Selasa, 14 September 2021

(Ngaji of the Day) Waktu Tidur yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan

Tidur adalah salah satu aktivitas istirahat yang dilakukan oleh manusia di setiap harinya. Dengan porsi tidur yang cukup, seseorang dapat menjalankan aktivitas kesehariannya secara maksimal. Dalam Al-Qur’an dijelaskan:

 

وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ

 

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan” (QS Ar-Rum: 23).

 

Porsi tidur yang ideal bagi manusia dalam sehari semalam adalah kisaran enam sampai delapan jam, dengan menyertakan tidur qailulah (tidur sebentar) di siang hari. (Jalaluddin as-Suyuthi, Ar-Rahmah fi at-Thib wa al-Hikmah, hal. 20)

 

Meski demikian, ada waktu-waktu tertentu yang tidak dianjurkan bagi seseorang untuk tidur.

 

Pertama, tidur setelah shalat subuh sampai terbitnya matahari. Tidur di waktu ini dipandang akan menjadikan orang yang melakukannya terhalangi mendapatkan berkahnya rezeki dan umur. Sebab waktu-waktu tersebut merupakan waktu diturunkannya keberkahan rezeki pada seseorang. Hal ini seperti dijelaskan oleh Habib Zain bin Smith:

 

النوم بعد الصبح يذهب بركة الرزق والعمر لأن بركة هذه الأمة فى البكور وهو بعد صلاة الفجر إلى طلوع الشمس.

 

“Tidur setelah subuh menghilangkan berkah rezeki dan berkah umur, sebab berkahnya umat ini ada di waktu pagi, yakni waktu setelah shalat subuh sampai terbitnya matahari” (Habib Zain bin Smith, Fawaid al-Mukhtarah, Hal. 590)

 

Kedua, tidur setelah masuk waktu ashar. Tidur pada waktu ini berisiko mengurangi daya aktif akal pelakunya. Dalam salah satu hadits dijelaskan:

 

مَنْ نَامَ بَعْدَ الْعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ

 

“Barang siapa tidur setelah waktu Ashar, lalu hilang akalnya, maka jangan pernah salahkan kecuali pada dirinya sendiri” (HR Ad-Dailami).

 

Meski para ulama menghukumi hadits di atas sebagai hadits dlaif namun hadits di atas masih relevan dalam konteks fadla’il al-a’mal (perbuatan keutamaan).

 

Pernah ada seseorang yang menyangsikan penjelasan salah satu pendakwah tentang risiko tidur setelah ashar. Akhirnya ia pun mencoba untuk tidur setelah ashar untuk membuktikan apakah benar tidur di waktu tersebut akan berisiko menjadikan pelakunya sebagai orang yang gila.

 

Ia pun mencoba tidur setelah melaksanakan shalat ashar, tidurnya tampak terlelap hingga ia baru terbangun saat waktu sudah menginjak separuh malam (dini hari). Setelah terbangun ia langsung bergegas pada pendakwah tadi untuk komplain:

 

“Engkau pernah berkata kalau tidur setelah ashar mengakibatkan gila atau hilangnya akal. Lihat aku, aku tidur setelah ashar dan aku sama sekali tidak merasa gila” ungkap orang tersebut.

 

Pendakwah tersebut menjawab dengan senyum dan penuh ketenangan:

 

“Apakah ada perilaku orang gila yang melebihi hal ini. Engkau datang menuju rumah seseorang pada saat dini hari sedangkan orang-orang dalam keadaan tidur?”

 

Orang yang komplain tersebut diam seketika, ia membenarkan ucapan pendakwah tersebut dengan penuh rasa malu. (Habib Zain bin Smith, Fawaid al-Mukhtarah, hal. 591)

 

Waktu tidur yang tidak dianjurkan ketiga, adalah tidur sebelum melaksanakan shalat isya’. Dalam salah satu hadits shahih dijelaskan:

 

كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ العِشَاءِ وَالحَدِيثَ بَعْدَهَا البخاري

 

“Sesungguhnya Rasululullah tidak senang tidur sebelum shalat Isya’ dan berbincang-bincang setelah shalat Isya'” (HR al-Bukhari).

 

Sebab dimakruhkannya tidur sebelum melaksanakan shalat isya’ adalah dikarenakan khawatir akan habisnya waktu isya’ karena tidur terlalu lelap, seperti halnya kebiasaan kebanyakan orang yang tidur di malam hari namun belum melaksanakan shalat isya’. Alasan demikian seperti yang dijelaskan dalam kitab ‘Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhari:

 

وَأما سَبَب كَرَاهَة النّوم قبلهَا فَلِأَن فِيهِ تعرضا لفَوَات وَقتهَا باستغراق النّوم، وَلِئَلَّا يتساهل النَّاس فِي ذَلِك فيناموا عَن صلَاتهَا جمَاعَة. وَأما كَرَاهَة الحَدِيث بعْدهَا فَلِأَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى السهر، وَيخَاف مِنْهُ غَلَبَة النّوم عَن قيام اللَّيْل وَالذكر فِيهِ، أَو عَن صَلَاة الصُّبْح

 

“Adapun sebab makruhnya tidur sebelum isya’ karena akan berpotensi hilangnya waktu isya’ dengan menghabiskan waktu untuk tidur dan juga supaya orang-orang tidak menganggap enteng hal demikian, hingga mereka tidur dan meninggalkan shalat isya’ secara berjamaah. Adapun makruhnya berbincang-bincang setelah isya’ karena akan mendorong untuk begadang dan dikhawatirkan akan tertidur hingga meninggalkan qiyamul lail, berdzikir saat malam dan meninggalkan shalat subuh” (Badruddin al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhari, juz 5, hal. 66)

 

Sedangkan waktu tidur yang dianjurkan oleh syara’ adalah tidur di waktu qailulah. Dalam hadits dijelaskan:

 

قِيلُوا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَقِيلُ

 

“Tidurlah qailulah (siang hari) kalian, sesungguhnya Syetan tidak tidur di waktu qailulah” (HR ath-Thabrani)

 

Waktu qailulah ini ada yang menafsirkan tidur sebelum waktu dhuhur (tergelincirnya matahari), ada pula yang menafsirkan setelah masuk waktu dhuhur. Yang pasti, fungsi utama tidur qailulah ini adalah sebagai persiapan agar dapat melaksanakan qiyam al-lail dengan shalat dan berdzikir di malam hari. Seperti yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali:

 

القيلولة وهي سنة يستعان بها على قيام الليل كما أن التسحر سنة يستعان به على صيام النهار

 

“Tidur qailulah adalah sunnah yang dapat membantu seseorang untuk melaksanakan qiyam al-lail, seperti halnya sahur hukumnya sunnah yang berfungsi untuk membantu seseorang dalam melaksanakan puasa di siang hari” (Al-Ghazali, Ihya’ ulum ad-Din, juz 1, hal. 338).

 

Selain itu, syara’ menganjurkan agar seseorang menjadikan waktu malam sebagai waktu untuk tidur dan istirahat, sedangkan waktu siang untuk bekerja dan beraktivitas. Sebab pola demikianlah yang dipandang ideal dan sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an:

 

وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِباساً وَجَعَلْنَا النَّهارَ مَعاشاً

 

“Dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian (waktu tidur), dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan” (QS An-Naba’, Ayat: 10-11)

 

Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa waktu tidur yang tidak dianjurkan ada pada tiga waktu, yakni tidur setelah shalat subuh sampai terbitnya matahari, tidur setelah masuknya waktu ashar, dan tidur sebelum melaksanakan shalat isya’. Sedangkan waktu tidur yang dianjurkan adalah tidur di waktu qailulah dan menjadikan malam hari sebagai waktu untuk istirahat panjang, sedangkan siang hari dijadikan waktu untuk beraktivitas dengan bekerja.

 

Ketentuan demikian merupakan tuntunan yang diajarkan oleh syara’ bagi orang yang memungkinkan untuk melaksanakannya. Berbeda halnya bagi orang yang memiliki tuntutan pekerjaan atau profesi yang beraktivitas semalam suntuk, maka dalam kondisi demikian waktu siang dapat ia gunakan sebagai waktu istirahat panjang dengan tetap berupaya untuk tidak tidur di waktu-waktu yang dimakruhkan. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur dan Pengajar di Pon. Pes. Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar