Selasa, 28 September 2021

Ketika Para Ulama Menyikapi Tipu Muslihat Penjajah

Sejak kedatangannya pada 1942 di Indonesia, penjajah Nippon (Jepang) langsung mengarahkan perhatiannya kepada umat Islam. Mereka sadar bahwa kekuatan umat Islam yang sudah lama digerakkan melalui pondok pesantren oleh para kiai merupakan ancaman tersendiri bagi eksistensi Nippon di Indonesia.

 

Untuk menekan pergerakan kiai-kiai pesantren dalam menumbuhkan perlawanan terhadap penjajah, Nippon tidak mau terlalu represif terlebih dahulu. Mereka berupaya melakukan indoktrinasi kepada para ulama terkait prinsip-prinsip perjuangan Nippon melalui apa yang dinamakan “latihan ulama” di Jakarta pada Juli 1943.

 

Menurut catatan KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya Berangkat dari Pesantren (2013), pelatihan ulama tersebut dilakukan selama tiga pekan. Setiap angkatan terdiri dari 40 orang.

 

Angkatan pertama terdiri dari ulama-ulama besar seperti, KH Muhammad Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, KH Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, KH Abdul Halim, KH Ahmad Sanusi, KH Raden Adnan, Habib Ali Al-Habsyi, Hamka, KH Abdul Wahid Hasyim, KH Moh. Ilyas, dan tokoh ulama lainnya.

 

Sebagai sebuah kompromi, para ulama tidak serta merta menolak pelatihan tersebut. Tentu saja sambutan para ulama disertai tawakal kepada Allah SWT atas rencana Nippon melalui pelatihan itu. Sembari memahami pergerakan dan celah Nippon sehingga mudah bagi para ulama untuk menyusun strategi diplomasi maupun langkah-langkah dalam menyiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

 

Apa yang dilakukan Nippon dalam “latihan ulama” tersebut merupakan bentuk kompensasi untuk menekan pergerakan umat Islam terhadap eksistensi penjajah. Kompensasi itu terkadang berlebihan. Tapi dalam hal ini, para ulama cukup waspada terhadap langkah-langkah Nippon ini.

 

Sebagai bentuk kompensasi, para ulama diberikan fasilitas melebihi pembesar-pembesar Pangreh Praja. Dinaikkan kereta api ekspres kelas satu, ditempatkan di Hotel Des Indes (hotel kelas 1) di Jakarta, diantar-jemput dengan kendaraan perwira tinggi Nippon dan sebagainya.

 

Pada saat itu, alat transportasi amat sulit dijumpai. Tetapi para ulama tetap “eling” bahwa yang dilakukan Nippon sekadar bujuk rayu. Para ulama tidak menjadi manja dan lupa terhadap niat mengabdi pada Islam dan rakyat Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah.

 

Betul saja, dalam pelatihan tersebut, para ulama ditatar dengan penggemblengan jiwa dan semangat Nippon yang disebut “Bushido” atau kepribadian ksatria Nippon. Juga tentang tugas-tugas “suci” dalam peperangan yang dikobarkan Dai Nippon bernama, “Dai Tooa Sensho” atau “Perang Asia Timur Raya” yang bertujuan untuk menghancurkan pasukan Sekutu (Inggris, Amerika, Belanda), penjajah bangsa-bangsa lain.

 

Dalam pelatihan tersebut, Nippon juga berupaya melakukan indoktrinasi politik Nippon kepada para ulama yang bertujuan membentuk kemakmuran bersama di Asia Timur Raya di bawah kepemimpinan Dai Nippon. Mereka juga mengobarkan semangat “Jawa Baru” dan “Asia Baru” di bawah kepemimpinan Dai Nippon.

 

Dari tujuan-tujuan tersebut, sejak awal kehadirannya di Indonesia dengan menyudahi pendudukan Hindia Belanda, Nippon mengaku sebagai “saudara tua” bagi Indonesia dengan mengiming-imingi kemerdekaan. Namun, yang terjadi hanya isapan jempol. Tentara Jepang pada praktiknya menampakkan penjajahan baru. Kemerdekaan yang diraih rakyat Indonesia merupakan murni perjuangan bersama dalam melawan dan mengusir setiap bentuk penjajahan.

 

Tentang bujuk rayu dan tipu muslihat, KH Wahid Hasyim dalam sebuah pertemuan pada tahun 1943 mengatakan kepada KH Saifuddin Zuhri, “Ente jangan lupa, Nabi kita Muhammad SAW pernah mengatakan, Al-Harbu Khid’ah, bahwa peperangan selamanya penuh dengan tipu muslihat.” (KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, LKiS, 2001)

 

Pernyataan tersebut dikatakan oleh KH Abdul Wahid Hasyim ketika membincang strategi perjuangan menghadapi penjajah Nippon dengan Konsul Nahdlatul Ulama wilayah Kedu, KH Saifuddin Zuhri.

 

Al-Harbu Khid’ah diungkapkan oleh Kiai Wahid karena bangsa Indonesia saat itu dalam kondisi perjuangan melawan penjajah. Kondisi ini diperhatikan betul oleh para kiai pesantren untuk membebaskan rakyat Indonesia dari kungkungan kolonialisme, termasuk tipu muslihat Nippon untuk mengadakan “latihan ulama” di atas. []

 

(Fathoni Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar