Senin, 19 Oktober 2015

Kang Sobary: Nasionalisme Hari Ini



Nasionalisme Hari Ini
Oleh: Mohamad Sobary

Ada suatu fenomena menarik di sebuah Rumah Dongeng, di Kudus, yang sekaligus menjadi Rumah Sehat.

Rumah Dongeng membuat sehat jiwa dan kemampuan imajinasi anak-anak, Rumah Sehat membuat para pasien dan siapa saja yang memperoleh pelayanan di situ menjadi sehat, segar bugar badannya. Rumah Dongeng berurusan dengan perkara kejiwaan. Rumah Sehat mengurus kesehatan badan.

Keduanya berbeda. Tapi, ternyata tak terpisah: yang satu mendukung yang lain, yang didukung melengkapi yang mendukung. Jumat, 9 Oktober 2015, pukul 21.00 WIB, artinya sudah menjadi malam Sabtu, berkumpul sejumlah besar warga masyarakat kota dan desa Kudus, Jawa Tengah. Hadir pula beberapa pembicara dari Jakarta dan Surabaya di antaranya ada pastor dan kiai. Kecuali itu di atas panggung tampak pula beberapa bocah, yang suaranya nyaring, dan merdu, khas kemurnian bocah yang belum tersentuh dosa dan segenap kekotoran duniawi lainnya.

Mereka bagian dari acara penting yang diselenggarakan di Rumah Dongeng, suatu pusat kebudayaan yang diberi nama ”Marwah”. Rumah Dongeng ini penting peranannya. Ini jawaban atas persoalan kebudayaan kita yang mampet, dan bahkan mati. Di dalam keluarga, orang tua tak pernah lagi menyempatkan diri mendongeng buat anak-anak mereka. Institusi sosial yang bernama mendongeng, yang dapat mendekatkan relasi anak-anak dan orang tua, terputus dari rantai kebudayaan masa lalu.

Mendongeng bukan hanya berarti membangun cinta kasih yang mendalam di antara anakanak dan orang tua, tetapi juga bisa memberi anak-anak imajinasi hampir tak terbatas tentang dunia yang punya batasbatas. Dongeng membuat anakanak kaya penghayatan dan pengalaman imajiner. Lewat dongeng anak-anak mempunyai sejumlah sahabat imajiner yang sangat dikaguminya.

Lewat dongeng pula kreativitas anak-anak berkembang. Dan, kita terkejut, di kalangan anak-anak kita berkembang bakat menulis yang mengagumkan. Dunia imajinatif mereka luar biasa. Inilah yang mulai terlihat jelas di antara anak-anak di Rumah Dongeng tersebut. Kelihatannya, ini satu hal. Dan, kita akan melihat hal yang lain lagi yaitu Rumah Sehat. Rumah Dongeng itu juga berfungsi sebagai Rumah Sehat.

Di sana para pasien yang sakit dibuat menjadi sembuh dan sehat kembali. Pilihan idiom ”Rumah Sehat”, bukan Rumah Sakit, menunjukkan ada perbedaan cara memandang dunia di kalangan para pengelola maupun pemiliknya. Pendekatan yang dipakai di sini tidak sama dengan pendekatan dunia kedokteran dan dunia medis pada umumnya. ”Apakah ini pengobatan alternatif?” ”Siapa yang alternatif dan siapa yang utama belum jelas.

Penamaan itu harus ditinjau kembali dengan cermat dan hati-hati bagaimana posisi yang sebenarnya”. ”Apakah ini bisa disebut pengobatan tradisional?” ”Memangnya siapa yang menentukan status modern dan tradisional itu? Apakah penamaan itu memang sudah begitu seharusnya? Bukankah orientasi pemikiran seperti itu bisa saja salah dan wajib ditinjau kembali?” Tapi, di sini ”modern” dan ”tradisional” hanya ”label” yang tak menentukan apa-apa. Apa salahnya ”tradisional” kalau pasien yang diobati sembuh dan segar bugar kembali? Apa lebih kata ”modern” jika hasil pencapaiannya sama dengan yang ”tradisional”?

***

Inilah sebagian kecil tampilan Rumah Dongeng, juga Rumah Sehat, di Kudus. Saya sudah ke sana sekali sebelumnya. Tapi, masih juga belum paham akan lingkungan di sekitarnya. Tapi, saya tahu rumah itu dibangun di lahan persawahan kering, di tempat yang agak tinggi, dan dijauhi air. Alam di sekitar hanya sawah, dan sawah. Saat itu sawah hanya berarti tanah kering yang belum memungkinkan untuk digarap. Tak ada tanaman apa pun di atas tanah kering itu. Tapi, rumah itu dirancang dengan baik.

Di pagar sekeliling pekarangan sudah ditanam pohon-pohon peneduh. Dan, di tengah sawah kering itu suasana teduh terasa karena ada rumah tersebut. Ada dua jenis bangunan. Satu, bangunan biasa, dengan bata merah mencolok, untuk tempat merawat pasien. Dua, bangunan rumah Jawa, joglo gaya Kudus, yang tinggi, gagah, dan memberi kesan Jawa zaman dahulu. Halamannya rapi jali. Kursi-kursi taman, gazebo, dan tanaman penghias, serta rumput hijau, memberi keteduhan pada mata yang memandang.

Dan, bukan hanya itu. Jika kita memandang ke utara, di sana, dalam jarak tak terlalu jauh, tampak Gunung Muria yang biru anggun, dengan lima puncaknya yang berderet- deret. Alam mengaturnya begitu indah, dan kita hanya kagum. Di rumah itulah pada malam Sabtu lalu diselenggarakan dialog tentang nasionalisme. Ada pertanyaan dasar: masihkah kita memiliki rasa nasionalis-me? Pertanyaan ini menggelisahkan para pengelola Rumah Dongeng, terutama Mas Hasan dan Mas Edy.

Anak-anak didik mereka, yang menjadi peserta kegiatan mendongeng itu, ditampilkan. Lima anak bergantian, satu persatu ”mendongeng” apa nasionalisme itu dalam benak mereka. Pandangan mereka murni seperti anak-anak sekolah pada umumnya. Kita jarang mendengar suara anak-anak yang disiapkan untuk diminta bicara serius seperti itu. Dan, kita terhibur. Mereka bicara definisi yang diajarkan para guru di sekolah.

Para pembicara, satu persatu, mengemukakan pendirian mereka. Hampir sama, semua punya harapan masa depan kehidupan negeri kita semoga lebih baik. Atau, semoga berubah menjadi baik. Tapi, serentak, tanpa dikomando, semua memperdengarkan kesedihan dan rasa cemas yang dalam. Saat ini nasionalisme kita mungkin masih ada dalam corak kata-kata.

Mungkin orang, terutama pejabat tinggi negara yang memegang kendali kekuasaan, bisa bicara ”national interest”, mungkin bahkan ada yang bisa sesumbar, demi kepentingan bangsa siap melakukan apa saja, dan siap mengorbankan sesuatu yang mahal. Tapi, kata-kata hanya katakata. Dari dulu hingga sekarang, kita mudah menerima pelaku bisnis asing yang membawa duit dalam jumlah besar minta dibuatkan undang-undang, untuk minta perlakuan istimewa.

Ada yang minta dibuatkan undang-undang, yang bisa memberi perlindungan bisnis mereka, dan pemerintah, bersama DPR, siap melayaninya, para hamba sahaya melayani juragan besar mereka. Ini tak ada hubungannya dengan apa yang disebut ”national interest” tadi. Bahkan sebaliknya, merusak kepentingan bangsa kita. Ada yang minta dibuatkan undang-undang untuk melindungi kepentingan politik mereka.

Dan, pemerintah kita yang murah hati serta mulia itu, bersama DPR bekerja keras mewujudkan apa yang diperintahkan pada mereka. Apa makna nasionalisme seperti ini selain kata-kata dan kata-kata yang kehilangan maknanya? Begitu banyak aturan perundang-undangan yang memuliakan kepentingan asing dan mencelakai bangsanya sendiri.

Ada undang-undang yang digugat oleh Muhammadiyah di MK, dan Muhammadiyah menang. Tapi, Tuan Presiden yang merasa suatu negara sebagai ”my second country” dengan buru-buru membatalkannya dengan sebuah keppres baru. Nasionalisme apa ini? Mungkin hari ini, nasionalisme kita masih ada di dalam kata-kata, tapi kita telah menggadaikannya di pasaran global. Kita tunduk pada permainan global yang serakah.

Kita bukan melawan, tapi mengabdi pada mereka. Dialog malam itu diam-diam menampilkan ada sejenis benang merah yang getir: nasionalisme kita tampak jika kita melawan kesewenang-wenangan pasar global, sikap pemerintah yang tak peduli pada penjajahan pasar tersebut, dan segenap kebijakan pemerintah yang merusak hidup kita.

Pasar global, pemerintah, dan kebijakan pemerintahlah yang mengancam nasionalisme kita, apa pun arti kata itu. []

Koran SINDO, 13 Oktober 2015
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar