Kamis, 23 September 2021

(Ngaji of the Day) Membaca Al-Qur’an tanpa Paham Artinya dan Perumpamaan Keledai

 Membaca Al-Qur’an tanpa Paham Artinya dan Perumpamaan Keledai

 

قال تعالى: ـ مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

 

Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS Al-Jumu’ah [62]: 5).

 

Seseorang bertanya kepada saya tentang maksud yang dikandung dari Al-Qur’an Surat Al-Jumuah ayat 5 di atas. Pasalnya, si penanya takut karena ia sering membaca Al-Qur’an namun tidak mengerti artinya. Penanya tersebut adalah seorang guru Al-Qur’an di sebuah sekolah menengah atas yang menyelenggarakan program tahfidhul qur’an. “Apakah saya tidak termasuk kamatsalil himar yahmilu asfara (seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal)?” katanya.

 

Rasa takut tersebut wajar. Apalagi, teman saya ini adalah guru TPQ yang tak hanya rutin membawa Al-Qur’an tapi juga mengajarkan membaca Al-Qur’an kepada anak kecil.

 

Kiranya model perumpamaan seperti ini dapat ditemukan di beberapa tempat di dalam Al-Qur’an. Perumpamaan orang-orang munafiq dijelaskan dalam QS al-Baqarah (2): 17. Perumpamaan orang yang bersedekah diungkapkan dalam QS al-Baqarah (2): 261. Perumpamaan orang yang bertuhan selain Allah adalah seperti laba-laba, dijelaskan dalam QS al-Ankabut (29): 41. Ayat yang paralel dengan pembahasan ayat yang sedang dibahas dalam artikel ini adalah QS al-A’raf: 179 yang menuturkan sebuah perumpamaan yaitu:

 

...أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

 

Artinya: “Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (QS. Al-A’raf: 179). Dalam sebuah hadit riwayat Ibnu Abbas dalam Musnad Ahmad, perumpamaan mengenai keledai ternyata juga diungkapkan bagi orang yang berbicara di waktu khutbah Jumat disampaikan.

 

حدثنا أبن نمير، عن مجالد، عن الشعبى، عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من تكلم يوم الجمعة والإمام يخطب، فهو كمثل الحمار يحمل أسفارا، والذى يقول له "أنصت"، ليس له جمعة

 

Abu Numair menceritakan hadits kepada kami, dari Mujalid, dari As-Syi’by, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Rasulullah bersabda: “Barang siapa berbicara pada saat imam berkhutbah, maka ia seperti keledai yang membawa kitab, dan orang yang mengatakan kepadanya ‘Diam!’ maka tiadalah Jumat baginya” (Musnad Ahmad, (1): 230).

 

Konteks Perumpamaan Keledai

 

Sebelum penulis menjawab pertanyaan seorang teman tersebut, kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu setiap seseorang yang menjelaskan ayat Al-Qur’an bukan berarti ia sudah menafsirkan Al-Qur’an. Sebab, upaya menafsrikan Al-Qur’an membutuhkan seperangkat keahlian serta metode dan prosedur yang harus diikuti.

 

Dalam tulisan ini penulis tidak bermaksud untuk menafsirkan QS al-Jumu’ah ayat 5 itu. Melainkan mencoba untuk menyajikan hasil penafsiran para ulama ahli tafsir Al-Qur’an. Tentu saja penafsiran itu telah mengikuti metode-metode khusus yang sudah disepakati.

 

Dalam tafsir Jalalain yang ditulis oleh Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, ada beberapa pokok penafsiran atas ayat ini. Yaitu, (1) hummilut-taurata dijelaskan sebagai: ‘tuntutan bagi orang Yahudi untuk mengamalkan apa yang ada di dalamnya’; (2) tsumma lam yahmiluuha dijelaskan sebagai ‘tidak mengamalkan isinya yaitu untuk mengenali sifat-sifat Muhammad (sebagai tanda kenabian) sehingga tidak mengimani kenabian-Nya’; (3) kata asfara di dalam ayat itu diartikan sebagai kitab. Diumpamakan seperti keledai yang membawa kitab, karena perilaku yang tidak bisa memanfaatkannya. Perumpamaan ini dinilai Al-Qur’an sebagai seburuk-buruknya perumpamaan.

 

Jika membaca tafsir Ibnu Abbas dan tafsir Ibnu Katsir, juga demikian penjelasan yang kita jumpai. Yaitu bahwa ayat tersebut tidak lepas dari dua konteks, yaitu: pertama, khitab (konteks pembicaraan) ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi; (Jalalain [2]: 401); Tanwirul Miqbas: 595).

 

Kedua, dijelaskan bahwa perumpamaan itu dibuat untuk menjelaskan orang-orang Yahudi yang berusaha menyembunyikan informasi tentang sifat-sifat nabi yang terakhir yang dalam faktanya ada pada diri Nabi Muhammad (Tanwirul Miqbas: 595)

 

Jadi dapat disimpulkan bahwa ayat kelima QS al-Jumu’ah di atas berbicara dalam konteks orang-orang Yahudi yang menyembunyikan informasi-informasi kenabian yang ada dalam kitab suci mereka. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa selain mereka berusaha menyembunyikan, orang-orang Yahudi juga menentang, mengubah, dan mengganti isi dari kitab Taurat tersebut. Walhasil, ini adalah tentang Taurat, bukan Al-Qur’an.

 

Lalu bagaimana dengan Al-Qur’an sendiri?

 

Al-Qur’an dianjurkan untuk dibaca siapa saja di antara orang-orang beriman. Meskipun tidak mengerti artinya, seseorang dianjurkan membacanya dan itu tetap dinilai sebagai ibadah. Kiranya kita bisa mengambil suatu pengertian akan apa itu Al-Qur’an yang dikemukakan oleh Az-Zarqani dalam hal ini. Az-Zarqani mengambil sebuah definisi paling komprehensif (jami’-mani’) di antara yang definisi yang ada. Definisi tersebut adalah definisi yang dirumuskan oleh para ushuliyyun yang mengatakan:

 

....بِأَنّه الكلام المعجز المنزل على النبى صلى الله عليه وسلم، المكتوب فى المصاحف، المنقول بالتواتر، المتعبد بتلاوته

 

Artinya: “Kalam (Allah) yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wasallam, yang tertulis di dalam mushaf, yang diriwayatkan secara mutawatir, serta membacanya dinilai ibadah.”

 

Bagi Az-Zarqani pengertian Al-Qur’an demikian ini adalah pengertian yang cukup komperhensif. Karena pengertian ini telah mengejawantahkan berbagai sisi Al-Qur’an baik itu sebagai mukjizat maupun sebagai kitab yang tertulis dalam mushaf dan kitab yang bernilai ibadah membacanya—di mana pengertian-pengertian yang lain ada yang tidak memiliki cakupan dan batasan yang demikian sebagai sebuah definisi.

 

Pendapat bahwa Al-Qur’an merupakan bacaan yang bernilai ibadah ini merupakan hal yang menjadi pembeda dengan apa yang diriwayatkan Nabi Muhammad selain Al-Qur’an seperti halnya hadits qudsi. Al-Qur’an adalah wahyu Allah baik lafadz maupun maknanya. Sedangkan hadits qudsi adalah berasal dari Allah maknanya saja.

 

Al-Qur’an merupakan bacaan yang bernilai ibadah. Baik dibaca sebagian maupun dibaca keseluruhan. Karena bernilai ibadah, maka para fuqaha mengatakan:

 

يحرم قراءة القرآن على الجنب

 

“Haram membaca Al-Qur’an bagi orang yang sedang junub.”

 

Selain itu, nilai ibadah pembacaan Al-Qur’an juga didukung hadits-hadits tentang fadhilah dan anjuran membaca Al-Qur’an sebagaimana dituangkan di dalam kitab Riyadlush Shalihin karya Imam Abi Zakariya Yahya An-Nawawi.

 

Karena bernilai ibadah, maka membacanya harus suci. Dan karena bernilai ibadah maka membacanya saja sudah mendapat pahala. Terlepas apa ia mengerti maknanya atau tidak. Dalam hal ini sama halnya dengan shalat dan shalawat. Keduanya tetap bernilai ibadah bagi yang mengerjakannya meskipun ia tak mengerti arti kalimat bahasa Arab di dalamnya. Adapun orang yang mempelajari isinya atau mengajarkan bacaannya, atau mengajarkan isinya, maka ia mendapatkan pahala sebagai ibadah belajar dan membacanya.

 

Walhasil, membaca Al-Qur’an meskipun seseorang tak mengerti artinya adalah sebuah ibadah yang berpahala. Konteks ayat QS. Al-Jumu’ah (62) ayat 5 di atas adalah konteks orang-orang Yahudi yang memahami Taurat tapi berusaha menyembunyikan kebenaran darinya. Bukanlah dalam konteks orang yang membaca Al-Qur’an tapi tak mengerti artinya. Wallahu a’lam. []

 

R. Ahmad Nur Kholis, Pegiat Kajian Ulum Al-Qur’an; Dosen Studi Al-Qur’an di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Malang; Pengajar Ushul Fiqh di Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah Kepanjen Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar