Afghanistan: Kembalinya Taliban (5)
Oleh: Azyumardi Azra
Taliban telah membentuk pemerintahan (sementara?) Emirat Islam Afghanistan (7 September 2021). Banyak pemimpin negara dan kalangan masyarakat internasional kecewa dengan pemerintahan Taliban yang tidak inklusif.
Terdiri atas 33 jabatan puncak dan menteri, pemerintahan Taliban semua laki-laki; tidak ada wakil kaum perempuan. Rezim Taliban hampir semua dari suku Pashtun; semula tak ada pembagian kekuasaan dengan wakil suku atau kabilah Hazara, Turkish, Uzbek, atau Baluch.
Belakangan, direkrut wamen dari suku Hazara (etnis kedua terbesar, sekitar 20 persen dari penduduk Afghanistan). Secara keagamaan paham Taliban dari berbagai fraksi mendominasi; hampir tidak mencakup kelompok, mazhab, dan aliran lain.
Sebagian mereka pernah memegang jabatan tinggi pada pemerintahan Taliban jilid I (1996-2001). Di antara generasi senior rezim Taliban Jiilid II, lima orang pernah ditahan di penjara Guantanamo atau masuk daftar hitam AS.
Sekitar 12 orang menteri, dari lapisan lebih muda yang tidak ikut pemerintahan Taliban Jilid I.
Dengan pemerintahan sementara Emirat Islam Afghanistan yang tidak inklusif, tampak sulit mewujudkan pemerintahan bersatu. Padahal, pemerintah diharapkan dapat membangun perdamaian berkelanjutan dan stabilitas politik.
Sejak Taliban membentuk pemerintahan interim (sementara) sampai sekarang, belum jelas arah langkah politik, sosial, budaya, dan agama yang mereka bakal tempuh.
Berbagai fenomena memperlihatkan gambaran bertolak belakang dengan pernyataan petinggi-petinggi Taliban ketika mereka mulai kembali menguasai Afghanistan; ada kabar positif, tapi juga ada gambaran suram.
Misalnya, pada satu pihak Taliban menyatakan, telah menguasai keamanan sepenuhnya, tetapi masih terjadi aksi penentangan.
Tampak budaya perang—bukan damai—tidak langsung tamat. Meski sporadis, ada kalangan warga atau kelompok suku atau kabilah Afghan yang berunjuk rasa damai terhadap Pemerintah Taliban atau melawan lewat aksi bersenjata.
Walau pemerintahan Taliban mengandung masalah, mereka harusnya dapat bekerja cepat menangani ekonomi yang terus memburuk. Keadaan ini bisa tambah parah karena tak lama lagi masuk musim gugur dan musim salju.
PBB dan UNDP menyatakan, Afghanistan kini menghadapi kemiskinan universal—mencakup sebagian besar rakyatnya. Afghanistan telah di ambang atau tengah memasuki krisis kemanusiaan parah.
Meski pasar tradisional dan kedai sudah mulai buka dan pengunjung pasar terlihat ramai, pergerakan ekonomi berskala besar tidak terjadi. Ekonomi rakyat lebih merupakan kegiatan pasar bagi warga untuk bisa tetap menyintas.
Sementara itu, kegiatan ekonomi negara atau pemerintahan sangat minimal: kas negara kering karena banyak dibekukan; dulu pemasukan negara dan gerak ekonomi, terutama bersumber dari bantuan dan pembelanjaan berbagai lembaga internasional dan pemerintah asing.
Kontradiksi juga, misalnya terlihat di bidang pendidikan. Pada satu segi ada laporan, kampus perguruan tinggi dan sekolah atau madrasah mulai dibuka. Laporan juga menyatakan, mahasiswi perguruan tinggi diizinkan ikut kuliah walau mereka ditempatkan terpisah dari mahasiswa.
Namun, juga ada laporan sebaliknya dari sumber kredibel, pelajar perempuan belum diizinkan datang ke sekolah atau madrasah. Rezim Taliban menyebut bakal mengeluarkan ketentuan syari’iyah tentang pendidikan perempuan.
Juga ada laporan, perempuan boleh bekerja hanya pada pekerjaan yang tak tergantikan laki-laki. Selama pekerjaan tertentu bisa dikerjakan laki-laki, perempuan tidak diizinkan mengerjakan. Perempuan diarahkan bekerja mengurus rumah tangga dan keluarga.
Apakah ini pertanda Taliban akan sepenuhnya mengurung perempuan di ranah domestik seperti diterapkan pemerintahan Taliban jilid I (1996-2001). Masih harus ditunggu perkembangan selanjutnya.
Sejauh ini, belum ada negara yang resmi mengakui, pemerintahan Emirat Islam Afghanistan. Qatar mungkin pengecualian. Sama dengan negara-negara lain, Qatar juga belum resmi mengakui pemerintahan Taliban Afghanistan.
Bedanya, Qatar Airways telah terbang ke Kabul, mengangkut juga warga Amerika atau Eropa yang belum terevakuasi pada tenggat 31 Agustus 2021.
Pemerintah Indonesia juga belum mengeluarkan pernyataan resmi. Bagaimana langkah pemerintah dan ormas Islam khususnya menyikapi perkembangan Afghanistan di bawah kekuasaan Taliban?
Pertanyaan ini penting diajukan mengingat Indonesia melalui beberapa pejabat tingginya dan ormas Islam adalah salah satu di antara sedikit pihak internasional, yang memiliki hubungan dan akses pada kalangan petinggi Taliban.
Pemerintah Indonesia sejak 2018 lewat Presiden Jokowi dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla aktif mengusahakan perdamaian antara pemerintah Presiden Ashraf Ghani dan Taliban.
Pak JK dan Menlu Retno Marsudi juga melakukan berbagai program kerja sama pendidikan dan pemberdayaan perempuan.
Kini, Indonesia perlu meningkatkan kembali upaya pembangunan perdamaian berkelanjutan di Afghanistan. Sangat sayang jika berbagai upaya yang telah dilakukan sebelumnya, lenyap tidak berbekas. []
REPUBLIKA, 23 September 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar