Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam Adab al-Alim wa al-Muta’allim juga membahas membahas tentang keutamaan majelis ilmu, ulama, serta tercelanya kebodohan. Seperti pada pembahasan sebelumnya, beliau banyak memperkuat argumentasi-argumentasinya dengan penyebutan hadits Nabi serta statemen para sahabat dan ulama. Salah satunya adalah sabda Nabi Muhammad ﷺ, “Tuntutlah ilmu kemudian ajarkanlah kepada manusia” (HR al-Darimi, al-Nasai, al-Baihaqi dan lainnya).
Dalam hadits yang lain, Nabi bersabda, “Jika kalian melihat taman indah surga maka membaurlah di sana.” Nabi Muhammad ﷺ pun ditanya, “Apa itu taman surga?” Beliau menjawab, “Halaqah/majelis dzikir (mengingat kepada Allah),” (HR Ahmad dan al-Tirmidzi).
Imam Atha’, salah satu pembesar Tabi’in memberikan keterangan lebih lanjut mengenai halaqah itu. Beliau menegaskan halaqah yang dimaksud oleh Nabi adalah perkumpulan yang membahas tentang halal/haram, membahas bagaimana tata cara jual beli, tata cara shalat, zakat, haji, nikah, menceraikan istri, dan lain sebagainya.
Nabi Muhammad ﷺ mengingatkan agar ilmu diamalkan, beliau bersabda “tuntutlah ilmu lalu amalkanlah apa yang telah kau pelajari.” (HR Ahmad dan al-Darimi). Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda “tuntutlah ilmu dan jadilah salah satu dari para ahlinya” (HR Ahmad dan al-Darimi).
Hadlratussyekh selanjutnya menyinggung keutamaan ahli ilmu dibandingkan ahli ibadah yang tidak berilmu. Rais Akbar Nahdlatul Ulama tersebut mengutip sabda Nabi “tidaklah Allah disembah dengan suatu hal yang lebih utama dari pada mengerti permasalahan agama. Sungguh satu pakar fiqih lebih memberatkan bagi setan dari pada seribu orang yang ahli ibadah.” (HR al-Daruquthni dan al-Thabrani).
KH Hasyim Asy’ari selanjutnya mengutip dalil kemuliaan ulama yang disandingkan dengan derajatnya para syahid yang gugur di medan perang di jalan Allah. Beliau mengutip sabda Nabi “Goresan tinta para ulama beserta aliran darah para syuhada akan ditimbang pada hari kiamat.” (HR al-Qurthubi).
Dalam hadits yang lain, Nabi bersabda:
يشفع يوم القيامة ثلاثة الأنبياء ثم العلماء ثم الشهداء
“Ada tiga orang yang dapat memberikan syafa’at pertolongan kelak di hari kiamat yaitu para Nabi, para alim ulama keumdian para syuhada” (HR Ibnu Majah dan al-Qurthubi).
Bahkan menurut al-Imam al-Ghazali, hadits tersebut menunjukan bahwa derajatnya para ulama di atas para syuhada. Penyebutan dalam hadits tersebut memakai redaksi “tsumaa” yang mengindikasikan berurutannya level kemuliaan, di mana para ulama disebutkan setelah para Nabi dan sebelum para syuhada.
Hujjatul al-Islam al-Imam al-Ghazali menegaskan:
فأعظم بمرتبة هي تلو النبوة وفوق الشهادة مع ما ورد في فضل الشهادة
“Sungguh betapa agungnya level ulama yang mengiringi derajat kanabian dan melampaui derajat syahadah (mati syahid) padahal terdapat hadits yang menjelaskan begitu agungnya keutamaan syahadah (mati syahid). (Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, juz.1, hal.6).
Dalam referensi yang lain, al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith mengatakan:
قلت وفي ذلك دليل على أن العلماء العاملين أفضل عند الله من الشهداء الذين قتلوا في سبيل نصر الدين. قال الحسن البصري يوزن مداد العلماء بدم الشهداء فيرجح مداد العلماء على دم الشهداء.
“Aku berkata, dalam keterangan tersebut menunjukan bahwa para ulama yang mengamalkan ilmunya lebih utama di sisi Allah dibanding para syuhada yang terbunuh di jalan perjuangan agama. Al-Hasan al-Bashri berkata; kelak dibandingkan antara tinta para ulama dan darah para para syuhada, maka lebih unggul tinta para ulama atas darah para syuhada.” (al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Manhaj al-Sawi, hal.87-88).
Selanjutnya KH Hasyim Asy’ari mengutip sebuah riwayat bahwa para ulama kelak akan berada di atas mimbar singgasana yang terbuat dari cahaya. Salah seorang ulama terkemuka dari kalangan Syafi’iyyah, al-Qadli Husain menyatakan dalam permulaan kitab Ta’liqnya, bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang mencintai ilmu dan para ulama maka tak akan ada kesalahan yang akan ditulis selama masa hidupnya.”
Beliau al-Qadli Husain juga meriwayatkan sabda Nabi Muhammad ﷺ yang lain, “Barangsiapa yang shalat di belakang seorang ulama maka ia bagaikan sholat di belakang seorang nabi dan barangsiapa yang sholat di belakang seorang nabi, maka dosa yang telah ia perbuat akan diampuni.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abi Dzar dinyatakan bahwa mendatangi majelis dzikir (mengingat Allah termasuk dengan belajar ilmu) lebih baik dari pada melakukan shalat sebanyak seribu rakaat dan bertakziah menyaksikan seribu jenazah, serta lebih baik dari pada menjenguk seribu orang sakit.
Khalifah Umar bin al-Khattab berkata “sungguh apabila ada seorang lelaki yang keluar dari tempat tinggalnya dipenuhi dengan dosa layaknya gunung Tihamah, kemudian ia mendengarkan untaian kalam para ulama dan ia merasa takut hingga akhirnya ia bertaubat dari dosa-dosa yang telah ia lakukan, maka sungguh ia telah kembali ke rumahnya sedang ia sudah tak mempunyai dosa apapun, maka janganlah kalian berpisah dari majelisnya para ulama. Sesungguhnya Allah ﷻ tidaklah menjadikan tanah di muka bumi yang lebih mulia dari Majelis para ulama.”
Seorang ulama besar dari mazhab Maliki, Syekh al-Syarmasahi menyatakan dalam permulaan kitab Nadhmu al-Durar bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda “barangsiapa yang mengagungkan para ulama maka sungguh ia telah mengagungkan Allah ﷻ dan barangsiapa meremehkan para ulama, maka sungguh ia telah meremehkan Allah ﷻ dan Rasul-Nya.”
KH Hasyim Asy’ari selanjutnya menjelaskan perihal tercelanya kebodohan, di antaranya dengan mengutip sabda Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu sebagai berikut:
كفى بالعلم شرفا أن يدعيه من لا يحسنه وكفى بالجهل ذما أن يتبرأ منه من هو فيه
“Cukuplah menjadi bukti kemuliaan ilmu betapa orang yang tidak berilmu mengaku-ngaku berilmu, dan cukuplah menjadi bukti tercelanya kebodohan betapa orang yang berada dalam kebodohan merasa lepas darinya.”
Dalam tema yang senada tentang rendahnya kebodohan, menantu Nabi tersebut menyenandungkan sebuah syair:
كفى شرفا بالعلم دعواه جاهل * ويفرح أن أمسى إلى العلم ينسب
“Cukuplah menjadi bukti kemuliaan ilmu betapa orang bodoh mengaku-ngaku berilmu, ia senang dinisbatkan kepada ilmu.”
ويكفي خمولا بالجهالة أنني * أراع متى أنسب إليه وأغضب
“Cukuplah menjadi bukti hinanya kebodohan betapa aku takut dan marah ketika ia dinisbatkan kepadaku.”
Dalam keterangan lain yang dikutip al-Imam al-Ghazali, Sahabat Ali menyenandungkan syair yang sangat indah:
ما الفخر إلا لأهل العلم إنهم ... على الهدى لمن استهدى أدلاء
“Tiada kebanggan kecuali bagi orang yang berilmu, sesungguhnya mereka berada pada petunjuk (Allah), mereka menjadi petunjuk bagi orang-orang yang meminta petunjuk.”
وقدر كل امرىء ما كان يحسنه ... والجاهلون لأهل العلم أعداء
“Derajat setiap orang berada pada kepakarannya dalam sebuah hal. Orang-orang bodoh adalah musuh bagi para ahli ilmu.”
ففز بعلم تعش حيا به أبدا ... الناس موتى وأهل العلم أحياء
“Gapailah ilmu, maka engkau selamanya akan hidup. Para manusia mati sementara ahli ilmu hidup” (Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mengutip Sahabat Ali, Ihya’ Ulum al-Din, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 2 hal. 18-19 ).
KH. Hasyim Asy’ari juga menambahkan riwayat dari sahabat Ibnu Zubair beliau berkata bahwa sahabat Abu bakr pernah mengirimkan surat kepadaku saat aku berada di Irak “wahai anakku kau harus selalu dalam naungan ilmu karena jika engkau dalam keadaan fakir maka ilmu akan menjadi harta bagimu dan jika engkau dalam keadaan kaya maka ilmu akan menjadi penghias bagimu.”
Syekh Wahab bin Munabbih berkata “ada sebuah kemuliaan yang muncul dari ilmu, walaupun orang yang berilmu adalah bawahan, terdapat nilai keluhuran walaupun orang yang berilmu adalah orang yang direndahkan, terdapat sisi kedekatan (di sisi Allah) walaupun orang yang berilmu dalam tempat yang jauh, terdapat nilai kekayaan walaupun orang yang berilmu merupakan orang fakir. Terdapat kewibawaan walaupun orang yang berilmu dihinakan.
Tentang keutamaan ilmu, Syekh Wahab bin Munabbih menyenandungkan sebuah syair:
“Ilmu adalah hal yang dapat mengantarkan suatu kaum berada dalam puncak kemuliaan dan orang yang berilmu akan terhindar dari kerusakan.”
“Wahai orang-orang yang berilmu, berhati-hatilah kalian, jangan kalian kotori ilmu dengan sesuatu yang merusak. Sungguh tak ada yang dapat menggantikan posisi ilmu.”
“Ilmu dapat membuat sebuah rumah berdiri tegak walau tak bertiang, sedang kebodohan dapat menghancurkan rumah yang begitu megah dan mulia.”
Abu Muslim al-Khawlani Ra. Berkata “para ulama di bumi laksana bintang di langit, ketika bintang itu muncul maka manusia mendapatkan petunjuk, dan ketika bintang itu meredup, maka manusia dalam kebingungan.”
Dalam gubahan syairnya, Abu Muslim berkata:
“Berjalanlah sesuai jalurnya ilmu, dan perlihatkanlah ilmu kepada orang-orang yang mempunyai kepahaman.”
“Di dalam ilmu terdapat cahaya yang menerangi hati dari kebutaan, dan terdapat nilai bela agama yang kokoh.”
“Berbaurlah dengan para perawi ilmu, bersahabatlah dengan yang terbaik dari mereka. Maka bersahabat dengan mereka adalah perhiasan, membaur dengan mereka adalah keuntungan besar.”
“Maka janganlah engkau palingkan penglihatanmu dari mereka, karena merekalah bintang-bintang yang menjadi petunjuk, andai hilang satu bintang maka muncullah bintang yang lain.”
“Sungguh demi Allah andai tiada ilmu, niscaya tidak tampak sebuah petunjuk, dan tiada tampak pencerahan bagi kita dari perkara-perkara yang samar.”
Sahabat Ka’ab bin al-Akhbar berkata “andai saja tampak pahala majelisnya para ulama, maka orang-orang akan saling membunuh untuk memperebutkannya, hingga setiap penguasa rela meninggalkan kekuasaannya, dan pemilik pasar rela meninggalkan pasarnya.”
Sebagai keterangan tambahan, al-Habib Zain menegaskan bahwa hendaknya setiap muslim mengambil bagian dari warisan para Nabi. Sesungguhnya mereka tidak mewariskan harta atau tahta, namun mewariskan ilmu. Ulama besar dari Madinah tersebut menegaskan bahwa agama Islam dibangun atas dasar ilmu. Beliau mengatakan:
اعلم أن الدين الإسلامي قائم على أساس العلم والمعرفة فلا ينبغي للمسلم أن يكون بعيدا عن نور العلم بل لابد أن يقتبس من الميراث النبوي فإن العلماء ورثة الأنبياء
“Ketahuilah bahwa agama Islam berdiri atas dasar ilmu dan pengetahuan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim jauh dari cahaya ilmu. Bahkan wajib baginya mengambil warisan para Nabi, sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi.” (al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Manhaj al-Sawi, hal.83). []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar