Fiqh Siyasah Indonesia (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Apa distingsi fiqh siyasah Kepulauan Nusantara? Kekhasan fiqh siyasah itu pertama-tama adalah entitas (body politics) Islam Kepulauan Nusantara adalah kerajaan atau kesultanan. Kedua istilah ini tidak berbeda secara substansi, walau yang pertama (kerajaan) adalah istilah lokal, sedangkan yang kedua (kesultanan) berasal dari bahasa Arab.
Kaum bangsawan atau penguasa di berbagai tempat di Kepulauan Nusantara umumnya lebih memilih untuk mempertahankan istilah ‘raja’ sebagai penguasa tertinggi dengan entitas politik ‘kerajaan’ yang sudah dipakai sejak masa pra-Islam. Proses adopsi ini sering disebut sebagai vernakularisasi Islam ke dalam konteks lokal yang telah ada sebelumnya.
Meski demikian, penguasa atau raja di Kepulauan Nusantara juga lazim mengambil istilah ‘sultan’ untuk menyebut raja dan ‘kesultanan’ untuk menyebut entitas politiknya. Dengan penggunaan istilah sultan untuk penguasa dan kesultanan untuk entitas politiknya, body politics dan polity kaum Muslimin Kepulauan Nusantara merasa lebih dekat dengan ortodoksi fiqh siyasah di bagian Dunia Muslim lain.
Sepanjang sejarah sekitar 16 kerajaan atau kesultanan utama di seluruh Kepulauan Nusantara, tidak ada satu pun memiliki entitas politik ‘khilafah’. Boleh jadi karena istilah ini di masa itu asing bagi lingkungan kerajaan di Kepulauan Nusantara. Boleh jadi juga karena raja atau sultan, merasa tidak dalam posisi untuk mengklaim entitas politiknya sebagai ‘khilafah’.
Meski demikian, sultan-sultan Kesultanan Mataram sampai Sultan Yogyakarta Hamengkubowono IX di masa pasca-kemerdekaan menyatakan diri sebagai ‘sayidin panotogomo kalipatullah. Istilah ‘kalipatullah’ (bukan ‘kilafatullah’) sesuai ayat 30 Surah al-Baqarah tentang penciptaan manusia sebagai ‘khalifah’, bukan sebagai ‘khilafah’ sebagai entitas politik.
Lagi pula, dalam konteks fiqh siyasah klasik kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah Kepulauan Nusantara penggunaan istilah ‘kalipatullah’ adalah untuk menekankan absolutisme sultan atau raja. Raja atau sultan adalah ‘bayang-bayang Allah di muka bumi’ (zill Allah fi al-Ard).
Raja atau sultan juga sering sekaligus mencitrakan diri sebagai Qutb al-Din (poros agama) atau bahkan sebagai ‘Wali Allah di muka bumi’ (waliyullah fil ardh). Semua terminologi ini mengandung konsep tasawuf. Dengan menekankan aspek tasawuf, raja atau sultan sekaligus mencitrakan ketinggian atau kesempurnaan rohaninya di atas para warganya.
Absolutisme raja atau sultan dengan menggunakan berbagai istilah dan konsep agar rakyat sepenuhnya tunduk pada penguasa. Rakyat haram melakukan oposisi, perlawanan apalagi pemberontakan. Semua ini disebut ‘durhaka kepada raja atau sultan’ yang dalam konsep fiqh siyasah klasik disebut bughat—dosa tidak berampun pada raja sebagai zillullah fil ardhi.
Dengan menekankan absolutisme kekuasaan, raja atau sultan dapat memelihara stabilitas negara—prasyarat untuk melaksanakan ‘ibadah mahdhah dan ibadah sosial dengan baik. Jika keadaan tidak stabil ibadah sosial seperti shalat berjamaah di masjid atau berusaha dan bekerja mencari ilmu atau rezeki tidak bisa berlangsung baik. Terlaksananya ibadah dengan baik bagi raja atau sultan lebih penting daripada keadilan dan musyawarah (shura) dengan kaum bangsawan, priyayi dan warga.
Tetapi dengan penekanan tersebut bukan berarti keadilan boleh diabaikan sama sekali. Sebaliknya, fiqh siyasah Kepulauan Nusantara selalu menekankan raja atau sultan dan penguasa lainnya untuk menegakkan keadilan. Meski memegang kekuasan secara absolut, raja atau sultan tidak boleh petenteng berlaku sekehendak hati sehingga tidak adil pada warganya.
Fiqh Siyasah klasik Kepulauan Nusantara mengibaratkan hubungan antara Sultan dan warga/rakyat seperti mahkota cincin (sultan) dan lingkaran cincin (rakyat). Sultan tak bisa menjadi mahkota cantik jika tidak dilingkari rakyat; rakyat membuat kekuasaan sultan atau raja menjadi kokoh.
Raja atau sultan selalu digariskan fiqh siyasah agar dalam kekuasaannya mengikuti ketentuan hukum-hukum Allah (syari’ah dan fiqh). Raja tidak boleh mengabaikan, apalagi melangggar ketentuan Allah SWT dan Nabi-Nya Muhammad SAW. Hanya dengan begitu raja atau sultan dapat membawa kerajaannya menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Pada saat yang sama raja atau sultan juga harus mengikuti tradisi, istiadat dan adat resam yang berlaku di dalam komunitas warganya. Adat resam itu juga harus mereka pastikan tidak bertentangan dengan hukum Allah SWT. Dengan kewajiban ini, raja secara implisit harus mengakomodasi dan menghormati tradisi dan adat lokal.
Tak kalah pentingnya, raja atau sultan perlu membangun struktur birokrasi kerajaan agar kekuasaan pemerintahan bisa efektif. Lazimnya struktur birokrasi pemerintahan mencakup wazir (perdana menteri), menteri, syaikhul Islam/mufti/qadi, panglima, laksamana dan bendahari. Kerajaan juga dilengkapi barisan lasykar untuk memelihara keamanan dan pertahanan. []
REPUBLIKA, 10 September 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar