akan kulakukan, aku melihat sebuah gumpalan hitam (arang) yang keluar dari tempat gelap yang kemudian jatuh ke tanah yang datar dan melahap semua makhluk hidup.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, juz 1, h. 32)

 

Dalam riwayat lain, kalimat “kulla dzâti jumjumah” dibaca “kullu dzâti jumjumah”, menjadi fa’il dengan memembaca rafa’ “kullu”, maka artinya berubah “semua makhluk hidup memakannya.” Menurut sebagian ulama, membaca nashab dipandang lebih tepat dalam sudut pandang riwayat dan maknanya. Argumentasi yang mereka ajukan adalah, “li-anna al-humamah nâr, fahiya ta’kul lâ tu’kal (karena humamah adalah api, maka [sifat]nya adalah melahap, bukan dilahap).” (Imam Abu al-Qasim al-Suhaili, al-Raudl al-Unuf, Kairo: Darul Hadits, 2008, juz 1, h. 62)

 

Raja Rabi’ah bin Nashr membenarkan tebakan Syathih, lalu ia bertanya: “fa mâ ‘indâka fî ta’wîlihâ (apa takwil mimpi itu menurutmu)?” Syathih menjawab:

 

أَحْلِفُ بِمَا بَيْنَ الْحَرَّتَيْنِ مِنْ حَنَشٍ، لَتَهْبِطَنَّ أَرْضَكُمْ الْحَبَشُ، فَلَتَمْلِكَنَّ مَا بَيْنَ أَبْيَنَ إلَى جُرَشَ

 

“Aku bersumpah demi siang dan malam, bahwa orang-orang Habsyi pasti menginjak negeri kalian, mereka pasti menguasai daerah antara Abyan sampai Juras.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, juz 1, h. 33)

 

Rabi’ah bin Nashr terkejut sembari berkata: “inna hadza lanâ laghâ’idh mûji’, fa matâ huwa kâ’inun? afî zamânî hadza am ba’dahu? (sungguh hal ini sangat menyakitkan kita semua, kapan itu akan terjadi? Pada masaku atau setelahku?)” Syathih menjawab: “lâ, bal ba’dahu bi hîn, akstara min sittîna aw sab’îna (tidak di masa Baginda, tapi setelahnya, enam puluh atau tujuh puluh tahun yang akan datang).” Rabi’ah kembali bertanya: “Apakah daerah tersebut berada dalam kekuasaan mereka selama-lamanya?” Syathih menjawab: “Tidak. Daerah tersebut berada dalam kekuasaan mereka sekitar tujuh puluh tahun lebih, setelah itu mereka dibunuh dan lari dengan terbirit-birit.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, juz 1, h. 33)

 

“Siapa yang membunuh dan mengusir mereka?” tanya Rabi’ah bin Nashr. Syathih menjawab:

 

يَلِيهِ إرَمُ ذِي يَزَنَ، يَخْرُجُ عَلَيْهِمْ مِنْ عَدَنَ، فَلَا يَتْرُكُ أَحَدًا مِنْهُمْ بِالْيَمَنِ

 

“Orang itu adalah Iram Dzi Yazan, dia mendatangi mereka dari Adn dan tidak meninggalkan seorang pun dari mereka di Yaman.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, juz 1, h. 33)

 

Rabi’ah bin Nashr melanjutkan pertanyaannya: “afayadumu dzalika min sulthanihi am yanqati’u? (apakah daerah-daerah tersebut berada dalam kekuasaannya atau tidak?)” Syathih menjawab: “Tidak.” Rabi’ah bin Nashr kembali terkejut sambil bertanya: “man yaqtha’uhu?” (siapa orang yang mengakhirinya?). Syathih berkata:

 

نَبِيٌّ زَكِيٌّ، يَأْتِيهِ الْوَحْيُ مِنْ قِبَلِ الْعَلِيِّ، قَالَ: وَمِمَّنْ هَذَا النَّبِيُّ؟ قَالَ: رَجُلٌ مِنْ وَلَدِ غَالِبِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ، يَكُونُ الْمُلْكُ فِي قَوْمِهِ إلَى آخِرِ الدَّهْرِ. قَالَ: وَهَلْ لِلدَّهْرِ مِنْ آخِرٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، يَوْمٌ يُجْمَعُ فِيهِ الْأَوَّلُونَ وَالْآخِرُونَ يَسْعَدُ فِيهِ الْمُحْسِنُونَ وَيَشْقَى فِيهِ الْمُسِيئُونَ قَالَ: أَحَقٌّ مَا تُخْبِرُنِي؟ قَالَ: نَعَمْ، وَالشَّفَقِ وَالْغَسَقِ، وَالْفَلَقِ إذَا اتَّسَقَ إنَّ مَا أَنْبَأْتُكَ بِهِ لَحَقٌّ.

 

“Seorang nabi yang suci, yang memperoleh wahyu dari Dzat Yang Maha Tinggi. Rabi’ah bin Nashr bertanya: ‘Dari mana nabi itu berasal?’ Syathih menjawab: ‘Ia merupakan salah seorang keturunan Ghalib bin Fihr bin Malik bin al-Nadlr, kekuasaan berada dalam genggaman kaumnya sampai dunia berakhir.’ Rabi’ah berkata: ‘Apakah dunia memiliki akhir?’ Syathih menjawab: ‘Iya, sebuah hari di mana manusia generasi pertama sampai generasi terakhir dikumpulkan di dalamnya. Pada hari itu, orang-orang yang selalu berbuat baik akan bahagia dan orang-orang yang jahat akan celaka.’ Rabi’ah bertanya lagi: ‘Apakah benar apa yang kau jelaskan kepadaku?’ Syathih menjawab: ‘Ya, demi sinar merah ketika matahari tenggelam, demi malam yang gelap gulita, demi subuh jika fajar telah menyingsing. Sesungguhnya apa yang kuceritakan kepadamu merupakan kebenaran sejati’.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, juz 1, h. 33)

 

Setelah Syathih mohon diri pulang, Rabi’ah bin Nashr meminta Syiqq untuk menghadap. Ia menanyakan hal yang sama kepada Syiqq dengan tujuan untuk mengetahui apakah jawaban keduanya sama atau tidak (li yandhura ayattafiqani am yakhtalifâni). Jawaban Syiqq pun hampir sama dengan Syathih. Perbedaannya hanya dalam pemilihan kata dan penyebutan daerah, seperti nama Najran yang berbeda dengan Juras dalam perkataan Syathih. Untuk contoh pemilihan kata yang berbeda adalah ketika Rabi’ah bin Nashr bertanya: “afayadumu sulthanuhu aw yanqathi’u? (apakah kekuasaannya akan bertahan selamanya atau tidak?)” Syiqq menjawab:

 

بَلْ يَنْقَطِعُ بِرَسُولِ مُرْسَلٍ يَأْتِي بِالْحَقِّ وَالْعَدْلِ، بَيْنَ أَهْلِ الدِّينِ وَالْفَضْلِ، يَكُونُ الْمُلْكُ فِي قَوْمِهِ إلَى يَوْمِ الْفَصْلِ

 

“Kekuasaannya akan dihentikan oleh seorang Rasul yang diutus dengan membawa kebenaran dan keadilan, di antara orang-orang beragama dan orang-orang mulia, kekuasaan akan berada di genggaman kaumnya sampai hari pengadilan (yaum al-fashl).” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, juz 1, h. 34)

 

Dari segi tata bahasa, Syiqq memiliki kemampuan berbahasa yang jauh lebih indah dari Syathih, seperti penjelasannya yang sangat indah ketika menjawab pertanyaan Rabi’ah bin Nashr: “ma yaum al-fashl? (apa hari pengadilan itu?).” Dengan indah Syiqq mengatakan:

 

يَوْمٌ تُجْزَى فِيهِ الْوُلَاةُ، وَيُدْعَى فِيهِ مِنْ السَّمَاءِ بِدَعَوَاتِ، يَسْمَعُ مِنْهَا الْأَحْيَاءُ وَالْأَمْوَاتُ، وَيُجْمَعُ فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ لِلْمِيقَاتِ، يَكُونُ فِيهِ لِمَنْ اتَّقَى الْفَوْزُ وَالْخَيْرَاتُ

 

“Hari Pengadilan adalah hari di mana para penguasa mendapatkan balasan perbuatannya, hari di mana seruan dikumandangkan dari langit, hari di mana seruan terdengar oleh seluruh makhluk hidup dan yang telah mati, hari di mana manusia dikumpulkan untuk waktu yang telah ditetapkan, hari di mana keberuntungan dan kebaikan menjadi milik orang-orang yang bertakwa.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, juz 1, h. 34)

 

Setelah mendengar takwil Syathih dan Syiqq, Rabi’ah bin Nashr terus memikirkannya, takut jika semuanya benar-benar terjadi. Syathih dan Syiqq adalah kâhin (peramal/dukun) yang sangat terkenal kesaktiannya. Kata-kata mereka tidak bisa dipandang remeh. Imam Wahb bin Munabbih meriwayatkan bahwa Syathih pernah ditanya:

 

أنَّي لك هذا العلم؟ فقال: لي صاحبٌ من الْجِنّ استمع أخبار السّماء من طور سيْنَاءَ حين كلّم الله تعالي منه موسي فهو يُؤَدّي إليَّ من ذلك ما يُؤَدّيه

 

“Dari mana kau (mendapatkan) pengetahuan ini?” Syathih menjawab: “Aku memiliki teman dari (golongan) jin yang ikut mendengarkan kabar-kabar langit di gunung Tursina di saat Allah berbicara kepada Musa. Dia (jin) menyampaikan kabar-kabar langit itu kepadaku (seperti) yang disampaikan Allah kepada Musa.” (Imam Abu al-Qasim al-Suhaili, al-Raudl al-Unuf, juz 1, h. 60-61)

 

Dengan pertimbangan masak, Raja Rabi’ah bin Nashr memutuskan untuk memindahkan keluarganya ke Irak agar terhindar dari kehancuran yang akan didatangkan oleh orang-orang Habsyi. Imam Ibnu Hisyam menulis:

 

فَوَقع في نفس رَبيْعةَ بْنِ نَصرٍ ما قَالَا فَجَهَّز بَنِيْه وَأهلَ بَيْتهِ إلي الْعِراق بِما يُصلِحهم وكتب لهم إلي ملِكٍ مِن مُلُوكِ فَارِسَ يُقال له: سَابُور بن خُرّزَاذ فَأسكنهم الحيرةَ

 

“Ucapan Syathih dan Syiqq mempengaruhi diri Rabi’ah bin Nashr, maka ia siapkan anak-anak dan keluarganya (pindah) ke Irak demi kebaikan mereka. Ia menulis surat untuk mereka (berikan) kepada raja dari kerajaan Persia, bernama Sabur bin Hurrazad, kemudian keluarganya menetap di Hirah (sekarang Kufah).” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, juz 1, h. 35)

 

Wallahu a’lam bi al-shawab. []

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen dan Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar