Selasa, 06 Oktober 2020

Azyumardi: Fiqh Siyasah Indonesia (4)

Fiqh Siyasah Indonesia (4)

Oleh: Azyumardi Azra 

 

Meski mengikuti beberapa prinsip dasar fiqh siyasah ahlus sunnah wal jamaah, fiqh siyasah klasik Indonesia tak mengikuti banyak konsep dan praksis fiqh siyasah Suni.

 

Ini juga yang membuat fiqh siyasah Indonesia menjadi distingtif vis-a-vis fiqh siyasah di dunia Muslim lain, seperti Asia Selatan, Asia Barat, dan Afrika Utara. Berkembang dan terbentuknya distingsi fiqh siyasah Indonesia terkait banyak distingsi Islam Kepulauan Nusantara.

 

Distingsi terbentuk lewat vernakularisasi, indigenisasi, dan kontekstualisasi Islam dengan realitas sosial-budaya dan politik lokal. Salah satunya, tak ada pembedaan dunia atau ranah damai atau ranah Islam (Dar al-Islam) dan ranah perang (Dar al-Harb) atau ranah kafir (Dar al-Kufr).

 

Sesuai fiqh siyasah tradisional, pembagian semacam ini lazim di banyak dinasti semacam Umaiyyah atau Abbasiyah. Raja atau sultan di Kepulauan Nusantara tak memberlakukan fiqh siyasah tradisional dan praktik politik tentang pembagian dunia atau ranah politik.

 

Memang, ada kerajaan atau kesultanan yang menggunakan julukan seperti ‘Dar al-Salam’ semacam Kesultanan Aceh. Namun, terminologi ini lebih sebagai julukan kebanggaan daripada adopsi konsep dan praktik pembelahan ranah religio-politik.

 

Raja atau sultan di Kepulauan Nusantara, juga tidak mengadopsi dan memberlakukan sistem ‘millet’ untuk non-Muslim pada masa Dinasti Turki Utsmani (Ottoman).

 

‘Millet’ dalam sistem politik dan pemerintahan Imperium Utsmani, adalah perlindungan khusus bagi kaum minoritas agama, khususnya Yahudi dan Kristiani. Berkat sistem ini, komunitas Yahudi, misalnya, mencapai ‘renaisans agama dan kebudayaan’.

 

Mereka berdiam di berbagai wilayah kekuasaan Turki Utsmani setelah terusir bersama kaum Muslimin dan Spanyol ketika terjadi ‘rekonqista’ dan ‘inquisisi’ oleh kekuatan religio-politik Katolik.

 

Dengan tidak mengadopsi konsep dan praktik pembelahan Dar al-Islam dan Dar al-Harb, sultan dan raja di Kepulauan Nusantara juga tak mengadopsi konsep dan praksis dzimmi (non-Muslim yang dilindungi).

 

Non-Muslim diperlakukan sama dengan warga Muslim. Karena konsep dan praksis dzimmi tak diadopsi, raja dan sultan di Kepulauan Nusantara pun tak menerapkan kewajiban membayar jizyah (atau ‘pajak’ per kepala) bagi non-Muslim.

 

Selain itu, non-Muslim tak mengeluarkan zakat dan berbagai bentuk filantropi Islam lain. Hal distingtif lain, kebolehan perempuan menjadi penguasa puncak. Fenomena ini sudah berlaku pada masa pra-Islam dan berlanjut pada masa kerajaan Islam atau kesultanan.

 

Perempuan seperti Sultanah Nahrasiyah menjadi penguasa puncak di Kesultanan Samudra-Pasai (1406-27). Sultanah Syah Barisah Alam di Kerajaan Perlak di Semenanjung Malaya. Yang tersohor, empat sultanah berturut-turut (1641-1699M) memerintah Kesultanan Aceh.

 

Mereka, Sri Ratu Tajul Alam Syafiatuddin Syah (1641-75), Sri Ratu Naqiatuddin Syah (1675-8), Sri Ratu Zakiayatuddin Inayat Syah (1678-88), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1678-99). Sultanah terakhir dimakzulkan berdasar pada fatwa dari ulama Makkah dan digantikan suaminya.

 

Penerapan dan konsolidasi konsep dan praksis fiqh siyasah klasik Indonesia tak berlanjut dengan kedatangan kekuatan Eropa (Portugis, Belanda, Spanyol). Ketiga kekuatan kolonial ini tak hanya mengganggu, tapi juga menaklukkan kerajaan di Kepulauan Nusantara.

 

Hanya kolonialisme Inggris yang membiarkan kerajaan tetap ada di Semenanjung Malaya, dengan memiliki otoritas dalam bidang agama (Islam) dan adat resam Melayu. Sedangkan penjajah Inggris, memiliki wewenang dalam bidang politik dan ekonomi.

 

Kolonialisme Belanda, menundukkan kerajaan atau kesultanan satu per satu di seluruh Kepulauan Indonesia. Penguasaan melalui perang yang mereka menangkan atau perjanjian panjang atau perjanjian pendek, yang akhirnya menghapus kerajaan.

 

Memang, ada kesultanan/kerajaan yang dibiarkan Belanda tetap ada, seperti Kesultanan Yogyakarta. Namun, tak memiliki kekuasaan politik, ekonomi, dan keagamaan; simbolis saja.

 

Penghapusan kerajaan atau kesultanan membebaskan Islam Indonesia dari absolutisme dan feodalisme. Akhirnya, Islam Indonesia terbebas dan mandiri dari kekuasaan raja, sekaligus kolonialisme Belanda.  []

 

REPUBLIKA, 17 September 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar