Afghanistan: Kembalinya Taliban (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Pasukan AS sudah meninggalkan Afghanistan (31 Agustus 2021); Taliban (‘murid’ madrasah tradisional Afghan) kembali sepenuhnya ke puncak kekuasaan. Diskusi dan perdebatan terjadi di kalangan pemerintahan di Barat dan dunia Muslim.
Tanggapan juga muncul di antara pemimpin ormas Muslimin, termasuk di Indonesia. Pembahasan akademik juga ada di antara para ahli pemikiran dan gerakan Islam (Islamisis) juga sarjana Muslim.
Persoalan pertama terkait daya tahan (viability) dan keberlanjutan (sustainibility) Taliban sebagai rezim penguasa atau pemerintahan. Apakah Taliban dapat membentuk pemerintahan yang bisa menyelenggarakan fungsi dan kewajiban publiknya secara efektif dan efisien?
Masalah kedua, menyangkut Taliban sebagai corak pemikiran dan praksis Islam khas berkembang sejak 1994.
Taliban mengalami pasang naik dan surut di tengah berbagai gejolak religio-politik Afghanistan selama lebih 40 tahun yang diselingi invasi Uni Soviet (1979-1989), memegang kekuasaan (1996-2001) dan pendudukan AS serta sekutu (2001-2021).
Jelas tidak mudah membentuk pemerintah integratif, kuat, dan efektif setelah kepahitan perang saudara. Tampak sangat sulit menyelesaikan konflik sektarian etno-politik dan religio-politik Afghanistan begitu akut dalam waktu lama.
Campur tangan kuasa asing memperburuk luka politik, sosial, dan ekonomi. Pertanda buruk bagi Taliban adalah bom bunuh di sekitar bandara Kabul (26/8) yang menewaskan 189 orang dilakukan ISIS-K (Khurasan), kelompok Afghan yang berafiliasi dengan ISIS.
Meski diklaim kaya berbagai mineral yang belum tergarap, Afghanistan adalah salah satu dari lima negara termiskin di dunia.
Selama 10 tahun terakhir, ekonomi Afghanistan sempat menggeliat berkat penyaluran bantuan kemanusiaan internasional, peningkatan konsumsi militer dan ekspatriat asing, serta kiriman (remittance) warga Afghan di diaspora dunia.
Namun, ekonomi Afghanistan tidak ditunjang produksi pertanian dan makanan memadai; apalagi industri dan jasa. Namun, hasil opiumnya mencapai 80 persen dari opium global.
Meski Afghanistan punya utang luar negeri paling sedikit, pandemi Covid-19 membuat ekonomi Afghanistan di tubir keambrukan.
Kembalinya Taliban ke puncak kekuasaan berhadapan dengan beban dan tantangan ekonomi sangat berat yang tidak bisa diatasi sendiri; memerlukan bantuan dan kerja sama internasional.
Viabilitas dan sustainabilitas Taliban juga terkait ideologi keagamaan yang dapat disebut ‘Talibanisme’.
Awalnya, Taliban mengikuti paham dan praksis keagamaan Deoband, India, yang merupakan gerakan revivalis Islam Suni (Hanafiyah) antikolonial Inggris sejak akhir abad ke-19. Deobandi sangat dipengaruhi doktrin religio politik ulama terkemuka Shah Waliyullah al-Dahlawi (1703-1762).
Sejak 1970, Deobandi dan Taliban kian terpengaruh Wahabisme yang menyebar langsung dari Arab Saudi atau lewat Pakistan. Jadinya, Talibanisme adalah amalgamasi Deobandi revivalis, norma sosial-budaya Pushtunwali dengan Wahabisme Saudi-Pakistani yang ketat dan agresif.
Ini alasan penting kenapa Taliban sejak awal pertumbuhan dekat atau berafiliasi dengan Alqaidah, pimpinan Usamah bin Ladin (1957-2011)—salah satu dari sekitar 50 anak Muhammad bin Ladin, konglomerat Arab Saudi. Karena itulah Usamah bin Ladin aman di Afghanistan.
Apakah kembalinya Taliban ke puncak kekuasaan berarti kebangkitan kembali Talibanisme rigid, aktivis, dan agresif, yang pada masa kekuasaan pertama (1996-2001) dulu pernah menerapkan hudud atau membatasi perempuan?
Tidak tahu pasti, walau ada pengamat mengeklaim: "Taliban kini adalah Taliban generasi baru yang lebih akomodatif".
Beberapa pimpinan Taliban setelah masuk Kabul menyatakan, bakal membentuk pemerintahan all-inclusive, yang melibatkan semua wakil kabilah atau suku, dan aliran keagamaan.
Mereka juga menyatakan, memberikan amnesti kepada semua warga yang pernah bekerja dengan pemerintah lalu atau menjadi asisten pasukan AS, NATO, dan sekutunya.
Kalangan pimpinan Taliban menyatakan lebih jauh, tidak bakal membelenggu kaum perempuan seperti pada masa lampau. Mereka mengeklaim, perempuan bebas bekerja sesuai keahlian dan kemampuan mereka.
Namun, klaim ini masih perlu diuji, sementara sejak kembali ke Kabul, Taliban telah melarang perempuan keluar rumah.
Beberapa indikator memperlihatkan perubahan Taliban dalam religio-politik. Pertama, mereka lebih terbuka dan bersedia untuk dialog dengan pihak luar, termasuk Indonesia, Qatar, dan AS.
Dalam pembicaraan perdamaian, AS menekankan agar Taliban menjaga Afghanistan tidak terjerumus menjadi tempat perkecambahan radikalisme (breeding ground radicalism). Pesan yang sama juga disampaikan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Selain mengimbau Taliban untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas, OKI menekankan agar Afghanistan tidak menjadi tempat perlindungan aman (safe haven) organisasi, kelompok, dan sel radikalisme serta terorisme.
Apakah Talibanisme mengalami perubahan atau peremajaan ideologi selama 20 tahun terakhir? Tidak bisa dipastikan, tapi bisa dicermati. []
REPUBLIKA, 02 September 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar