Fiqh Siyasah Indonesia (1)
Oleh: Azyumardi Azra
Subjek tentang hubungan agama (Islam) dan politik atau negara yang dalam kajian Islam disebut din wa siyasah tampak menjadi tema yang hampir perenial di kalangan Muslim. Bahkan subjek ini seolah menguasai imajinasi kalangan Muslim dari waktu ke waktu, menghasilkan perdebatan, polemik, dan kontestasi politik yang tak berujung.
Perdebatan tentang hubungan antara Islam dan negara juga terus menyeruak ranah publik Indonesia yang baru saja merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-75. Perayaan hari kemerdekaan diselenggarakan dengan kemeriahan terbatas mengikuti protokol kesehatan menghadapi wabah Covid-19.
Penulis Resonansi ini termasuk di antara lebih 19 ribu individu dari Tanah Air dan mancanegara yang diundang Istana Negara mengikuti peringatan detik-detik proklamasi ke-75 melalui daring.
Merayakan kemerdekaan dengan keprihatinan, tetapi bagi sebagian kalangan dijadikan momentum membangkitkan kembali wacana ke ranah publik tentang bentuk tertentu hubungan Islam dan negara, seperti misalnya dibayangkan dalam ‘khilafah’. Difasilitasi berbagai bentuk media sosial, wacana ini menimbulkan kontroversi dan konflik pandangan yang ramai di antara warga, khususnya umat Islam Indonesia.
Jelas model hubungan antara Islam dan negara dalam imagined political entity tersebut sangat berbeda dengan yang sudah berlaku di Indonesia 75 tahun terakhir: NKRI, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Para pendukung wacana sistem dan lembaga politik itu belum mau bersyukur dengan Indonesia.
Akan tetapi jelas mayoritas absolut warga Indonesia sepanjang 75 tahun menerima empat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia; bahkan penerimaan itu disebut final. Jika ada warga yang menginginkan bentuk lain negara-bangsa di bumi ini, pasti jumlahnya hanyalah segelintir.
Meski demikian, kewaspadaan dan ketahanan warga pendukung NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika perlu terus diperkuat karena infiltrasi gagasan tentang sistem politik dan kenegaraan lain terus berlanjut.
Lihat misalnya dalam hari-hari seputar peringatan hari kemerdekaan RI, juga beredar film atau video panjang tentang ‘Jejak Khilafah di Nusantara’. Tayangan yang beredar luas ini ber-hujjah bahwa jejak ‘khilafah’ sudah ada sejak masa Kesultanan Demak (1475-1548) dan beberapa kerajaan lain di Nusantara. Konon tayangan itu telah diblokir, entah oleh siapa—walau sebenarnya masih bisa ditemukan beredar di internet.
Sudah banyak bantahan tentang klaim tersebut. Misalnya saja ada bantahan dari Profesor Peter Carey, guru besar emeritus Universitas Oxford yang menghabiskan sebagian besar karier akademisnya untuk meneliti riwayat Pangeran Diponegoro dan lingkungan Islam di Pulau Jawa sejak masa awal.
Profesor Carey intinya menolak klaim adanya jejak ‘Khilafah Utsmaniyah’ di Kerajaan Demak dan Kesultanan Yogyakarta; tidak ada bukti hubungan politik-diplomatik.
Penulis Resonansi ini yang meneliti sejarah sejarah hubungan Kepulauan Nusantara dan Timur Tengah juga menolak klaim ‘Jejak Khilafah di Nusantara’. Silakan membaca nalar dan alasan penolakan yang beredar luas dalam media sosial daring.
Resonansi ini tidak langsung membahas klaim dan kontra-klaim itu. Sebaliknya memusatkan pembahasan pada konsep dan praksis politik Islam (fiqh siyasah). Untuk bisa memahami lebih utuh lengkap dengan kontiniitas dan perubahan dalam perjalanan waktu, pembahasan ini mencakup fiqh siyasah di Kepulauan Nusantara sejak masa kesultanan, melintasi zaman kolonial Belanda dan kemerdekaan dan Indonesia kontemporer.
Dalam kaitan itu, penulis beruntung menjadi salah satu pembicara dalam Webinar Internasional yang diselenggarakan UIN SMH Serang, Banten pekan lalu (21/8/20) bertajuk ‘Relasi Agama dan Negara: Fiqh Siyasah dan Siasat Politik’. Tampil sebagai pembicara kunci Menko Polhukam Mahfud MD dan Nadirsyah Hosen, guru besar Monash University, Clayton, Australia.
Profesor Mahfud MD dalam pidato kuncinya banyak membantah anggapan yang beredar di sebagian kalangan umat Islam bahwa Pemerintah RI memiliki semacam ‘Islamofobia’. Mahfud menyatakan, tidak mungkin Islam dan kaum Muslim dengan berbagai lembaganya semacam UIN atau PTKIN bisa berkembang dengan fasilitas fisik prasarana yang baik jika pemerintah menganut Islamofobia.
Untuk memperkuat argumennya, Menko Polhukam bercerita tentang pejabat-pejabat tinggi yang selalu shalat pada waktunya dan juga ada yang rajin puasa Senin-Kamis.
Penulis Resonansi ini mendukung sepenuhnya pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD. Kaum Muslimin sepatutnya lebih banyak bersyukur daripada sibuk mengeluh, komplain dan berpikir ‘pemerintah Islamofobia’. Jelas masih banyak masalah --menjadi berlipat ganda akibat wabah korona-- yang harus ditangani pemerintah. Namun, masyarakat juga harus berpikir lebih positif daripada hanya berkeluh-kesah. []
REPUBLIKA, 27 Agustus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar