Pada tahun tahun 544 H di Desa Ray, wilayah Iran saat ini, lahirlah seorang anak yang bernama Muhammad bin Dhiyaud-Din Umar bin Husain bin Hasan. Ia adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa hingga kemudian dunia mengenalnya sebagai Syaikhul Islam Fakhruddin ar-Razi atau Ibnu al-Khatib al-Ray. Ia terkenal karena penguasaannya yang luas pada berbagai disiplin ilmu di masanya, mulai ilmu tafsir, hadits, fiqih, hingga filsafat.
Syaikhul Islam Fakhruddin ar-Razi selama hidupnya telah menelurkan puluhan karya monumental yang menunjukkan ketinggian ilmunya di berbagai bidang. Di antara magnum opusnya adalah tafsir Mafâtîh al-Ghaib yang tebalnya lebih dari 30 jilid. Akan tetapi beberapa orang menganggapnya menyimpang dengan alasan pemikirannya banyak terpengaruh filsafat Yunani, bahkan sebagian menyebutnya sebagai orang yang ragu-ragu atau kebingungan karena seringkali menyebutkan argumen-argumen yang rumit. Benarkah demikian? Inilah yang akan dibahas secara singkat dalam artikel ini.
Sebenarnya petualangan Imam ar-Razi dalam dunia filsafat bukan dalam rangka menguatkannya, tapi justru sebaliknya ia melakukan itu agar bisa menyanggah kekeliruan pemikiran di dalamnya. Sudah pasti untuk mengkritik sebuah pemikiran dengan baik, seorang peneliti haruslah terlebih dahulu memahami seluk beluk pemikiran tersebut secara mendalam sehingga kritiknya tepat sasaran. Dalam salah satu karyanya, ar-Razi bercerita:
وكنا نحن في ابتداء اشتغالنا بتحصيل علم الكلام تشوقنا إلى معرفة كتبهم لنرد عليهم فصرفنا شطرا صالحا من العمر في ذلك حتى وفقنا الله تعالى في تصنيف كتب تتضمن الرد عليهم ككتاب نهاية العقول ، وكتاب المباحث المشرقية ، وكتاب الملخص ، وكتاب شرح الإشارات ، و کتاب جوابات المسائل النجارية، كتاب البيان والبرهان في الرد على أهل الزيغ والطغيان، وكتاب المباحث العادية في المطالب المعادية ، وكتاب تهذيب الدلائل في عيون المسائل ، و كتاب إشارة النظار إلى لطائف الأسرار ۔ وهذه الكتب بأسرها تتضمن شرح أصول الدين وإبطال شبهات الفلاسفة وسائر المخالفين
"Kami ketika awal menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu kalam, kami suka mengenal kitab-kitab para filsuf agar bisa menolak mereka hingga kami menghabiskan separuh umur untuk itu hingga Allah memberi petunjuk pada kami dalam mengarang kitab-kitab yang memuat penolakan atas mereka, seperti kitab Nihayat al-Uqul, al-Mabahits al-Masyriqiyyah, al-Mulakhkhas, Syarh al-Isyarat, Jawaba tal-Masa’il an-Najjariyah, al-Bayan wal Burhan fi ar-Radd ‘ala Ahli az-Zaigh wat-Tughyan, al-Mabahits al-‘Adiyyah fi al-Mathalib, al-Ma’adiyah, Tahdzib al-Dala’il Fi Uyun al-Masa’il, dan Isyarat an-Nuddhar ila Latha’if al-Asrar. Kitab-kitab ini semua memuat penjelasan ilmu ushuluddin dan penolakan kritik para filsuf dan seluruh lawan” (Ar-Razi, I’tiqâd Firaq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn, h. 91).
Berbagai kritiknya pada pemikiran filsafat ini diakui oleh para peneliti yang hidup setelah era ar-Razi. Bahkan Ibnu Khaldun tak segan merekomendasikan kitab-kitab ar-Razi untuk mereka yang hendak menolak argumen para filsuf. Ia berkata:
ومن أراد إدخال الرّدّ على الفلاسفة في عقائده فعليه بكتب الغزاليّ والإمام ابن الخطيب
“Siapa yang hendak memasukkan kritik terhadap para filsuf dalam aqidah-aqidahnya, maka ia harus merujuk kitab-kitab al-Ghazali dan Imam Ibnu al-Khatib (ar-Razi).” (Ibnu Khaldun, Târîkh Ibni Khaldûn, I: 591).
Dengan berbagai karya yang dibuat secara khusus untuk menolak permikiran filsafat Yunani dalam teologi Islam di atas, cukuplah dapat disimpulkan bahwa tidak tepat anggapan bahwa Imam ar-Razi banyak terpengaruh aqidah filsafat. Yang ada justru sebaliknya, ia merupakan salah satu tokoh kunci dalam memahami kritik Ahlussunnah wal Jama’ah terhadap aqidah filsafat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Wallahu a’lam. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar