Akal Itu Ujung Jari Tuhan
Oleh:
Emha Ainun Nadjib
Saya
merasa heran, terkadang kagum, dan bahkan takjub melihat berbagai kecenderungan
manusia sekarang, terutama dalam hubungannya dengan apa yang mereka sebut ‘akal
sehat.’ Misalnya, kalau memang tidak benar-benar mau bekerjasama dengan Tuhan,
kenapa tidak kita resmikan saja penghapusan sila pertama Pancasila. Saya tidak
keberatan negara ini tak bertuhan, sebab memang tak ada kewajiban bagi negara
untuk bertuhan. Yang ditagih oleh Tuhan kelak bukan negara, tapi manusia.
Monggo tidak bertuhan. Asalkan menjalani hidup dengan kesungguhan.
Kalau demokrasi omongannya, ya demokrasi kelakuannya. Kalau teriak
perikemanusiaan, ya jijik kepada perikehewanan. Kalau pamer hati nurani, ya
jangan pakai cinta palsu. Kalau pidato membela rakyat, ya membela rakyat. Tuhan
juga tak usah diperdebatkan: silakan menyebutnya Pangeran, Sang yang Wenang,
Gusti, Allah, atau apa saja. Juga silakan tak usah ada istilah-istilah itu,
biar menjadi bahasa pribadi kita masing-masing. Yang kita perlukan hanya
sederhana: kita, manusia, bersungguh-sungguh menjalani kebersamaan hidup.
Serius terhadap keadilan, kebenaran, kasih sayang, toleransi.
Kolom Refleksi, Republika, Maret 2002
Yang kita alami sekarang ini adalah: Tuhan diakui, tapi tidak
sungguh-sungguh. Allah disebut, tapi proforma dan iseng-iseng saja. Nama agama
dijunjung, tapi ajarannya hanya dilaksanakan sebatas kondusif terhadap
keperluan kita. Nabi kita rekrut untuk ngikut dan membenarkan langkah-langkah
kita. Tuhan kita angkat sebagai ‘karyawan’ yang bekerja untuk karier pribadi
dan sukses politik dan ekonomi kita.
Saya tidak keberatan seluruh dunia ini tidak pecaya Tuhan dan
membuang agama. Silakan saja, tapi saya, anak istri, dan komunitas saya tidak
ikut. Hanya, kalau memang Tuhan dinafikan, kenapa setengah-setengah? Kenapa
tidak menggunakan kebebasan mutlak dan melampiaskan nafsu semerajalela mungkin.
Kenapa tidak maling sebanyak-banyaknya, kenapa tidak curang dan licik
sejadi-jadinya, menumpuk harta semewah-mewahnya dan kuasa sepanjang-panjangnya?
Kalau tak ada Tuhan, untuk apa memperhatikan kebenaran, kebaikan, dan keadilan.
Kalau nilai-nilai itu hanya bikinan manusia, untuk apa kita terikat padanya.
Apa hebatnya manusia sehingga patuh kepadanya?
Yang saya kagum adalah banyak teman-teman yang sudah telanjur
meremehkan Tuhan, sinis kepada akhlak, skeptic terhadap agama, tapi hidupnya
sengsara. Sudah telanjur melakukan berbagai kebohongan, kecurangan,
disinformasi, fitnah, sangka buruk, melakukan berbagai pelanggaran yang menyakiti
kemanusiaan, yang membubarkan hukum, yang merusak tatanan nilai sosial — tapi
hidupnya tidak sejahtera, tidak kaya, tidak berfoya-foya. Eman-eman tidak ada
Tuhan kok tidak hidup berfoya-foya, kok tidak kawin sebanyak-banyak dan
menggundik ganti seminggu sekali, kok tidak membunuh sana membunuh sini,
kok tidak mengisap narkoba. Apa susahnya, toh tidak ada Tuhan. Nanti begitu
maut datang, usailah segalanya.
Kalau memang tak ada Tuhan, kok tidak hidup ngawur. Kalau memang
mengakui Tuhan, kok hidup ngawur. Kita ini seperti binatang, makhluk yang tidak
berakal.
Jangan sebut: akal kita tidak sehat. Sebab akal pasti sehat. Yang
tidak sehat, bukan akal. Tidak ada akal sehat, yang ada adalah akal, dan akal
pasti sehat. Hati bisa sehat bisa tidak sehat, tapi akal pasti sehat. Hati bisa
tertutup, tapi akal selalu terbuka. Hati bisa berpenyakit, dan biasanya manusia
mempunyai kecenderungan untuk memperparah penyakit hati manusia. Tapi, akal
kebal segala macam penyakit. Bagi Anda yang sudah pernah mendapatkan ilmu dan
ketenteraman dari Quran, silakan perhatikan. Kitab itu menyebut hati dalam
berbagai kemungkinan di antara sehat dan sakit. Tapi, akal disebut hanya dalam
konteks kesesatan hidup.
Akal tidak sama dengan otak. Ayam dan kambing juga punya otak,
tapi jangan bilang kambing berakal. Otak itu hanya hardware-machine dari suatu
fungsi berpikir. Adapun akal itu suatu potensialitas rohaniah. Kita harus
menggalinya sepanjang zaman, karena yang kita dapatkan darinya hanya
gejala-gejala. Anda kenal inspirasi, kreativitas, ilham, ide, gagasan?
Serpihan-serpihannya melompat dalam kandungan rahasia akal ke mesin memori dan
kesadaran kita. Akal itu bagaikan ujung jari Tuhan yang menyentuhkan cintanya
kepada kita untuk mentransfer cinta, silaturahmi, janji kasih, dan berbagai
anugerah. Kalau dikatakan ada orang kehilangan akal, artinya ia mengalami
keterputusan kontak dengan hidayah Tuhan. Pikirannya buntu dan otaknya
terbengkalai. Jadi, otak bisa tidak sehat, cara berpikir bisa khilaf dan
terpeleset, tapi akal selalu benar dan sehat. Yang tak sehat biasanya adalah
metoda dan mekanisme berpikir.
Sudah jelas-jelas bikin sakit perut, tetap terus dimakan: itulah
politik Indonesia. Sudah ratusan kali bikin bingung dan susah, tetap terus
dijunjung-junjung: itulah bangsa Indonesia. Sudah dirasakan pahit dan pahit dan
pahit, tetap saja digelari gula: itulah kepribadian Indonesia. Sudah
terang-terangan menyusahkan rakyat, tetap saja diidolakan: itulah otak
Indonesia. Layang-layang diperebutkan dan kertas cek diinjak-injak: itulah mata
pandang Indonesia. Emas disepelekan, tinja diembus-embus: itulah hidung
Indonesia. Terus-menerus salah pilih, tidak mau mengakui bahwa ia salah pilih,
tidak mau belajar agar tak lagi salah pilih: itulah ilmu pengetahuan Indonesia.
[]
(Dokumentasi Progress: Harian Republika kolom Refleksi Maret 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar