Rabu, 01 September 2021

(Ngaji of the Day) Dialektika Ekonom Modern tentang Riba dan Bunga Bank

Sebagai sumbangsih terhadap khazanah pemikiran sarjanawan Muslim, tidak ada salahnya bila dalam kanal Ekonomi Syariah NU Online ini juga dihadirkan sebuah konsep karya pemikiran sarjanawan Muslim modern lainnya, yang barangkali tidak sejalan dengan konsep NU, khususnya terhadap beberapa konsep ekonomi, yang hingga detik ini selalu diperdebatkan dan diperselisihkan. Penghadiran wacana bunga bank agaknya sudah banyak dimuat, tapi khazanah pemikiran ekonom lain, tampaknya juga penting untuk kita sodorkan di hadapan pembaca sebagai bagian dari memperkaya wawasan keilmuan.

 

Penting diketahui bahwa para sarjana Muslim modern dewasa ini telah banyak melakukan debat karena berbeda pandangan terhadap konsepsi riba. Perbedaan itu terjadi pada aspek: apakah larangan riba sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an, juga berlaku untuk bunga perbankan atau tidak? Fokus perbedaan terjadi pada salah satu dari dua wilayah pemikiran berikut ini.

 

Pertama, larangan riba dipahami dengan menekankan pada aspek rasional. Dengan menitiktekankan pada pemahaman ini, unsur ketidakadilan yang diakibatkan oleh sistem riba merupakan fokus utama penalaran. Jika bunga bank tidak memuat unsur menindas kepada nasabah, melainkan justru meningkatkan perekonomiannya, maka bunga bank bukan termasuk yang dilarang.

 

Kedua, larangan praktik riba dipahami menurut teks literalnya (sesuai bunyi teks). Jika mengacu pada model pemahaman semacam ini, maka semua konsep perbankan harus dibenahi dari sisi akad yang dibangun, sebagaimana ini menjadi titik tekan nash secara literal. Dalam hal ini, semua bentuk pertambahan nilai, sekecil apapun nilai itu, maka ia tetap disebut sebagai riba. Dengan demikian, menurut aliran kedua ini, disimpulkan bahwa bunga bank adalah riba.

 

Kedua model pemahaman ini setidaknya telah menggiring pada munculnya dua kelompok besar sarjana Muslim. Pertama, adalah kalangan sarjana modernis yang acap menggunakan pola pandangan rasionalis. Kedua, kaum neo-revivalis yang condong pada pandangan terakhir. Neo-Revivalis adalah kelompok yang memberikan respon terhadap pemikiran modernis klasik. Pandangan Neo-Revivalis berpijak pada penafsiran tradisional yang menekankan bahwa setiap bunga adalah riba.

 

Salah satu ulama kontemporer dewasa ini adalah Syeikh Wahbah Musthafa al-Zuhaiiy. Dalam sebuah jurnal, ia mendefinisikan riba sebagai berikut:

 

“Riba is a surplus of a commodity without counter-value in the commutative transaction of property for properrty. The intent of such a transaction is a surplus of commodities. Therefore, the definition of riba includes both credit riba and invalid sales, since postponement in either of the indemnities is a legal surplus without perceivable material recompense, the daley usually due to an increase in compentation. In Islam, money-money transactions are not allowed and there is no time value of money concept.”

 

(Artinya: “Riba adalah sebuah kelebihan pada satu komoditas tanpa disertai nilai tukar yang terjadi di dalam akad pertukaran barang dengan barang. Fokus utama dari transaksi semacam adalah kelebihan yang terjadi pada komoditas. Definisi riba semacam ini umumnya berlaku untuk kedua kategori riba, yaitu riba nasîah dan jual beli yang tidak sah (riba al-yad), yang mana kelebihan diberikan sebagai konsekuensi dari penundaan serah terima barang dan harga (recompense). Dalam Islam, transaksi uang dengan uang tidak diperbolehkan, dan juga tidak dikenal konsep tambahan nilai berbasis waktu)”.

 

(Wahba Al Zuhayli dalam Camille Paldi, “Understanding Riba and Gharar in Islamic Finance” Journal of Islamic Banking & Finance, Vol. 31 July-Sept 2014 No. 3, International Association of Islamic Banks Karachi, Pakistan, 36-37).

 

Syeikh Qâdli Abu Bakr Ibn Al-‘Araby di dalam karyanya Ahkâm Al-Qur’an mendefinisikan riba sebagai setiap tambahan yang tidak dibenarkan atas nilai barang yang diserahkan terhadap nilai tandingan (dari barang yang diterimakan). Lebih lanjut, ia mengambil kesimpulan bahwa “bunga tunggal” yang dipraktikkan oleh bank selama ini adalah dibolehkan dan tidak haram hukumnya. Menurut Syeikh Rashid Ridha, riba yang dilarang dalam al-Sunnah, adalah riba yang terkait dengan perdagangan, khususnya barter (riba al-fadhly). Untuk riba selain perdagangan, maka konsep riba masih harus diperinci dan diteliti kembali. (Lihat: Al-Arabi dalam Zaim Saidi, Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat, Yogyakarta: Delokomotif. 2010, 88!)

 

Pembaruan definisi riba senantiasa terus dikembangkan oleh para “ekonom syariah” pasca Syeikh Rashid Ridla yang merupakan murid kesayangan dari Muhammad Abduh, guru dari KH. Muhammad Dahlan, salah satu pendiri Organisasi Masyarakat di Indonesia. Semua ekonom ini pada dasarnya sama dengan Syeikh Rashid Ridla, akan tetapi kebanyakan menolak pembedaan antara “bunga majemuk” dan “bunga tunggal.” Baik “bunga majemuk” maupun “bunga tunggal”, menurut para ekonom syariah dinilai sebagai sama, yakni tidak diperbolehkan sehingga hukumnya haram. Kesamaan konsep ekonom syariah dan Syeikh Rashid Ridla ini adalah bahwa bunga diperbolehkan atas dasar konsep keterpaksaan (dlarûrah). (Lihat: Al-Arabi dalam Zaim Saidi, Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat, Yogyakarta: Delokomotif. 2010: 140!)

 

Pendapat lain yang layak dicermati adalah pendapat Muhammad Syahrur mengenai teori batas hukum. Konsep teori batas Muhammad Syahrur ini memperkenalkan adanya haddul-a’lâ (batas atas) yang tidak boleh dilewati dan haddul-adnâ (batas bawah) yang boleh dilewati. Teori ini diterapkan dalam masalah wilayah distribusi (tasharruf) harta. Menurutnya, ada tiga bentuk distribusi harta, yaitu: zakat, sedekah, dan riba. Menurutnya, haddul-a’lâ yang tidak boleh dilewati adalah riba. Adapun haddul-adnâ yang boleh dilewati adalah zakat. Karena zakat merupakan haddul-adnâ – yakni, sebagai batas minimal harta yang harus / wajib dikeluarkan, - maka bentuk tasharruf yang melewati haddul-adnâ ini adalah sedekah. Posisi ini selain memiliki dua batas, juga memiliki batas tengah yang tepat berada di antara keduanya. Batas tengah ini disimbolkan dengan titik nol pada persilangan kedua sumbu yang terimplementasikan dalam qardlu al-hasan atau pinjaman dengan bunga 0%. Dengan demikian, ada tiga kategori besar untuk memberikan uang, yaitu: zakat, pemberian hutang bebas bunga (0%) dan pemberian hutang dengan bunga (hibbatu al-tsawab) yang ditentukan.

 

Mencermati konsep Syahrur ini, maka kajian bunga menjadi dapat dipahami dengan lebih baik secara matematis dan terukur. Dengan mengutip beberapa ayat Al-Qur’an yang berbicra soal riba, maka Syahrur mendefinisikan riba sebagai “pertumbuhan dan perkembangan” dari kekayaan. Masih menurutnya, umat Islam tidak perlu khawatir dan ragu ketika harus bertransaksi/bermuamalah dengan dunia perbankan dengan menggunakan sistem perbankan konvensional, yang didalamnya memakai sistem bunga, asalkan bunga yang diperoleh belum mencapai 100% dari modal awal (ra’su al-mâl). Sebagai konsekuensi dari analisis ini, maka seolah Syahrur menegaskan bahwa bentuk bunga yang dilarang karena merupakan riba adalah manakala bunga itu mencapai 100 persen. (Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer (Terjemahan), Yogyakarta: eLSAQ Press, 2012, 45).

 

Jika mencermati setiap argumen yang dikemukakan oleh sarjana kontemporer di atas, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi reduksi terhadap definisi riba, khususnya apabila dibandingkan dengan definisi dari kutubu al-turats yang dipegang oleh Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Konsep riba menurut sarjana kontemporer berbasis pada kalkulasi ilmiah (hitungan kuantitatif) kebolehan praktik mengambil tsawab (kompensasi pinjaman). Sementara riba dalam konsep turats, dan disampaikan oleh para fuqaha’, mengambil sisi kualitatif ilmiah dengan tidak menoleransi tsawab sekecil apapun, khususnya bila hal tersebut disyaratkan di awal sebelum akad (transaksi).

 

Konsekuensi logisnya, pandangan terhadap praktik bunga perbankan konvensional tetap mengacu kepada dua kutub pemahaman yang saling berseberangan ini. Perlu diketahui bahwa, para ulama’ NU tidak menerima setiap konsep yang sudah diutarakan oleh sarjanawan ekonomi syariah di atas. Akan tetapi, para ulama’ menerimanya sebagai bagian dari khazanah berfikir. Baik Abduh, Syeikh Rasyid Ridla, adalah tokoh yang berjasa mengukir jiwa salah satu pendiri Ormas besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah. Oleh karena itu, pendapatnya tetap harus dihormati meski tidak diterima. Wallâhu a’lam bish shawâb. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pegiat Ekonomi Syariah; Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBMNU PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar