Kotoran yang dikeluarkan dari pencernaan hewan, selain dianggap menjijikkan (mustaqdzar) juga dikategorikan sebagai salah satu perkara yang najis. Sehingga ketika kotoran ini menempel pada badan atau pakaian orang yang sedang shalat, dapat berakibat pada batalnya shalat yang dilakukan.
Status hukum kotoran hewan adalah najis secara mutlak, baik berasal dari hewan yang halal dimakan dagingnya seperti kambing, sapi, ayam, dan lainnya; atau hewan yang haram dimakan dagingnya, seperti anjing, babi, tikus, dan lainnya.
Pendapat tersebut merupakan pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafi’i serta dijadikan sebagai pengamalan dan ketetapan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Namun jika kita menelusuri lebih mendalam tentang persoalan status kotoran hewan ini, rupanya terdapat ulama yang berpendapat lain. Salah satu ulama mazhab Syafi’I, Imam Abu Said Al-Ustukhri dan Imam Ar-Rawyani, berpandangan bahwa kotoran hewan bukan merupakan barang najis. Pendapat serupa juga dimiliki mazhab Maliki dan Hanbali. Berikut referensi yang menjelaskan tentang hal ini:
فرع في المنفصل عن باطن الحيوان هو قسمان: أحدهما ليس له اجتماع واستحالة في الباطن وإنما يرشح رشحا .والثاني يستحيل ويجتمع في الباطن ثم يخرج فالأول كاللعاب والدمع والعرق والمخاط فله حكم الحيوان المترشح منه إن كان نجسا فنجس وإلا فطاهر
“Cabang permasalahan tentang sesuatu yang terpisah dari bagian dalam hewan. Sesuatu yang terpisah dari bagian dalam hewan terbagi menjadi dua. Pertama, cairan yang tidak terdapat proses pengumpulan dan perubahan dari organ dalam hewan, hanya sebatas meresap saja. Kedua, cairan yang terdapat proses perubahan dan berkumpul di organ dalam hewan lalu cairan tersebut keluar. Contoh cairan jenis pertama adalah air liur, air mata, keringat, dan ingus, maka hukum dari cairan jenis ini tergantung dengan status hewan yang mengeluarkan cairan tersebut. Jika hewan dihukumi najis, maka cairan tersebut najis. Jika keluar dari hewan yang tidak najis, maka cairannya dihukumi suci.”
والثاني كالدم والبول والعذرة والروث والقيء وهذه كلها نجسة من جميع الحيوانات مأكول اللحم وغيره ولنا وجه أن بول ما يؤكل لحمه وروثه طاهران وهو أحد قولي أبي سعيد الأصطخري من أصحابنا واختاره الروياني وهو مذهب مالك وأحمد والمعروف من المذهب النجاسة
Contoh sesuatu yang keluar dari hewan jenis kedua adalah darah, urin, tinja, dan muntahan, maka seluruhnya dihukumi najis ketika keluar dari seluruh jenis hewan, baik itu hewan yang dapat dikonsumsi dagingya ataupun tidak dapat dikonsumsi. Dalam mazhab Syafi’i terdapat pendapat bahwa urin dan tinja dari hewan yang dapat dimakan dagingnya di hukumi suci. Pendapat ini merupakan salah satu pandangan Syekh Abi Sa’id al-Ustukhri yang berasal dari Ashab (murid) Imam Syafi’i. Pendapat ini dipilih oleh imam Ar-Rawyani dan merupakan pendapat dalam mazhab Maliki dan Ahmad. Sedangkan pendapat yang lebih dikenal dalam Mazhab Syafi’i adalah najis” (Syekh Khatib asy-Syirbini, al-Iqna’ fi Hilli Alfadz al-Minhaj, juz 1, hal. 5)
Salah satu dalil yang dijadikan pijakan oleh para ulama yang berpendapat bahwa kotoran hewan yang halal dimakan bukanlah perkara najis adalah beberapa hadits yang mengindikasikan bahwa kotoran tersebut suci. Seperti dalam hadits berikut:
كَانَ يُحِبُّ أَنْ يُصَلِّيَ حَيْثُ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ وَيُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ
“Rasulullah senang Shalat di mana pun waktu shalat tiba. Dan Rasulullah pernah melaksanakan shalat di kandang kambing.” (HR. Bukhari)
Berdasarkan hadits tersebut, para ulama yang berpendapat kotoran hewan yang halal dimakan adalah suci menjelaskan bahwa melaksanakan shalat di kandang kambing tentunya pasti akan terkena kotoran kambing, maka menghukumi bahwa kotoran kambing sebagai hal yang najis justru akan menganggap shalat Rasulullah tidak sah karena terkena najis. Begitu juga disamakan dengan hewan kambing, yaitu hewan-hewan lain yang halal dimakan.” (Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 40, hal. 92)
Selain hadits di atas, juga terdapat hadits lain yang mengindikasikan bahwa kotoran hewan yang halal dimakan adalah suci, misalnya seperti hadits yang menjelaskan anjuran meminum kencing unta.
Meski dalil yang diusung oleh para ulama yang menghukumi sucinya kotoran hewan yang halal dimakan selintas dianggap kuat, namun menurut para ulama yang berpandangan bahwa kotoran tersebut adalah najis, dalil-dalil yang diusung di atas telah mendapat pentakwilan (pengarahan makna hadits) sebab jika dalil di atas tidak ditakwil, maka akan bertentangan dengan beberapa dalil lain. (Imam Ar-Rafi’I, al-Aziz Syarh al-Wajiz, juz 1, hal. 178)
Misalnya pada hadits yang menjelaskan tentang meminum air kencing unta, diarahkan bahwa kasus tersebut hanya diperbolehkan dalam konteks pengobatan, itu pun ketika tidak ditemukan obat lain yang suci dan dapat menyembuhkan. Sebab hadits yang menjelaskan halalnya kecing unta dijelaskan dalam konteks pengobatan, sehingga tidak dapat dimaknai secara umum.
Sedangkan dalam menanggapi hadits Rasulullah melaksanakan shalat di kandang kambing, para ulama yang berpendapat najisnya kotoran hewan yang halal dimakan menakwil bahwa Rasulullah melaksanakan shalat di kandang kambing dengan keadaan tidak mengenai kotoran kambing yang terdapat di kandang tersebut. Sebab jika tidak diarahkan dalam konteks demikian mestinya tidak ada perbedaan antara melaksanakan shalat di kandang kambing dengan kandang unta karena sama-sama menganggap bahwa kotoran keduanya adalah suci. Padahal dalam kesempatan lain, Rasulullah justru membedakan di antara keduanya:
صلوا في مرابض الغنم ولا تصلوا في أعطان الإبل
“Shalatlah kalian di kandang kambing, janganlah kalian shalat di kandang unta.” (HR. Tirmidzi)
Hal lain yang patut dipahami bahwa Rasulullah melaksanakan shalat di kandang kambing sama sekali tidak merendahkan terhadap martabat Rasulullah yang agung, sebab melaksanakan shalat di kandang kambing pada masa itu tidak sama dengan gambaran shalat di kandang kambing pada masa sekarang. Sehingga dalil anjuran shalat di kandang kambing harus diarahkan pada pemahaman yang tepat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menetapkan status hukum kotoran hewan yang halal dimakan memang terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Namun dalam konteks pengamalan, langkah yang paling bijak adalah mengikuti pendapat yang kuat dalam mazhab mazhab Syafi’i: status hukum kotoran adalah najis. Hal demikian selain dalam rangka kehati-hatian (ihtiyath) dalam mengamalkan hukum syariat, juga untuk menyesuaikan dengan pandangan umum masyarakat sekitar (muwafaqah an-nas) yang secara umum langsung memahami bahwa kotoran hewan yang halal dimakan adalah menjijikkan dan najis. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar