Selasa, 27 Oktober 2015

Cak Nun: Akal Itu Ujung Jari Tuhan



Akal Itu Ujung Jari Tuhan
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Saya merasa heran, terkadang kagum, dan bahkan takjub melihat berbagai kecenderungan manusia sekarang, terutama dalam hubungannya dengan apa yang mereka sebut ‘akal sehat.’ Misalnya, kalau memang tidak benar-benar mau bekerjasama dengan Tuhan, kenapa tidak kita resmikan saja penghapusan sila pertama Pancasila. Saya tidak keberatan negara ini tak bertuhan, sebab memang tak ada kewajiban bagi negara untuk bertuhan. Yang ditagih oleh Tuhan kelak bukan negara, tapi manusia.

Monggo tidak bertuhan. Asalkan menjalani hidup dengan kesungguhan. Kalau demokrasi omongannya, ya demokrasi kelakuannya. Kalau teriak perikemanusiaan, ya jijik kepada perikehewanan. Kalau pamer hati nurani, ya jangan pakai cinta palsu. Kalau pidato membela rakyat, ya membela rakyat. Tuhan juga tak usah diperdebatkan: silakan menyebutnya Pangeran, Sang yang Wenang, Gusti, Allah, atau apa saja. Juga silakan tak usah ada istilah-istilah itu, biar menjadi bahasa pribadi kita masing-masing. Yang kita perlukan hanya sederhana: kita, manusia, bersungguh-sungguh menjalani kebersamaan hidup. Serius terhadap keadilan, kebenaran, kasih sayang, toleransi.
Kolom Refleksi, Republika, Maret 2002

Yang kita alami sekarang ini adalah: Tuhan diakui, tapi tidak sungguh-sungguh. Allah disebut, tapi proforma dan iseng-iseng saja. Nama agama dijunjung, tapi ajarannya hanya dilaksanakan sebatas kondusif terhadap keperluan kita. Nabi kita rekrut untuk ngikut dan membenarkan langkah-langkah kita. Tuhan kita angkat sebagai ‘karyawan’ yang bekerja untuk karier pribadi dan sukses politik dan ekonomi kita.

Saya tidak keberatan seluruh dunia ini tidak pecaya Tuhan dan membuang agama. Silakan saja, tapi saya, anak istri, dan komunitas saya tidak ikut. Hanya, kalau memang Tuhan dinafikan, kenapa setengah-setengah? Kenapa tidak menggunakan kebebasan mutlak dan melampiaskan nafsu semerajalela mungkin. Kenapa tidak maling sebanyak-banyaknya, kenapa tidak curang dan licik sejadi-jadinya, menumpuk harta semewah-mewahnya dan kuasa sepanjang-panjangnya? Kalau tak ada Tuhan, untuk apa memperhatikan kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Kalau nilai-nilai itu hanya bikinan manusia, untuk apa kita terikat padanya. Apa hebatnya manusia sehingga patuh kepadanya?

Yang saya kagum adalah banyak teman-teman yang sudah telanjur meremehkan Tuhan, sinis kepada akhlak, skeptic terhadap agama, tapi hidupnya sengsara. Sudah telanjur melakukan berbagai kebohongan, kecurangan, disinformasi, fitnah, sangka buruk, melakukan berbagai pelanggaran yang menyakiti  kemanusiaan, yang membubarkan hukum, yang merusak tatanan nilai sosial — tapi hidupnya tidak sejahtera, tidak kaya, tidak berfoya-foya. Eman-eman tidak ada Tuhan kok tidak hidup berfoya-foya, kok tidak kawin sebanyak-banyak dan menggundik ganti seminggu sekali, kok tidak membunuh sana membunuh sini, kok tidak mengisap narkoba. Apa susahnya, toh tidak ada Tuhan. Nanti begitu maut datang, usailah segalanya.

Kalau memang tak ada Tuhan, kok tidak hidup ngawur. Kalau memang mengakui Tuhan, kok hidup ngawur. Kita ini seperti binatang, makhluk yang tidak berakal.

Jangan sebut: akal kita tidak sehat. Sebab akal pasti sehat. Yang tidak sehat, bukan akal. Tidak ada akal sehat, yang ada adalah akal, dan akal pasti sehat. Hati bisa sehat bisa tidak sehat, tapi akal pasti sehat. Hati bisa tertutup, tapi akal selalu terbuka. Hati bisa berpenyakit, dan biasanya manusia mempunyai kecenderungan untuk memperparah penyakit hati  manusia. Tapi, akal kebal segala macam penyakit. Bagi Anda yang sudah pernah mendapatkan ilmu dan ketenteraman dari Quran, silakan perhatikan. Kitab itu menyebut hati dalam berbagai kemungkinan di antara sehat dan sakit. Tapi, akal disebut hanya dalam konteks kesesatan hidup.

Akal tidak sama dengan otak. Ayam dan kambing juga punya otak, tapi jangan bilang kambing berakal. Otak itu hanya hardware-machine dari suatu fungsi berpikir. Adapun akal itu suatu potensialitas rohaniah. Kita harus menggalinya sepanjang zaman, karena yang kita dapatkan darinya hanya gejala-gejala. Anda kenal inspirasi, kreativitas, ilham, ide, gagasan? Serpihan-serpihannya melompat dalam kandungan rahasia akal ke mesin memori dan kesadaran kita. Akal itu bagaikan ujung jari Tuhan yang menyentuhkan cintanya kepada kita untuk mentransfer cinta, silaturahmi, janji kasih, dan berbagai anugerah. Kalau dikatakan ada orang kehilangan akal, artinya ia mengalami keterputusan kontak dengan hidayah Tuhan. Pikirannya buntu dan otaknya terbengkalai. Jadi, otak bisa tidak sehat, cara berpikir bisa khilaf dan terpeleset, tapi akal selalu benar dan sehat. Yang tak sehat biasanya adalah metoda dan mekanisme berpikir.

Sudah jelas-jelas bikin sakit perut, tetap terus dimakan: itulah politik Indonesia. Sudah ratusan kali bikin bingung dan susah, tetap terus dijunjung-junjung: itulah bangsa Indonesia. Sudah dirasakan pahit dan pahit dan pahit, tetap saja digelari gula: itulah kepribadian Indonesia. Sudah terang-terangan menyusahkan rakyat, tetap saja diidolakan: itulah otak Indonesia. Layang-layang diperebutkan dan kertas cek diinjak-injak: itulah mata pandang Indonesia. Emas disepelekan, tinja diembus-embus: itulah hidung Indonesia. Terus-menerus salah pilih, tidak mau mengakui bahwa ia salah pilih, tidak mau belajar agar tak lagi salah pilih: itulah ilmu pengetahuan Indonesia. []

(Dokumentasi Progress: Harian Republika kolom Refleksi Maret 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar