Krisis Melayu Malaysia (5)
Oleh: Azyumardi Azra
‘Tak ‘kan Melayu hilang di dunia. Bumi bertuah negeri beradat’. Akhirnya, PM Muhyiddin Yassin mengundurkan diri (16 Agustus 2021)—berkuasa 17 bulan.
Yang Dipertuan Agung menunjuk dia sebagai pelaksana tugas PM, menunggu PM baru; calon kuat mencakup Mahathir Mohamad, Anwar Ibrahim, atau Tengku Razaleigh. Entah kapan Malaysia punya PM baru.
Friksi dan kontestasi politik terus berlanjut di antara kaum Melayu yang memegang hak istimewa politik. Posisi politik mereka kian rentan. Partai dengan jumlah kursi terbanyak di parlemen nasional kini bukan partai berbasis Melayu dan Islam, melainkan DAP partai berbasis komunal Cina.
Mengapa konflik dan perpecahan politik begitu endemik di antara puak Melayu Malaysia? Mengapa elite politik Melayu dan Islam sulit sekali mewujudkan harmoni dan kerukunan di antara mereka?
Penjelasan relatif komprehensif untuk menjawab berbagai pertanyaan itu diberikan Kho Boo Teik. Judul karyanya pun menyiratkan masalah kaum Melayu, Malay Politics; Parlous Condition and Continuing Problems [Politik Melayu: Kondisi Berbahaya dan Masalah Berlanjut), Singapura: ISEAS Yusof Ishak Institute, 2020).
Teik berargumen, keadaan genting politik kaum Melayu bermula koalisi Pakatan Harapan rontok, padahal berhasil memenangkan Pilihan Raya 2018 dan menjadikan Mahathir Mohamad sebagai PM.
Ia digantikan Muhyiddin Yassin, yang membelot dari PPBM (dan Pakatan Harapan) dan membentuk Perikatan Nasional yang didukung UMNO dan PAS. Awal Agustus 2021, UMNO menarik dukungan membuat goyah PM Muhyiddin.
Awalnya, para protagonis Perikatan Nasional (dan PM Muhyiddin) sempat mengeklaim, mereka representasi ‘front Melayu-Islam’. Klaim ini dikeluarkan untuk mematahkan dukungan sebagian puak Melayu pada kelompok politik lain pimpinan Mahathir Mohamad, Anwar Ibrahim, atau Ahmad Zahid Hamidi (UMNO).
Dengan uraian disederhanakan, terlihat kompleksitas dan kerumitan politik Malaysia, khususnya puak Melayu. Politik religio-komunal tidak mampu menyelesaikan kegaduhan politik kaum Melayu.
Keadaan lebih baik terjadi pada warga Cina, yang sejak kemerdekaan 1957 hanya terpecah ke dalam dua partai (MCA dan DAP). Sedangkan puak keturunan India hanya punya satu partai sejak dulu, yaitu MIC.
Mengapa politik Melayu Malaysia begitu, rapuh, genting, dan berbahaya. Kembali meminjam kerangka Teik; kerapuhan dan kegentingan politik Melayu Malaysia terlihat dalam empat fenomena pokok.
Pertama, absennya ‘kesatuan’ Melayu, dan terus berlanjutnya ‘ketidaksatuan’ dan ‘ketidakrukunan’.
Keadaan ini juga terkait perbedaan pandangan dan orientasi keislaman. Ketidakrukunan juga berakar panjang sejak masa kolonialisme Inggris. Kekuasaan politik Melayu pada masa kemerdekaan sampai sekarang belum mampu mengatasi ketidakrukunan.
UMNO memiliki pretensi sebagai representasi tunggal Melayu. Namun, UMNO tumbuh dan besar, terutama dari kalangan elite sosial berpendidikan Inggris dan dalam waktu panjang tidak secara khusus berorientasi pada Islam. Inilah yang menjadi alasan pokok mengapa PAS muncul dan bertahan.
Kedua, kontestasi klaim di antara partai-partai Melayu atau berbasis-Melayu (tapi multirasial) menyangkut Islam.
PAS selalu mengeklaim sebagai representasi partai Melayu yang memperjuangkan Islam. UMNO yang terdesak juga mengeklaim sebagai representasi Islam. PM-PM asal UMNO seperti Mahathir Mohamad sering menegaskan pemerintahannya menjalankan agenda Islam dan menyebut Malaysia sebagai "negara Islam”.
Ketiga, faksionalisme akut. Partai-partai Melayu dan Islam hampir selalu ditandai faksionalisme internal. Tidak jarang, faksionalisme itu berakhir dengan perpecahan yang kemudian diikuti kemunculan partai baru—partai sempalan.
Faksionalisme dan perpecahan itu terjadi di dalam UMNO, PAS, atau PPBM.
Keempat, suksesi kepemimpinan puncak Melayu—dan sekaligus negara Malaysia—tidak selalu berdasarkan pertimbangan merit.
Pada masa PM Mahathir, empat timbalan PM (diproyeksikan bakal menjadi PM) dipecat dari UMNO dan dikeluarkan dari kabinet karena dianggap tidak setia. Lenyaplah peluang mereka menjadi PM selanjutnya.
Akibat konflik berkelanjutan, agenda Dasar Ekonomi Baru (DEB/NEP), yang diadopsi PM Mahathir seusai kerusuhan rasial 1969 tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Meski DEB berhasil memunculkan golongan ‘Melayu Baru’ yang relatif makmur (affluent), mayoritas kaum Melayu tetap tertinggal dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Kondisi politik dan ekonomi yang tidak kondusif membuat situasi Malaysia bisa terjerumus ke dalam kerawanan. Untuk itu, perlu dibangun keseimbangan dan kesepakatan baru di antara puak Melayu sendiri, juga dengan kaum Cina, India, dan suku lain. []
REPUBLIKA, 19 Agustus 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar