Rabu, 01 September 2021

(Ngaji of the Day) Perbedaan Fasakh dan Talak dalam Fiqih Munakahat

Sebelumnya telah dikemukakan, pengertian, dasar hukum, alasan, dan ketentuan fasakh. Maka pada kesempatan kali ini akan diuraikan perbedaan fasakh dengan talak, konsekuensi hukum, dan hikmahnya.

 

Secara umum, perpisahan atau perceraian antara suami-istri bisa terjadi karena dua hal: talak atau fasakh. Talak adalah berakhirnya pernikahan yang sah dengan ungkapan talak, baik ungkapan sharih (jelas dan tegas) maupun ungkapan kinayah (sindiran).

 

Adapun fasakh pada dasarnya adalah pembatalan akad nikah karena sebab atau aib yang terjadi atau diketahui setelah akad, baik setelah hubungan badan maupun sebelumnya, seperti keluarnya istri dari agama Islam, diketahui ada hubungan mahram antara suami-istri, suami atau istri mengalami tunagrahita, suami lemah syahwat, atau tertutupnya kemaluan si istri. (Lihat: az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid V, halaman 3598).

 

Dalam kaitan dengan fasakh dan talak, Syekh Abu Bakar ibn Muhammad Syatha dalam I’anatut Thalibin mengurai empat perbedaan antara keduanya, sekaligus konsekuensi keduanya:

 

(اعلم) أن الفسخ يفارق الطلاق في أربعة أمور: الأول أنه لا ينقص عدد الطلاق ... الثاني إذا فسخ قبل الدخول فلا شئ عليه .... الثالث إذا فسخ لتبين العيب بعد الوطئ لزمه مهر المثل... الرابع إذا فسخ بمقارن للعقد فلا نفقه لها وإن كانت حاملا.

 

Artinya, “Ketahuilah, fasakh itu berbeda dengan talak dalam empat hal. Pertama, ia tidak mengurangi bilangan talak. Kedua, jika seorang suami menjatuhkan fasakh sebelum hubungan intim, maka tidak kewajiban apapun baginya. Ketiga, jika seorang suami menjatuhkan fasakh karena kejelasan aib setelah senggama, maka ada kewajiban mahar mitsli baginya. Keempat, jika fasakh dalam keadaan hamil, maka tidak ada nafkah untuk istrinya.” (Lihat Abu Bakar bin Muhammad Syatha, I‘anatut Thalibin, jilid III, halaman 383).

 

Perbedaan Fasakh dan Talak Fasakh tidak mengurangi jumlah talak. Dengan demikian, jika seseorang menjatuhkan fasakh pernikahannya, kemudian memperbaharuinya, kemudian menjatuhkan fasakhnya lagi, maka tidak haram baginya menikahi kembali mantan istrinya walaupun telah tiga kali akad dan tiga kali fasakh.

 

Beda halnya dengan talak. Jika seorang suami sudah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, maka talaknya berstatus bain kubra. Dengan demikian ia tidak boleh menikahi mantan istrinya kecuali mantan istri sudah pernah menikah dengan laki-laki lain (muhallil).

 

Jika melakukan fasakh nikah sebelum hubungan badan, maka tidak ada kewajiban apapun bagi suami yang menjatuhkan fasakh. Beda halnya dengan talak. Jika ia mentalak istrinya sebelum hubungan badan, maka suami yang menjatuhkan talak memiliki kewajiban membayar separuh mahar.

 

Jika seorang suami menjatuhkan fasakh karena tampaknya suatu aib setelah hubungan badan, maka ada kewajiban baginya membayar mahar mistil. Berbeda dengan talak. Jika ia menjatuhkan talak setelah hubungan badan, maka suaminya berkewajiban membayar seluruh mahar musamma.

 

Jika seorang istri difasakh dalam keadaan hamil, maka tidak ada hak nafkah untuknya. Berbeda halnya dengan talak.

 

Ditambahkan oleh Musthafa Al-Khin, suami yang melakukan fasakh juga tidak berhak menarik kembali mahar yang telah diberikan kepada wali atau istri yang telah mengelabui dirinya. Pengelabuan dimaksud adalah diamnya mereka tidak memberitahukan cacat atau penyakit yang diderita kepada suaminya walaupun cacat itu mereka ketahui sebelum hubungan badan. (Lihat Syekh Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji, jilid IV, halaman 115).

 

Selain perbedaan yang telah dikemukakan di atas, konsekuensi hukum akibat cerai fasakh juga berbeda dengan cerai talak. Dengan talak, ikatan suami istri tidak berakhir seketika kecuali dengan talak bain kubra.

 

Sedangkan dengan fasakh pernikahan berakhir seketika meski perempuan yang difasakh tetap memiliki masa iddah seperti talak biasa. Dengan demikian, jika fasakh yang disebabkan karena cacat, penyakit, tidak mampu memberi nafkah, bukan karena tidak terpenuhinya syarat atau terhalangnya pernikahan, maka suami tidak boleh merujuk kepada istrinya walaupun masih dalam masa iddah. Sebab, perceraian fasakh berstatus sebagai bain shugra.

 

Dengan kata lain, jika pasangan suami-istri ingin melanjutkan perkawinan, maka mereka harus melakukan akad baru, baik si istri masih memiliki masa iddah ataupun setelah habis masa iddah.

 

Hikmah Fasakh Pernikahan

 

1. Dengan alasan yang dibenarkan syariat, istri memiliki hak untuk melepaskan diri dari ikatan pernikahan bersama suaminya. Jika suami diberi hak talak, maka istri diberi hak fasakh.

 

2. Melindungi hak-hak perempuan lainnya, seperti hak mahar dan hak nafkah.

 

3. Dengan adanya fasakh, pernikahan bukan sekadar menyatukan laki-laki dan perempuan, tetapi juga melahirkan keturunan, menjalin kedekatan, dan melahirkan kebahagiaan lahir batin di antara keduanya.

 

4. Menjaga hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan agar sesuai dengan ketentuan syarat.

 

5. Menunjukkan keadilan Allah terhadap para hamba-Nya, baik laki-laki maupun perempuan.

 

Demikian perbedaan, konsekuensi hukum, dan hikmah fasakh. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz M Tatam Wijaya, alumni Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar