Kamis, 15 Oktober 2020

(Ngaji of the Day) Konsep Supremasi Maslahat dalam Pemikiran Najmuddin At-Thufi

Sebelum kita membahas lanjutan dari kajian al-Mustashfâ karya Imam al-Ghazâli, ada baiknya kita melirik terlebih dahulu konsep pemikiran at-Thûfi (w. 711 H), seorang yang ‘alim dari kalangan Hanabilah (mazhab Hanbali) yang hidup dua abad pasca-Imam al-Ghazâli (w. 505 H). Semua ini kita tujukan sedikit agar mempersingkat kajian kita seputar Fiqih Maqâshid untuk menemukan konsepsi dasar yang bisa dipergunakan dalam tema-tema kajian berikutnya.

 

At-Thûfi memiliki nama lengkap Najmuddîn al-Baghdâdî at-Thûfi. Ibn Rajab (w. 795 H) pernah mengatakan bahwa gagasan pemikiran dan konsep supremasi maslahat at-Thûfi di satu sisi menyerupai konsep maqâshidnya Hanabilah, di sisi yang lain mirip dengan konsepnya Syi’i, Râfidlî, Dhâhirî atau bahkan seorang Asy’ariyan (Musthafa Zaid, Al-Mashlahat fi al-Tasyri’ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi, [Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi], 1964: 67). Mungkin karena luasnya cakrawala berfikirnya yang luas, sehingga sulit untuk mendeteksi faham yang diikutinya, bahkan ada kesan ia termasuk sosok yang harûrî (liberal). Namun, konsep pemikiran at-Thûfi ini banyak juga diadopsi dan diterima oleh kalangan sunni hingga sekarang ini sebagai salah satu bentuk pergulatan pemikiran.

 

Riwayat pendidikan at-Thûfi dimulai dari tanah kelahirannya dengan belajar kepada beberapa orang ulama. Dari Al-Kharâqi, beliau mempelajari fiqih Mukhtashar al-Kharâqi dan al-Lumâ’ karya Abu al-Fath Usman Ibn Jânî. Di Sharshâr, ia belajar kepada Syeikh Zain al-Dîn Ali ibn Muhammad Al-Sharshârî (sering dipanggil sebagai al-Bauqî), salah seorang ulama yang dikenal sebagai pakar fiqih Hanbâli. Tahun 961 H, ia pindah ke Baghdâd dan mempelajari al-Muharrar, salah satu fiqih pegangan mazhab Hanbali dan mendiskusikannya dengan Syeikh Taqiy al-Dîn al-Zarîratî. Di bidang gramatika bahasa Arab, ia berguru kepada Abû Abd al-Lâh al-Musîli. Guru ushul fiqih at-Thûfi adalah Nashr al-Farûqî. Di antara gurunya di bidang ilmu Hadits, ada nama Al-Rasyîd ibn al-Qâsim, Ismâil ibn at-Tabbal, Abd al-Rahmân ibn Sulaiman al-Haranî dan Abû Bakr al-Qalânisî.

 

Mendiskusikan pemikiran at-Thûfi, sering diawali dengan teori supremasi maslahat yang diutarakannya, yang saat itu dianggap kontroversi di kalangan pemikir muslim. Akibat dari kontroversinya ia pernah dicap sebagai Syi’ah Rafîdlah. Abu Zahrah, salah seorang pemikir generasi ulama khalaf, menyebutnya sebagai seorang syi’i yang sedang taqiyah (menampakkan diri) sebagai yang bermazhab Hanbali, karena teori supremasi maslahat dinilainya sebagai yang justru banyak bertentangan dengan teori maslahat Hanâbilah.

 

Isi dari teori supremasi maslahat at-Thufi diawali dengan sebuah pernyataan bahwa apabila terjadi kontradiksi antara maslahat dengan nash (al-Qurân, al-Hadits dan Ijmâ’), maka yang pertama kali harus didahulukan adalah maslahat, sementara nash dan ijmâ’ diakhirkan (Musthafa Zaid, Al-Mashlahât fi al-Tasyri’ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1964: 91-93). Dr. Muhammad Yusri menyampaikan:

 

مع أن الطوفي ادعى أن رعاية المصلحة أقوى من الإجماع وأنها أقوى أدلة االشرع

 

Artinya: “At-Thûfi mendakwa bahwasanya menjaga dalil kemaslahatan merupakan yang lebih kuat dibanding dengan dalil ijma’. Walhasil, maslahah merupakan paling kuat-kuatnya dalil syara’.” (Muhammad Yusri, al-Maslahah fi al-Tasyrî’i al-Islâmî, Kairo: Dâr al-Yasr li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, 1954 M: 72)

 

Sebenarnya pernyataan at-Thûfi ini berangkat dari sebuah perdebatan makna hadits yang terdapat di dalam kitab Arba’în al-Nawawiyah, karya Abû Yahya bin Syaraf al-Nawâwi yang menyatakan masalah: لا ضرر ولاضرار (Tidak boleh berbuat bahaya dan membikin tindakan yang berbahaya bagi orang lain). Para ulama menentang pendapat at-Thûfi bahwasanya hadits tersebut merupakan khabar ahâd dan ijma’ memiliki kedudukan yang lebih kuat dalam hukum dibanding khabar ahâd. Pendapat ini dibantah oleh at-Thûfi melalui pernyataan di atas, bahwasannya menjaga maslahat (ri’âyah mashlahah) lebih kuat dibanding ijmâ’. Alasan yang disampaikan oleh at-Thûfi adalah berangkat dari konsep ijmâ’ itu sendiri, antara lain sebagai berikut:

 

1. Menurut at-Thûfi, ijma’ tidak mesti berangkat dari dalil yang bersifat qath’î (qath’iy al-dilâlah). Ijmâ’ merupakan perkara yang masih boleh diperselisihkan karena ia berangkat dari qiyâs dan khabar ahâd.

 

2. Adakalanya nash-nash yang menjadi dasar disepakatinya hukum adalah bersifat saling bertentangan (mukhtalaf). Itu semua disebabkan tidak semua nash yang muttafaq (disepakati) adalah berangkat dari khabar mutawâtir. Kadangkala ia berangkat dari khabar ahâd sehingga dalil yang dikandung masih bersifat dugaan (ihtimâl). Khabar mutawâtir pun kadangkala masih ada peluang yang memuat unsur dhanny al-dilâlah.

 

Sampai di sini, maka at-Thûfi seolah membongkar kembali pengertian qath’iy al-dilâlah dan dhanny al-dilâlah sebagai wacana untuk mengakses diskusi. Oleh karena hampir semua dalil adalah tidak bersifat benar secara mutlaq sebagai akibat dari masih adanya sisa ruang diskusi, namun hal tersebut tidak pada maslahah. Maslahah menurutnya adalah sesuatu yang bersifat mu’tabar bi al ra’yi (mu’tabar menurut rasio). Oleh karena itulah, maka menurutnya apabila ada pertentangan antara maslahah dengan nash, maka maslahat adalah yang lebih didahulukan. (Musthafa Zaid, Al-Mashlahât fi al-Tasyri’ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1964: 17)

 

Berikut ini merupakan petikan dari tata cara pengambilan keputusan maslahah menurut at-Thûfi, dalam kondisi apabila ada pertentangan kepentingan antara mengambil maslahah atau menghindari mafsadah (kerusakan), sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Muhammad Yusri dalam kitabnya al-Mashlahah fi al-Tasyrî’i al-Islamî halaman 144:

 

ثم إن المصالح والمفاسد قد تتعارض فتحتاج إلى ضابط يدفع محذور تعارضها، فنقول كل حكم نفرضه فإما أن تتمحض مصلحته أو مفسدته، أو يجتمع فيه الأمران فإن تمحضت مصلحته فإن اتحدت بأن كان فيه مصلحة واحدة حصلت وإن تعددت بأن كان فيه مصلحتان أو مصالح فإن أمكن تحصيل جميعها حصل وإن لم يمكن حصل الممكن وإن تعذر ما زاد على المصلحة الواحدة فإن تفاوتت المصالح في الاهتمام بها حصل الأهم منها، وإن تساوت في ذلك حصلت واحدة منها بالاختيار إلا أن يقع ههنا تهمة فبالقرعة

 

Artinya: “Sesungguhnya maslahat dan mafsadah kadang muncul bersama-sama dan membutuhkan kepada mencermati dlabith (batasan) sehingga terhindar dari perkara yang dilarang. Menurut kami, hukum perlu diperinci. (1) Adakalanya dengan jalan memastikan maslahatnya dan mafsadah-nya terlebih dahulu, atau (2) dengan jalan mengumpulkan keduanya jika terdapat kemaslahatan. (3) Jika sama antara maslahah dan mafsadah namun ada satu peluang kemaslahatan, maka diambil maslahah-nya. (4) Namun, jika tumpang tindih antara maslahah dan mafsadah, namun ada dua maslahah atau lebih yang mungkin bisa diwujudkan, maka diambil kemaslahatannya. (5) Jika sulit (untuk membedakan antara maslahah dan mafsadah), maka diupayakan yang mungkin diwujudkan. (6) Jika masih sulit mewujudkan satu maslahah saja disebabkan adanya kerancauan maslahah mana yang harus diutamakan, maka diambil yang paling penting. (7) Jika masih saja sulit membedakan antara maslahah mana yang harus diutamakan, kecuali dengan jalan pengundian, maka diundi.” (Muhammad Yusri, al-Maslahah fi al-Tasyrî’i al-Islâmî, Kairo: Dâr al-Yasr li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, 1954 M: 144).

 

Wallahu a’lam bi al-shawab. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar