Aiptu Eko Yulianto dan Covid-19
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Nama lengkapnya Aiptu Eko Yulianto, SH (44). NRP: 76070278. Saya memanggilnya komandan. Komandan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat). Dia cepat kaki, ringan tangan.
Komandan tanpa anak buah. Kawasan jelajahnya Kelurahan Nogotirto, Gamping, Sleman, DI Yogyakarta, sejak 2016. Inilah peta Nogotirto yang menjadi desa binaannya itu. Luasnya 3,49 km persegi, jumlah penduduk 14.916 orang. Diperkirakan 4.274 jiwa per km persegi.
Desa ini terdiri atas tujuh pedukuhan. Dengan luas kawasan dan jumlah penduduk sekian itu, komandan ini pasti sibuknya setengah mati saban hari. Kadang-kadang juga bertugas malam hari, bergantung pada masalah yang dihadapi warga.
Komandan ini pernah bertugas di Aceh sebagai anggota Brimob. Sebagai polisi lalu lintas, sudah pula dijalaninya. Dia di antara anggota polisi yang baik, penuh dedikasi, ramah, gaul, dan siap menolong siapa saja.
Sejak Indonesia dilanda Covid-19, kesibukan komandan ini melebihi biasanya. Siang dan malam berurusan dengan korban pandemi ini, termasuk mengurus jenazah untuk dimakamkan. Badannya kekar, kulit agak hitam, asal Klaten, Jawa Tengah.
Pernah terpikir untuk meninggalkan kepolisian dan bertarung menjadi kepala desa di Klaten. Namun, saya katakan agar niat itu dilupakan saja. Menjadi polisi itu tugas mulia.
Sabtu pagi, 28 Agustus 2021, rampung menerima tamu Menhub Budi Karya Sumadi yang didampingi DR Asmul Khairi selama sekitar satu jam, terjadi pembicaraan santai saya dengan komandan ini seputar pandemi dan korbannya yang telah dijalaninya sejak Maret 2020.
Sungguh mengusik perasaan, betapa aneka ragamnya perilaku orang terpapar pandemi ini, termasuk ayah kandung komandan yang semula tidak mau dibawa ke rumah sakit.
Dengan susah payah, komandan meyakinkan ayahnya, seperti terbaca dalam dialog dalam bahasa Jawa yang kira-kira bunyinya begini: “Yen bapak mboten kerso dijak teng rumah sakit, kulo tinggal mawon.”
Lalu si ibu yang lagi ada masalah jantung menyela: “Bapakmu ojo dimarahi, le!”
Singkat cerita, sang ayah akhirnya bersedia diperiksa dan diobati. Sekarang sudah pulih.
Ini baru secuil kejadian tentang betapa sukarnya sebagian rakyat kita disadarkan soal bahaya maut pandemi ini. Bahkan, sampai hari ini, masih ada juga yang tidak percaya adanya virus itu, sekalipun yang wafat di Indonesia saja sudah sekitar 130 ribu.
Komandan melanjutkan ceritanya tentang keluarga lain yang terpapar. Semula hanya seorang yang terjangkit. Lalu diminta agar mau diisolasi secara gratis di tempat yang telah tersedia. Apa jawab keluarga ini? Kami tidak bisa berpisah. Akibatnya, tujuh anggota keluarga itu tertular semua. Komandan dengan segala cara telah berupaya meyakinkan keluarga ini, tetapi menemui jalan buntu.
Ada lagi kasus imam masjid yang wafat karena virus ini sekitar dua pekan lalu. Istrinya juga terpapar, masih dalam perawatan. Saat artikel ini ditulis, belum diberi tahu oleh anak-anaknya bahwa suaminya telah wafat. Khawatir akan menambah parah sakitnya. Ini sebuah drama akibat Covid-19.
Covid-19 ini tidak punya rasa takut, kecuali kepada masker, air mengalir, sabun, dan jarak dua meter. Karena sudah berlangsung satu setengah tahun berurusan dengan pasien virus ini, komandan sudah cukup piawai menjalankan tugasnya. Tentu dengan prokes.
Dia diberi sepeda motor dinas yang cukup besar, entah berapa cc. Jika diperlukan, dia gunakan mobilnya sendiri untuk menolong pasien. Sepanjang pengetahuan saya, polisi yang satu ini tidak pernah mengeluh.
Ternyata jumlah polisi baik ada di mana-mana, ada pada semua jenjang kepangkatan. Sudah sejak 2016, saya bersahabat dengan polisi, dari tingkat bintara, perwira, sampai mereka yang berbintang empat.
Sampai hari ini, beberapa kapolres masih saja melakukan kontak dengan saya. Yang sedikit menyulitkan saya adalah permintaan rekomendasi dari sementara mereka untuk pendidikan lanjut, jadi kapolres, pindah tugas, dan sejenis itu.
Mungkin di mata mereka, saya punya jaringan di Mabes Polri, padahal itu perkiraan yang belum tentu benar. Saya bukanlah calo untuk urusan semacam ini. Tidak punya bakat sama sekali, di samping ada perasaan kurang enak dengan petinggi Polri.
Bagaimana selanjutnya dengan sosok polisi yang kita bicarakan ini? Sudah sekitar lima tahun, saya kenal. Tidak pernah terbetik minta rekomendasi itu.
Maka usul saya kepada Mabes Polri, anggota kepolisian tipe komandan ini bisa diberi kenaikan pangkat istimewa untuk menghargai pengabdiannya yang luar biasa dan tanpa pamrih, untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Peran sebagai pejabat Bhabinkamtibmas ada enam. Di antaranya, menjalankan penyuluhan pada masyarakat, melaksanakan penertiban masyarakat, dan yang nomor enam adalah melaksanakan tugas umum kepolisian dalam memberi pelayanan, perlindungan kepada masyarakat.
Karena rumusan peran ini dibuat sebelum merebaknya pandemi, tampaknya butir nomor enam inilah yang dijadikan pegangan menghadapi masalah musibah yang tidak diperkirakan sebelumnya akan begini dahsyat. Selamat mengabdi komandan! []
REPUBLIKA, 31 Agustus 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar