Tingginya hasrat umat Islam di Nusantara yang kala itu masih di bawah kendali kekuasaan Kolonial Hindia Belanda, tidak bisa membendung arus masyarakat untuk pergi haji meskipun saat itu peraturan Pemerintah Kolonial sangat ketat.
Beberapa tahun setelah Ordonansi Haji diresmikan Kolonial Hindia Belanda pada 1859, Snouck Hurgrounje sebagai penasihat Pemerintah Kolonial dalam hal Islam politik mengirimkan surat kepada Gubernur Hindia Belanda di Batavia pada tahun 1889.
Berikut isi surat Snouck Hurgrounje tersebut seperti dikutip dari M. Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008: 103).
Pertama, perjalanan haji hanya wajib bagi umat Islam dewasa yang tanpa membahayakan penghasilan atau usahanya dan sesudah kepentingan keluarganya disantuni sepantasnya, serta dapat melakukan perjalanan tersebut dengan membawa uang yang mencukupi semua kebutuhan.
Kedua, dalam keadaan demikian, penangguhan naik haji sampai batas waktu yang tidak terbatas pun tidak dianggap tercela, dan itu hanya berakibat bahwa jika orang yang bersangkutan meninggal tanpa melakukan ibadah haji padahal meninggalkan cukup banyak harta, maka harus disisihkan uang yang diperlukan untuk seseorang pengganti haji di antara keluarganya.
Di samping itu, ternyata niat dan motif menunaikan ibadah haji umat Islam di zaman kolonial bukan hanya karena kewajiban seperti yang dinyatakan dalam rukun Islam kelima, tetapi juga karena sejumlah faktor.
Pertama, bertambahnya kehormatan yang akan dinikmati sesudah kembali ke tanah air. Kedua, Ada keyakinan bahwa perjalanan haji merupakan peralihan yang bergengsi menuju kehidupan baru dalam keimanan.
Ketiga, perjalanan haji merupakan tamasya ke tanah suci. Keempat, banyak orang yang masih juga naik haji pada usia lanjut dengan keinginan untuk meninggal di tanah suci dan dikubur di sana.
Faktor-faktor tersebut diungkapkan oleh Snouck Hurgrounje dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Onderwijs Eerediens en Nijverheid (Pendidikan, Agama, dan Kerajinan) tertanggal 26 September 1897. (M. Dien Madjid, 2008: 104)
Sebagai sosok yang mendalami Islam politik, pada 1899, Snouck ditunjuk mengepalai Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor untuk Urusan Pribumi), lembaga yang tugas utamanya memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal. Sebagian besar perhatiannya tertuju pada persoalan Islam politik di Hindia Belanda.
Nasihat Snouck tentang Islam politik banyak menganulir kebijakan pemerintah kolonial terdahulu. Jika sebelumnya pemerintah menganggap “Islam” sebagai satu wajah yang menaungi segalanya (baik politik, ritual, spiritual, dan kultural), Snouck menyarankan agar ada pemisahan.
Pemerintah kolonial, menurut nasihatnya, perlu memperhatikan tiga bidang terpisah dalam mengambil kebijakan soal Islam: yang murni agama, yang bersifat politik, dan hukum Islam (syariat).
Karena ketiganya berbeda, bagi Snouck, perlu juga pemerintah kolonial menghadapinya dengan pendekatan berlainan. Demikian pula dalam urusan haji. Bagi Snouck, jamaah haji hanya perlu dicamkan melalui sudut pandang statistik, bukan politik.
Para jamaah haji yang “politis” bukan mereka yang sekadar pergi haji kemudian pulang, melainkan orang-orang yang menetap lama di sana. Dan sebagian besar jamaah haji Hindia Belanda bukanlah orang-orang yang menetap lama. Karena itu, ia menganjurkan, kebijakan haji harus berdasarkan kebebasan penuh, tidak perlu mencemaskan bahaya politik yang ditimbulkan oleh jamaah haji.
Setidaknya ada dua Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada awal abad 19 yang mulai menyadari bahaya politik dari para haji, yaitu Herman Willem Daendels dan Thomas Stamford Raffles.
Beberapa tahun sebelum Snouck Hurgrounje datang sebagai penasihat, secara resmi Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi Haji pada tahun 1859 yang diundangkan dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie pada 6 Juli 1859 Nomor 42.
Undang-Undang tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan Cina. Maklumat tersebut bertujuan untuk mempertegas peraturan-peraturan yang diterbitkan sebelumnya, namun nyatanya pelaksanaannya belum optimal. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar