Rabu, 07 Oktober 2020

Buya Syafii: Muhammad Asad, Risalah Alquran, dan Dunia Melayu (I)

Muhammad Asad, Risalah Alquran, dan Dunia Melayu (I)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Pengantar

 

Pada Desember 2014, Islamic Renaissance Front, Kuala Lumpur, meminta saya menulis pengantar terjemahan karya tafsir Muhammad Asad, Risalah al-Qur’an, ke dalam bahasa Melayu. Agar pembaca Indonesia dapat juga mengikuti apa yang saya tulis, kata pengantar itu ada baiknya diturunkan juga dalam Resonansi ini.

 

Dalam sebuah dunia yang serbacepat saji, yakni pemikiran mendalam yang penuh perenungan sudah semakin tersingkir dari pola hidup manusia modern, maka menghadirkan seorang Muhammad Asad dalam perjalanan kerohaniannya yang panjang penuh liku, perlu disegarkan kembali untuk memancing dan mengasah daya nalar kita agar tetap tajam dan lincah. Selamat membaca!

 

Tajuk tulisan ini ingin menjelaskan keterkaitan Muhammad Asad (2 Juli 1900-23 Februari 1992), Risalah al-Qur’an (The Message of the Qur’an), magnum opus Asad, dan dunia Melayu sebagai pembaca utama terjemahan karya agung ini.

 

Diharapkan, gagasan besar Asad tentang Alquran, Islam, dan perlunya regenerasi dengan pemahaman baru yang mencerahkan tentang warisan sejarah umat yang kompleks, dapat dipahami secara luas dan jernih di rantau ini.

 

Selain itu, dapat dijadikan sumber ilham untuk bangkit serentak dengan kepercayaan diri tinggi. The Message of the Qur’an terbit pertama kali pada 1980 dan diterjemahkan ke berbagai bahasa.

 

Risalah al-Qur’an adalah terjemahan dalam bahasa Melayu dari karya Asad. Sebenarnya, pada 1964, Asad menerjemahkan surah al-Baqarah sampai surah at-Taubah, tetapi terjemahan dan tafsir lengkap baru terbit pada 1980 di atas.

 

Lahir sebagai cucu ulama Yahudi dalam rantai silsilah panjang di Kota Lemberg, Galicia, waktu itu bagian imperium Austro-Hungaria (kini dikenal sebagai Kota Lviv, Ukraina), Muhammad Asad yang semula bernama Leopold Weiss, melalui pengembaraan rohani dramatis yang sangat mengesankan.

 

Sebagai koresponden surat kabar Jerman, Frankfurter Zeitung di Yerusalem, Asad pernah berdebat keras dengan Dr Chaim Weizmann, tokoh Zionisme internasional. Asad saat itu belum memeluk Islam, tetapi kecurigaannya pada Zionisme sudah mendalam.

 

Di mata Asad, gerakan Zionis itu imoral karena bertujuan merampas tanah Palestina dengan mengusir penduduk aslinya.

 

Inilah isi perdebatan itu, “Bagaimana tentang orang Arab”, Asad bertanya kepada Weizmann suatu hari pada saat tokoh Zionis itu menjelaskan visinya tentang Perumahan Nasional Yahudi. “Bagaimana tentang orang Arab?” gerutu Dr Weizmann.

 

Asad lalu meneruskan pertanyaannya, “Baiklah, bagaimana Anda pernah berharap menjadikan Palestina sebagai tanah airmu di tengah perlawanan yang keras dari orang Arab, bagaimanapun juga, merupakan mayoritas di negeri ini?”

 

Sambil mengangkat bahunya, tokoh Zionis itu menjawab, “Kami berharap dalam beberapa tahun mereka tidak lagi kelompok mayoritas.” (Lihat Muhammad Asad dalam http://islamicencyclopedia.org/public/index/topicDetail/id/698).

 

Jawaban ini sangat menyakitkan perasaan Asad. Sudah terbayang di matanya, pengusiran rakyat Palestina secara besar-besaran demi mengubah secara radikal komposisi penduduk agar orang Yahudi menjadi dominan di tanah rampasan itu.

 

Sampai akhir hayatnya, sikap Asad tak berubah sebagai seorang yang keras anti-Zionisme.

 

Karena terlibat proses pembentukan Pakistan sebagai pecahan India, saat berdirinya Israel, Mei 1948, Asad tak sempat bersuara lantang menentang kelahiran negara Zionis itu. Barulah pasca-Perang Juni 1967, Asad bersuara lagi tentang sengketa Israel-Arab ini.

 

Kita kutip: Kami tidak mungkin pernah berdamai dengan pendapat, yang begitu memuaskan pihak Barat bahwa Yerusalem dijadikan ibu kota Israel. Dalam alur pikiran tentang sebuah Palestina merdeka --sebuah negara yang di dalamnya umat Yahudi, umat Kristen, dan umat Islam dapat hidup berdampingan dalam persamaan politik dan kultural secara penuh-- komunitas Muslim khususnya harus dipercayai sebagai penjaga Yerusalem sebagai kota terbuka bagi ketiga komunitas. (Ibid.).

 

Dalam perkembangan selanjutnya, Israel terus saja berpegang pada mimpi Weizmann bahwa orang Palestina, penduduk asli, harus disapu bersih dari tanah airnya sendiri. Ini malapetaka kemanusiaan terbesar sejak sekitar 56 tahun yang silam.

 

Dunia beradab (atau biadab) belum berani berbuat banyak untuk membela kemerdekaan Palestina ini. AS sebagai “bapak angkat” Israel, selalu membela negara Zionis sekalipun mendapat kritik keras dari berbagai negara di dunia.

 

Muhammad Asad meninggalkan agama nenek moyangnya dan menyatakan sebagai pemeluk Islam di sebuah masjid di Berlin pada 1926 setelah beberapa tahun mengembara di dunia Arab, termasuk di lingkungan masyarakat Badwi.

 

Pergaulan dengan orang Arab meninggalkan kesan mendalam pada Asad tentang “bagaimana Islam memberikan kepada kehidupan harian mereka makna yang hakiki, kepuasan spiritual, dan kedamaian, sekalipun pengetahuannya tentang Islam masih sedikit saat itu…” (Ibid.).

 

Dalam kehidupan Muslim terlihat olehnya “satu simbiosis yang saling bertalian antara minda dan tubuh, sebuah sifat yang demikian kurang pada orang Eropa yang telah dikenalnya (Ibid). []

 

REPUBLIKA, 15 September 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar