Afghanistan: Kembalinya Taliban (4)
Oleh: Azyumardi Azra
Konflik dan perang saudara antaretnis, antarkabilah, dan antaraliran agama berkelanjutan lebih dari 40 tahun, membuat Afghanistan menjadi ‘negara gagal’ (failed state).
Keadaan tersebut mengakibatkan komunitas warga Afghanistan berbeda, gagal membenahi rumah tangganya yang berantakan. Pelajaran pahit dari pengalaman Afghanistan, yakni jangan membiarkan, apalagi mengobarkan konfik antaretnis, antarkabilah, atau antarsektarian agama.
Ini hanya membuat keadaan tambah buruk, apalagi jika pihak-pihak Afghan yang bertikai mengundang kekuatan asing (seperti Uni Soviet) ikut ‘membantu menyelesaikan’ konflik politik secara militer.
Hasilnya hanya kenestapaan dan penderitaan warga Afghan secara berkelanjutan, baik di ranah domestik maupun dalam pengungsian di banyak negara. Sejak 1980-an ketika Soviet mulai menduduki Afghanistan, banyak warga Afghan lari ke berbagai negara.
Belakangan, sejak Taliban menemukan momentum dan akhirnya menguasai kembali Afghanistan, puluhan atau ratusan ribu warga Afghan mengungsi, termasuk ke Indonesia—bertahun-tahun menunggu ada negara ketiga yang mau menerima mereka.
Kondisi domestik yang berantakan, mengakibatkan Afghanistan sangat rentan pada campur tangan berbagai kekuatan asing, khususnya dengan negara-negara tetangganya yang berbagi perbatasan, seperti Pakistan, Iran, Uzbekistan, atau Tajikistan.
Afghanistan juga rentan dari campur tangan negara yang sedikit lebih jauh, seperti Arab Saudi, Turki, dan India. Afghanistan yang terpecah belah juga rentan terhadap campur tangan, intervensi, dan pendudukan asing yang lebih ‘perkasa’ sejak Uni Soviet dan AS beserta sekutu.
Di luar itu, kemudian masih ada pula Rusia dan RRC, yang turut memainkan kartu di Afghanistan untuk kepentingan geo-politik dan geo-ekonomi masing-masing.
Soal keterlibatan Soviet dan AS beserta sekutunya, sudah banyak dibahas dan menjadi pengetahuan publik—termasuk di Indonesia—dan tidak perlu diulangi di sini.
Namun, belum banyak dibahas berbagai komplikasi dan "reperkusi" politik Afghanistan sejak Mujahidin dan Taliban terhadap negara-negara jiran berpenduduk mayoritas Muslim--bahkan ‘tetangga jauh’ seperti Indonesia.
Pemerintah Pakistan di bawah PM Imran Khan pasti paling nervous dengan prahara Afghanistan. Namun, Imran Khan juga menghadapi dilema.
Pada satu pihak, dia mengucapkan selamat kepada Taliban atas ‘kemenangan historis’, yang berhasil membebaskan diri dari ‘belenggu perbudakan’ imperialisme Amerika.
Namun, pada pihak lain, PM Imran Khan mengkhawatirkan peningkatan momentum berbagai kelompok Pakistani, yang pro-Taliban di perbatasan dan wilayah Pakistan sendiri.
Pakistan sudah lama menjadi ‘tempat perlindungan aman’ (safe haven)—sejak masa perjuangan melawan Uni Soviet pada 1980-an. Mujahidin Afghan menjadikan Pakistan ‘tempat pelatihan’ dan markas perlawanan terhadap rezim komunis Afghanistan bentukan Soviet.
Bermarkas di Pakistan. Mujahidin mendapat dukungan PM Pakistan Zulfikar Ali Bhutto, Partai Jamaati Islami Pakistan. Mereka juga menerima bantuan militer, logistik, dan finansial dari CIA AS sebagai bagian ‘perang dingin' melawan Soviet.
Hasilnya, Mujahidin berjaya mengusir Soviet—15 Februari 1989, pasukan terakhir Soviet meninggalkan Afghanistan. Taliban yang umumnya dari etnis Pashtun juga menjadikan Pakistan sebagai pusat kedua setelah di Afghanistan sendiri sejak berdiri pada 1994.
Hal ini dimungkinkan karena Pashtun adalah salah satuh kelompok etnis terbesar di Pakistan—lebih dari 25 persen dari sekitar 225 juta penduduk.
Ketika Taliban pertama kali menguasai tiga perempat Afghanistan pada 1996-2001, Pakistan menjadi negara pertama yang mengakui pemerintahan Emirat Afghanistan pimpinan Taliban. Setelah itu, hanya ada dua negara lagi yang mengakui: Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Berbagai sumber menyatakan, intelijen dan militer Pakistan membantu Taliban dalam gerakan menguasai Kabul dan sebagian besar wilayah Afghanistan lain.
Taliban juga kembali menjadikan Pakistan—dengan Peshawar sebagai pusat—setelah tergusur invasi militer AS pada 2001. Pada 2002, berdiri Tehrik-I Taliban Pakistan (TTP), yang sering disebut ‘Pakistani Taliban’.
Awalnya terdiri atas 13 faksi, TTP pertama kali dipimpin Baitullah Masud untuk membantu Taliban Afghanistan dan menumbangkan pemerintahan Pakistan. Tetapi faksionalisme berkelanjutan dalam TTP, membuatnya rentan terhadap penyusupan dan intervensi intelijen dan militer Pakistan.
Pakistan juga menjadi basis Alqaidah—khususnya sejak AS menyerbu Afghanistan (2001) karena dianggap bertanggung jawab atas peristiwa 11 September 2001.
Juga ada, pecahan Taliban Afghanistan, TTP dan militan Uzbek mendirikan ISIS-K (Khurasan), yang juga bergerak dari wilayah Pakistan. Selain itu, gerakan Mujahidin Panjshir Afghanistan juga menjadikan Pakistan sebagai lokus untuk bergerak.
Sungguh rumit peta prahara Afghanistan. Kembalinya Taliban ke puncak kekuasaan, tak lantas bisa membuat Afghanistan dapat keluar dari prahara negara gagal, apalagi Taliban tidak menyatu, tetapi berfaksi-faksi. []
REPUBLIKA, 16 September 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar