Menjelang berakhirnya era Orde Lama, Presiden Soekarno yang akrab disapa Bung Karno terus memperkuat eksistensi Pancasila di tengah rongrongan kelompok-kelompok bughot. Upaya penguatan ini tidak hanya dilakukan dari sisi kemajemukan bangsa, tetapi juga dari perspektif nilai-nilai agama. Sehingga Pancasila terus dipegang erat oleh umat beragama di Indonesia.
Di dalam negeri, ia mengapresiasi setiap pemikiran yang berupaya memperkuat eksistensi Pancasila. Saat itu ia dibikin takjub oleh salah satu tulisan tentang Pancasila di Harian Duta Masyarakat yang ditulis oleh Mahbub Djunaidi, aktivis NU kelahiran Jakarta. Mahbub memang lihai merangkai kata, tulisan-tulisannya dikemas secara jenaka, mampu menggabungkan antara prinsip jurnalistik, pandangan politik, dan nilai-nilai sastra.
Di koran tersebut, Mahbub Djunaidi mengemukakan pendapatnya bahwa Pancasila mempunyai kedudukan lebih sublim dibanding Declaration of Independence susunan Thomas Jefferson yang menjadi pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat tanggal 4 Juli 1776, maupun dibanding Manifesto Komunis yang disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels tahun 1847.
Tulisan Mahbub Djunaidi itu dibaca Bung Karno, dan karena tulisannya itu Bung Karno takjub kepadanya karena disajikan dengan argumentasi kuat tetapi jenaka sebagai bukti kearifan Mahbub Djunaidi dalam memandang realitas sosial bangsa Indonesia.
Suatu hari sekitar tahun 1963, Bung Karno meminta KH Saifuddin Zuhri (saat itu menjabat Menteri Agama) supaya mengantarkan Mahbub Djunaidi ke Istana Merdeka. Bung Karno ingin melihat “tampang” Mahbub, katanya. Setelah Mahbub berhasil dihadirkan ke Istana Merdeka, terjadilah obrolan santai dan lugas. (Baca KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013: 680)
“Ini yang namanya Mahbub Djunaidi?” tanya Bung Karno setelah bertemu Mahbub.
“Iya pak,” jawab Mahbub.
“Kok krempeng begini?” sambil menuding dan memandang Mahbub dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mahbub cuma nyengir.
“Asal dari mana?”
“Jakarta, pak!”
“Asli Jakarta?”
“Ya, pak!”
“Jakarta mana?”
“Tanah Abang!” kata Mahbub.
Bung Karno tak henti memandang sambil mengangguk-angguk.
“Orang tua siapa namanya?” tanya Bung Karno.
“Haji Muhammad Djunaidi”.
“Haji Djunaidi...?”
“Pejabat Departemen Agama,” KH Saifuddin Zuhri nyelonong menjelaskan siapa Haji Djunaidi itu.
“Kepala Biro Pengadilan Departemen Agama?” kata Bung Karno sambil menunjuk dengan jarinya.
“Benar, pak!” jawab Mahbub.
“Loh, lho, lho...kalau begitu, bapakmu dulu yang menikahkan saya dengan Hartini di Istana Cipanas,” kata Bung Karno tersenyum bangga sambil menuding-nuding Mahbub Djunaidi.
Riwayat Singkat Sang Pendekar Pena
Mahbub Djunaidi lahir pada 27 Juli 1933 di Jakarta. Ia adalah seorang wartawan, esais, sastrawan, dan politisi NU yang popular di zamannya. H Mahbub Djunaidi dikenal sebagai pendekar pena yang tulisannya dikenal kreatif dengan menggabungkan politik, sastra, dan jurnalistik.
Pada bidang jurnalistik sebagai profesi, Mahbub Djunaidi adalah Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat (1965-1970), dan Pimpinan Redaksi Duta Masjarakat (1960-1970), Ketua Dewan Kehormatan PWI (1973-1973).
Dalam bidang politik, ia adalah anggota DPR GR (19671971), Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), anggota DPR/MPR RI (1971-1982). Sebagai seorang yang meminati sastra, dan ia lebih suka disebut wartawan, Mahbub Djunaidi melahirkan beberapa novel dan beberapa terjemahan. Selain itu, aktivitasnya juga diarahkan kepada organisasi massa NU.
Sejak masih muda, ia pernah menjadi anggota Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Wakil Sekjen PBNU (1970-1979), Ketua II PBNU (1979-1984), Wakil Ketua PBNU (1984-1989), anggota Mustasyar U (1989-1994), Pendidikan dasar Mahbub Djunaidi dijalani pada masa revolusi fisik, di mana ia sekeluarga hijrah ke Solo dan baru kembali lagi ke Jakarta ketika Solo diduduki Belanda pada 1948.
Di Solo ini pula ia sempat bersekolah di Madrasah Mambaul Ulum yang sangat terkenal kala itu. Ayahnya, KH Djunaidi adalah tokoh NU yang pernah menjadi anggota Konstituante. Mahbub Djunaidi meninggal pada 1 Oktober 1995 di Bandung. Tentu saja kematiannya memunculkan kesedihan mendalam dari keluarga dan sahabat-sahabatnya. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar