Selasa, 21 September 2021

(Ngaji of the Day) Argumentasi Orang Murtad Tidak Harus Dihukum Mati

Sebagai agama yang penuh kerahmatan, Islam menjamin kemerdekaan beragama bagi semua manusia. Tidak ada paksaan sedikitpun dalam beragama sebagaimana ditegaskan langsung oleh Allah dalam firman-Nya, Al-Baqarah ayat 265: ‘La ikrâha fiddîn’.

 

Namun demikian, jaminan kemerdekaan beragama masih menyisakan kemusykilan besar karena dalam sumber-sumber syariat Islam dikenal hukuman mati bagi orang murtad yang keluar dari agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

 

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ. (رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ)

 

Artinya, “Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ, ia berkata: ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Orang yang mengganti agamanya maka hukumlah mati dia’. (HR. Al-Bukhari)

 

Demikian pula pendapat mayoritas ulama fikih yang juga menyatakan bahwa orang murtad dihukum dengan hukuman mati apabila enggan bertobat dalam waktu tertentu.

 

Akan tetapi dalam hal ini sebagian ulama kontemporer seperti Syekh Mahmud Syaltut, Syekh Ali Jum’ah dan semisalnya mempunyai pemahaman berbeda. Mereka menyatakan hukuman mati kepada orang murtad bukan karena murtadnya saja, akan tetapi karena faktor lain yaitu karena memerangi, membuat fitnah dan kekacauan di tengah kaum muslimin, serta memprovokasi mereka agar keluar dari agamanya. Lalu apa argumentasinya? Dalam hal ini ada tiga argumentasi utama yang diajukan.

 

Argumentasi pertama, pada masa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak semua orang yang jelas-jelas murtad dihukum mati. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak menghukum mati Abdullah bin Ubai dan teman-temannya yang melakukan penghinaan terhadap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an:

 

لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ (المنافقون: 8)

 

Artinya, “Bila kita kembali ke Madinah, niscaya orang mulia akan mengusir orang hina dari sana.” (Al-Munafiqun: 8)

 

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak menghukum mati Dzul Khuwaishirah At-Tamimi yang menuduhnya tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang (HR. Al-Bukhari).

 

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak menghukum mati orang yang menuduhnya melakukan nepotisme, yaitu mendahulukan Az-Zubair karena merupakan anak pamannya dalam kasus pembagian air irigasi di Harrah (HR. Al-Bukhari).

 

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak menghukum mati seorang Arab Badui yang meminta pembatalan baiat keislamannya (HR. Al-Bukhari).

 

Dalam kasus-kasus semisal Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam juga tidak menghukum mati orang yang telah mengucapkan kalimat-kalimat yang secara qath’i menyebabkan keluar dari Islam karena memuat unsur ketidakpercayaan terhadap sifat amanah dan keadilannya. Demikian pada masa Khulafâ-ur Rasyidîn khususnya di waktu pemerintahan Sayyidina Umar radhiyallâhu ‘anhu. Ia tidak menghukum mati orang-orang murtad dari kelompok Bakr bin Wail yang berbalik memerangi kaum muslimin. Sayyidina Umar radhiyallâhu ‘anhu justru memilih untuk membujuk mereka bertobat, dan kalau tidak mau maka dihukum penjara. (HR. Al-Baihaqi).

 

Nah berbagai peristiwa tersebut yang membuat para fuqaha menilai bahwa permasalahan hukuman mati bagi orang murtad tidak berkaitan dengan akidah. Maksud nash-nash hadits yang sangat tegas menyatakan orang murtad dihukum mati bukanlah karena kemurtadannya saja, namun karena penghianatan besar terhadap komunitas—dalam hal ini kaum muslimin—, yang menurut undang-undang manapun penghianatan seperti itu dilarang. (Ali Jum’ah, Al-Bayân limâ Yusyghilul Adzhân, [Kairo, Dârul Muqattam: 1426 H/2006 M], cetakan kedua belas, halaman81-83).

 

Argumentasi kedua, lahiriah berbagai ayat Al-Qur’an justru melarang pemaksaan agama, semisal dua ayat berikut:

 

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ (البقرة: 256)

 

Artinya, “Tidak ada paksaan dalam agama, sungguh telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” (Al-Baqarah: 256)

 

أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (يونس: 99)

 

Artinya, “Apakah kamu akan memaksa manusia sehingga mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Yunus: 99)

 

Argumentasi ketiga, bahkan ayat yang secara terang-terangan menjelaskan hukum orang murtad hanya menjelaskan terleburnya amal pelaku dan hukumannya di akhirat yang akan langgeng di neraka. Sama sekali tidak menyingguh hukuman mati di dunia baginya.

 

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة: 217)

 

Artinya, “Dan siapa saja dari kalian yang murtad dari agamanya lalu ia mati dalam kondisi kafir, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217). (Mahmud Syaltut, Al-Islâm ‘Aqîdatan wa Syarî’atan, [Kairo: Dârus Syurûq: 1421 H/2001 M], cetakan kedelapan belas, halaman, 280-281).

 

Dari bangunan argumentasi itulah kemudian sebagian ulama kontemporer tersebut secara mantab berpendapat hukuman mati bagi murtad tidak dapat diterapkan dalam konteks kekinian. Adapun wujudnya hukum tersebut dalam berbagai sumber syariat bukan berarti bertentangan dengan kemerdekaan beragama yang dijamin dalam Islam. Wallâhu a’lam. []

 

Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar