Jumat, 16 Oktober 2015

Mahfud MD: KPK Sunah, Tak Haram



KPK Sunah, Tak Haram
Oleh: Moh Mahfud MD

Perdebatan soal apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu lembaga ad hoc atau bukan mencuat kembali setelah pada Rabu, dua hari lalu, Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengatakan ketetapan (tap) MPR yang mendasari pembentukan KPK tidak menyebutkan bahwa KPK itu lembaga ad hoc.

Memang agak mengagetkan ketika Rabu itu mencuat berita bahwa melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 sejumlah anggota DPR mengusulkan perubahan Undang-Undang (UU) KPK. Publik menganggap hal itu sebagai ancaman serius bagi upaya pemberantasan korupsi. Sebab di dalam draf RUU tersebut ada beberapa pasal yang terang-terangan akan menggerus kewenangan-kewenangan khusus, bahkan akan membubarkan KPK.

Di dalam usulan RUU baru itu ada ketentuan KPK akan bubar dalam waktu 12 tahun sejak ditetapkannya UU KPK yang baru. Alasannya, KPK adalah lembaga ad hoc yang dibentuk untuk mengatasi situasi dan waktu tertentu, yakni merajalelanya korupsi sebagai peninggalan rezim Orde Baru.

Itulah yang, antara lain, ditanggapi pimpinan KPK dalam jumpa pers yang dipimpin langsung oleh Ruki, Rabu kemarin. Ruki menegaskan bahwa KPK dibentuk berdasarkan tap MPR yang di dalamnya tidak ada ketentuan bahwa KPK adalah lembaga ad hoc.

Pada tahun 2001, untuk memerangi korupsi, MPR memang mengeluarkan Tap No VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Di dalam Pasal 2 butir 6 Tap MPR tersebut tidak disebut sedikit pun tentang kesementaraan atau sifat ad hoc KPK.

Di sana hanya disebutkan perintah pembentukan KPK dengan kalimat yang tegas, ”Membentuk undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi: (a) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi....” Tidak ada kata ad hoc atau sementara di dalam Tap MPR itu.

Berdasarkan perintah Tap MPR tersebut dibentuklah UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang menurut Pasal 2 UU tersebut disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di dalam UU ini pun tidak ada ketentuan bahwa KPK adalah lembaga ad hoc.

Tapi perdebatan apakah KPK itu lembaga ad hoc atau bukan terus berlangsung. Pada pidato di Gedung MPR saat peringatan Hari Konstitusi 18 Agustus 2015 kemarin, Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputeri mengatakan bahwa KPK adalah lembaga ad hoc yang pada saat dan keadaan tertentu harus dibubarkan.

Mengapa perdebatan tentang ad hoc atau tidaknya KPK itu selalu muncul? Karena di dalam Konsiderans UU No 30 Tahun 2002 Bagian Menimbang, butir a dan b, disebutkan, KPK dibentuk dengan pertimbangan, waktu itu, ”pemberantasan korupsi belum dapat dilaksanakan secara optimal” (butir a) dan, ”lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum efektif dan efisien” (butir b).

Kata ”belum” itulah yang bisa dijadikan alasan untuk mengatakan KPK bersifat ad hoc, dengan arti, jika pemberantasan korupsi ”sudah optimal” dan kinerja penegak hukum ”sudah efektif dan efisien”, KPK bisa dibubarkan. Seperti yang sudah saya tulis di Kolom KORAN SINDO edisi Sabtu, 22 Agustus 2015, dengan judul ”KPK Ad Hoc”, ada sifat ad hoc pada KPK, tetapi tidak seperti lembaga ad hoc pada umumnya.

Katakanlah KPK itu ad hoc setengah atau setengah ad hoc. Alasannya, lembaga ad hoc adalah lembaga yang diberi tugas dan wewenang khusus dalam waktu tertentu. Jadi ada syarat ”tugas/wewenang khusus” dan ”dalam waktu tertentu”. Contoh yang paling mudah diingat dalam konteks ini adalah pembentukan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Waktu itu Timtas Tipikor dibentuk dengan tugas khusus menangani korupsi kakap di 10 departemen dalam waktu 2 tahun. Setelah waktunya habis, Timtas Tipikor dibubarkan meskipun tugas-tugasnya belum tuntas. Nah, KPK itu bersifat setengah ad hoc saja, sebab meskipun ada tugas/wewenang khususnya, tidak ada ketentuan tentang batas waktunya.

Tugas/wewenang khusus KPK adalah menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara (pejabat) negara, yang menarik perhatian publik, dan yang nilai korupsinya 1 miliar rupiah ke atas. Tidak ada batas waktu untuk keberadaan KPK. Maka itu sebenarnya, terlepas dari soal ad hoc atau tidaknya, KPK bisa dipertahankan, tapi bisa juga dibubarkan.

Itu terserah pada politik hukum kita saja dalam pemberantasan korupsi. Yang sangat perlu diingat adalah asas, tujuan, dan fungsi hukum yang pada umumnya disepakati mencakup tiga hal utama, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Mengacu pada hal tersebut, jika dikaitkan dengan kemanfaatan hukum, keberadaan KPK sangat penting untuk dipertahankan.

Terlepas dari kelemahan-kelemahannya yang manusiawi, KPK sebagai institusi sudah terbukti memberikan kemanfaatan yang luar biasa bagi hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK selalu bisa membuktikan dakwaan-dakwaannya di pengadilan, mulai dari tingkat pertama sampai tingkat kasasi sehingga banyak koruptor kakap yang digelandang ke penjara.

KPK disenangi oleh rakyat dan selalu mendapat dukungan publik. Kalau meminjam istilah fikih Islam, membubarkan KPK itu tidak wajib, mempertahankan KPK itu sunah. []

KORAN SINDO, 10 Oktober 2015
Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar