KPK Sunah, Tak Haram
Oleh: Moh Mahfud MD
Perdebatan soal apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu
lembaga ad hoc atau bukan mencuat kembali setelah pada Rabu, dua hari lalu,
Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengatakan ketetapan (tap) MPR yang mendasari
pembentukan KPK tidak menyebutkan bahwa KPK itu lembaga ad hoc.
Memang agak mengagetkan ketika Rabu itu mencuat berita bahwa
melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 sejumlah anggota DPR
mengusulkan perubahan Undang-Undang (UU) KPK. Publik menganggap hal itu sebagai
ancaman serius bagi upaya pemberantasan korupsi. Sebab di dalam draf RUU
tersebut ada beberapa pasal yang terang-terangan akan menggerus
kewenangan-kewenangan khusus, bahkan akan membubarkan KPK.
Di dalam usulan RUU baru itu ada ketentuan KPK akan bubar dalam
waktu 12 tahun sejak ditetapkannya UU KPK yang baru. Alasannya, KPK adalah
lembaga ad hoc yang dibentuk untuk mengatasi situasi dan waktu tertentu, yakni
merajalelanya korupsi sebagai peninggalan rezim Orde Baru.
Itulah yang, antara lain, ditanggapi pimpinan KPK dalam jumpa pers
yang dipimpin langsung oleh Ruki, Rabu kemarin. Ruki menegaskan bahwa KPK
dibentuk berdasarkan tap MPR yang di dalamnya tidak ada ketentuan bahwa KPK
adalah lembaga ad hoc.
Pada tahun 2001, untuk memerangi korupsi, MPR memang mengeluarkan
Tap No VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Di dalam Pasal 2 butir 6 Tap MPR
tersebut tidak disebut sedikit pun tentang kesementaraan atau sifat ad hoc KPK.
Di sana hanya disebutkan perintah pembentukan KPK dengan kalimat
yang tegas, ”Membentuk undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk
pencegahan korupsi yang muatannya meliputi: (a) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi....” Tidak ada kata ad hoc atau sementara di dalam Tap MPR itu.
Berdasarkan perintah Tap MPR tersebut dibentuklah UU No 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang menurut
Pasal 2 UU tersebut disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di dalam UU ini
pun tidak ada ketentuan bahwa KPK adalah lembaga ad hoc.
Tapi perdebatan apakah KPK itu lembaga ad hoc atau bukan terus
berlangsung. Pada pidato di Gedung MPR saat peringatan Hari Konstitusi 18
Agustus 2015 kemarin, Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputeri mengatakan
bahwa KPK adalah lembaga ad hoc yang pada saat dan keadaan tertentu harus
dibubarkan.
Mengapa perdebatan tentang ad hoc atau tidaknya KPK itu selalu
muncul? Karena di dalam Konsiderans UU No 30 Tahun 2002 Bagian Menimbang, butir
a dan b, disebutkan, KPK dibentuk dengan pertimbangan, waktu itu,
”pemberantasan korupsi belum dapat dilaksanakan secara optimal” (butir a) dan,
”lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum efektif
dan efisien” (butir b).
Kata ”belum” itulah yang bisa dijadikan alasan untuk mengatakan
KPK bersifat ad hoc, dengan arti, jika pemberantasan korupsi ”sudah optimal”
dan kinerja penegak hukum ”sudah efektif dan efisien”, KPK bisa dibubarkan.
Seperti yang sudah saya tulis di Kolom KORAN SINDO edisi Sabtu, 22 Agustus
2015, dengan judul ”KPK Ad Hoc”, ada sifat ad hoc pada KPK, tetapi tidak
seperti lembaga ad hoc pada umumnya.
Katakanlah KPK itu ad hoc setengah atau setengah ad hoc.
Alasannya, lembaga ad hoc adalah lembaga yang diberi tugas dan wewenang khusus
dalam waktu tertentu. Jadi ada syarat ”tugas/wewenang khusus” dan ”dalam waktu
tertentu”. Contoh yang paling mudah diingat dalam konteks ini adalah
pembentukan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Waktu itu Timtas Tipikor dibentuk dengan tugas khusus menangani
korupsi kakap di 10 departemen dalam waktu 2 tahun. Setelah waktunya habis,
Timtas Tipikor dibubarkan meskipun tugas-tugasnya belum tuntas. Nah, KPK itu
bersifat setengah ad hoc saja, sebab meskipun ada tugas/wewenang khususnya,
tidak ada ketentuan tentang batas waktunya.
Tugas/wewenang khusus KPK adalah menangani kasus-kasus korupsi
yang melibatkan penyelenggara (pejabat) negara, yang menarik perhatian publik,
dan yang nilai korupsinya 1 miliar rupiah ke atas. Tidak ada batas waktu untuk
keberadaan KPK. Maka itu sebenarnya, terlepas dari soal ad hoc atau tidaknya,
KPK bisa dipertahankan, tapi bisa juga dibubarkan.
Itu terserah pada politik hukum kita saja dalam pemberantasan
korupsi. Yang sangat perlu diingat adalah asas, tujuan, dan fungsi hukum yang
pada umumnya disepakati mencakup tiga hal utama, yaitu kepastian, keadilan, dan
kemanfaatan hukum. Mengacu pada hal tersebut, jika dikaitkan dengan kemanfaatan
hukum, keberadaan KPK sangat penting untuk dipertahankan.
Terlepas dari kelemahan-kelemahannya yang manusiawi, KPK sebagai
institusi sudah terbukti memberikan kemanfaatan yang luar biasa bagi hukum
pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK selalu bisa membuktikan
dakwaan-dakwaannya di pengadilan, mulai dari tingkat pertama sampai tingkat
kasasi sehingga banyak koruptor kakap yang digelandang ke penjara.
KPK disenangi oleh rakyat dan selalu mendapat dukungan publik.
Kalau meminjam istilah fikih Islam, membubarkan KPK itu tidak wajib,
mempertahankan KPK itu sunah. []
KORAN SINDO, 10 Oktober 2015
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar