Fiqh Siyasah Indonesia (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Islam Kepulauan Nusantara, dalam perkembangan dan dinamikanya tak pernah terputus dari dunia Islam lain. Berkat posisi sebagai ‘Benua Maritim’ yang cair, Kepulauan Nusantara menjadi perlintasan perdagangan dan penyebaran agama yang membentuk jejaring perdagangan, juga keagamaan seperti jaringan ulama.
Meski demikian, Islam Kepulauan Nusantara karena penyebaran Islam yang damai dan akomodasi dengan budaya lokal berbagai etnis atau suku, dalam perjalanan waktu membentuk distingsinya sendiri.
Dalam pokok pemahaman dan praksis keimanan-keislaman, tak banyak perbedaan dengan Islam di tempat lain, tetapi dalam ekspresi religio-kultural dan politik distingsi itu sejak zaman baheula sampai sekarang terlihat jelas.
Secara umum, fiqh siyasah Islam Kepulauan Nusantara pada masa klasik prakolonial mengikuti kerangka dasar ortodoksi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Suni) yang mulai terbentuk pada masa Dinasti atau Dawlah Umayyah (41-132H/661/750M).
Ortodoksi Suni menyebar dan terkonsolidasi di Kepulauan Nusantara sepanjang abad ke-15 sampai abad ke-18, khususnya. Dalam masa klasik, fiqh siyasah berpijak pada kerangka ortodoksi Islam Kepulauan Nusantara yang terdiri atas tiga aspek: kalam As’ariyah-Jabariyah, fiqh Mazhab Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali.
Karena itu, rujukan fiqh siyasah di Kepulauan Nusantara mencakup ulama Suni, khususnya Imam al-Mawardi (972-1058) atau Imam al-Ghazali (1058-1111).
Pemikiran fiqh siyasah klasik Kepulauan Nusantara terdapat dalam berbagai kitab historiografi dan periwayatan sejarah dan fiqh. Pengkaji harus meneliti secara cermat banyak karya klasik untuk menemukan paradigma, konsep, dan praksis fiqh siyasah Kepulauan Nusantara.
Historiografi dan periwayatan sejarah yang mengandung pemikiran dan bimbingan praksis fiqh siyasah mencakup Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Patani, Bustanus Salatin atau Babad Tanah Jawi.
Kitab-kitab tersebut lazimnya bertutur tentang sejarah sekaligus prinsip dan nilai yang harus diterapkan para penguasa dalam menjalankan kekuasaan dan pemerintahan.
Kitab-kitab tentang undang-undang, tradisi, dan adat juga mengandung pemikiran dan panduan praksis fiqh siyasah. Misalnya, Undang-undang Malaka, Adat Melayu, Tambo Alam Minangkabau, atau Undang-undang Minangkabau.
Kitab-kitab ini juga memberikan perspektif tentang akomodasi dan vernakularisasi Islam dengan adat dan budaya lokal, yang tak bertentangan dengan prinsip pokok Islam. Juga panduan bagi raja dalam melaksanakan kekuasaan dan hubungan raja dengan warga.
Lalu, ada kitab-kitab khusus tentang politik dalam perspektif fiqh siyasah. Kitab-kitab genre ini mencakup, misalnya, Tajus Salatin (Bukhari al-Jawhari) atau Tuhfatun Nafis (karya Raja Ali Haji).
Berbagai bentuk saduran kitab ini juga ditulis, misalnya, Serat Tajus Salatin yang dinisbahkan pada Yasadipura I (1729-1802), pujangga besar Kasunanan Surakarta.
Kitab-kitab politik ini mengandung banyak filosofi kekuasaan dan ajaran akhlak serta moral yang harus dilaksanakan raja, pejabat pemerintah, dan warga. Juga, banyak berbicara tentang urgensi raja memahami dan mengamalkan tasawuf.
Dengan mengamalkan tasawuf, raja dapat berlaku adil dan bijaksana dalam memerintah. Lalu, perlu dicermati kitab-kitab fiqh muamalah. Dalam genre ini, kitab paling menonjol adalah Mir’atut Tullab karya ulama besar abad ke-17, ‘Abdurrauf al-Singkili.
Karya ini adalah kitab fiqh muamalah pertama berbahasa Melayu yang menjadi rujukan selama berabad-abad di berbagai kerajaan dan warga Muslim, sejak dari Aceh melintasi pulau dan kerajaan lain sampai Kerajaan Sulu di barat daya dan selatan Filipina sekarang.
Kitab Mir’atut Tullab yang monumental sebagai karya intelektual Islam Kepulauan Nusantara menjelaskan, hampir seluruh aspek hal ihwal hubungan antarmanusia. Cakupan isinya selain hal, seperti nikah, talak, dan rujuk, juga pemerintahan dan kekuasaan.
Kitab ini ketika berbicara persyaratan raja atau sultan berbeda dengan ulama fiqh lain; ‘Abdurrauf al-Singkili tidak menyebut sama sekali raja harus laki-laki.
Dengan begitu, dia membenarkan kekuasaan sultanah (sultan atau raja perempuan); empat sultanah secara berurutan memegang puncak kekuasaan di Kesultanan Aceh sepanjang 1641-1699.
Semua periwayatan, wacana, dan arahan kitab-kitab di atas dalam berbagai bidang, memberikan banyak perspektif distingtif tentang fiqh siyasah klasik Islam Kepulauan Nusantara.
Distingsi juga terbentuk melalui proses vernakularisasi dan kontekstualisasi fiqh siyasah Suni dengan realitas sosial-budaya yang sangat majemuk di Kepulauan Nusantara. []
REPUBLIKA, 03 September 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar