Al-Ta'lim al-Muta'allim (17)
Ontologi Manusia
Oleh: Nasaruddin Umar
Manusia sebagai spesies makhluk paling mulia (ahsan taqwim), karena selain memiliki berbagai daya yang tidak dimiliki makhluk dalam kategori alam syahadah. Selain memiliki daya seluruh daya tumbuh-tumbuhan dan binatang, manusia juga dianugrahi daya lebih berupa daya yang lebih prakti (practical/'amilah) yang akan memudahkan mobilitas kehidupan jasmaniahnya. Mobilitas binatang memang ada tetapi konstan. Untuk naik ke puncak gunung semut tetap memerlukan waktu yang sama dengan jutaan tahun lalu dengan sekarang ini. Sedangkan manusia sudah menggunakan teknologi canggi sehingga bisa melipat waktu dan tempat menjadi pendek dan dekat.
Daya lain yang dimiliki manusia ialah kemampuan teoritis (theoretical/nadhariyyah) untuk hal-hal yahg bersifat abstrak. Daya ini mempunyai beberapa tingkat kemampuan, yaitu 1) Kemampuan intelektual standar (material intellect/al-'aql al-hayulan) yang beropetensi untuk berfikir secara sederhana yang bersifat matrial, seungguhpun belum terlatih, 2) kemampuan intelektual yang terlatih dan sudah dapat menganilisis hal-hal yang abstrak (intellecus in habitu/al-'aql bi al-malakah), 3) Kemampuan intelektual utuk berfikir abstrak sekalipun belum dilatih (al-'aql bi al-fi'li), dan 4) Kemampuan intelektual yang scara spontanitan memahami hal-hal yang bgersifat abstrak tanpa latihan (al-'aql al-mustafad). Kemampuan intelektual seperti inilah yang mampu menerima limpahan dari Akal Aktif (al-'Aql al-Fa'al), yaitu Sesuatu yang bukan lagi masuk dalam kategori alam dalam arti makhluk, tetapi keberadaannya di lingkup Entitas Permanen (al-A'yan al-Tsabitah).
Potensi bertingkat yang dimiliki anak manusia
menentukan status dan perkembangan lebih lanjut kehidupan manusia. Manusia yang
hanya mampu menggunakan potensi standarnyanya maka ia akan berada di level
standar dalam status dan perkembangan martabat dirinya. Bahkan manusia yang
tidak sanggup samasekali menggunakan potensi intelektualnya maka ia akan turun
derajatnya seperti binatang atau tumbuh-tumbuhan, sebagaimana diisyaratkan
dalam ayat:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ
لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا
وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ
أَضَلُّ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Q.S. al-An'am/7:179).
Menurut Sayid Hussen Nasr, manusia satu-satunya
makhluk eksistensialis, dalam rti bisa berubah-ubah eksistensi. Kadang manusia
seperti apa adanya sebagai manusia, kadang juga turun seperti binatang atau
lebih rendah lagi, dan kadang juga menanjak melampaui malaikat, seperti yang
dibuktikan Nabi Muhammad Saw, mampau menjangkau Sidratil Muntaha, tempat paling
puncak dan The Sacred of The Sacred Places, yang tidak pernah dijangkau oleh
makhluk siapapun, termasuk Jibril yang dikenal sebagai panglimanya para
malaikat. Dari segi inilah manusia disebut sebagai double existence, karena
selain ada unsurnya masuk ke wilayah alam syahadah juga memiliki unsur yang
bisa masuk wilayah alam gaib. Bahkan Roh manusia masih diperdebatkan apakah
makhluk atau bukan? Allahu A'lam. []
DETIK, 06 Juli 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar