Rabu, 28 Oktober 2015

Buya Syafii: JKW-JK, Saatnya Tancap Gas



JKW-JK, Saatnya Tancap Gas
Oleh:  Ahmad Syafii Maarif

Jika dalam sistem politik Amerika Serikat, masa jabatan presiden-wakil presiden hanya empat tahun dan hanya boleh menduduki jabatan puncak itu untuk dua periode. Jadi, sama dengan sistem politik kita di Indonesia pascaamendemen UUD 1945. Bedanya terletak pada masa jabatan, di Indonesia lima tahun.

Masa jabatan empat atau lima tahun sesungguhnya sangat pendek, tetapi dengan perpanjangan sampai dua periode--jika masih dipercaya rakyat--program-program yang masih terbengkalai pada periode pertama dapat dilanjutkan. Dengan demikian, merebut kepercayaan rakyat melalui kerja nyata menjadi sangat mutlak.

Saya masih ingat saat Presiden Jimmy Carter yang baru menjabat satu periode dikalahkan Ronald Reagan. Carter dengan jujur mengatakan bahwa kalah itu sakit (I can't say it doesn't hurt).

Pengalaman Indonesia dalam proses pergantian presiden tidak hanya sakit, tetapi bisa dihujat selama bertahun-tahun setelah jatuh, khususnya seperti yang dirasakan Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto. Tetapi, JKW-JK menurut perkiraan saya tidak perlu cemas sebab kebiasaan hujat-menghujat itu sudah lampau.

Iklim politik Indonesia tampaknya sudah semakin beradab sekalipun pemerintahan hasil gerakan reformasi belum tentu efektif untuk mendekati cita-cita kemerdekaan berupa keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Dalam perspektif itu, tidak ada pilihan lain bagi JKW-JK kecuali menggunakan masa jabatan empat tahun ke depan seefisien mungkin untuk benar-benar bekerja bagi kepentingan rakyat banyak, bukan untuk segelintir orang yang selama ini telah cukup kenyang meraup nikmat kemerdekaan. Artinya, cita-cita besar dan mulia dalam Nawacita jangan dibiarkan menggantung di awan tinggi seperti kita rasakan selama 70 tahun merdeka.

Ingat Pasal 33 UUD 1945 sampai hari ini tidak dijadikan pedoman dalam pola pembangunan nasional sejak proklamasi. Banyak elite dan birokrat kita yang tidak paham bahwa dalam Pasal 33 itulah termuat cita-cita keadilan sosial yang sangat fundamental.

Sejarah modern Indonesia memang sarat dengan ironi. Pernah berlaku atas nama Pancasila dan UUD 1945 demokrasi Indonesia ditindas demikian rupa sehingga sila ke-4, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" dimasukkan dalam kubur. Kedaulatan rakyat berpindah menjadi kedaulatan penguasa.

Anehnya, karena sisa-sisa feodalisme masih belum hilang dalam struktur kultur politik Indonesia, rakyat sendiri pada umumnya tidak begitu tersinggung jika kedaulatannya telah dirampas. Mereka baru mau melawan ketika perutnya menjadi lapar, sementara penguasa telah kehilangan kemampuan untuk membendung perlawanan masif mereka.

Sebab itu, pemerintahan JKW-JK harus ekstra hati-hati agar krisis perut itu tidak terjadi. Dalam pengalaman Indonesia, jatuhnya Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto bukan karena sifat rezimnya yang autoritarian, tetapi karena gagal menjawab jeritan perut rakyat.

Sekarang setelah semakin menguatnya posisi pemerintah berhadapan dengan DPR karena PAN sudah bergabung maka tibalah saatnya untuk tancap gas. Kabinet harus kompak, sesama menteri jangan main kucing-kucingan.

Mohon manfaatkan peluang emas ini untuk mewujudkan perintah konstitusi, khususnya Pasal 33 yang ditelantarkan selama 70 tahun. Tentu waktu empat tahun tidak cukup, tetapi jika fundamen pembangunan nasional dapat ditata dengan baik berdasarkan konstitusi, pemerintahan yang akan datang sudah punya modal yang cukup memadai untuk membangun bangsa dan negara ini dengan cara yang lebih teratur, rasional dengan berpedoman kepada sistem meritokrasi yang sehat dan terukur.

Perkara kemungkinan ditelikung oleh pihak oposisi tidak perlu ditakutkan karena kultur oposisi di negeri ini bersifat "keras-keras kerak", kena air melembut juga. []

REPUBLIKA, 27 Oktober 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar