Agama
Kekuatan Pembebas
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Pada
mulanya semua agama merupakan gerakan dan kekuatan pembebas (liberating force).
Para rasul Tuhan pembawa dan penyebar ajaran Ilahi selalu membela mereka yang
bodoh dan tertindas oleh penguasa.
Makanya
para rasul Tuhan selalu dibenci penguasa tiran. Sebut saja Nabi Ibrahim, Musa,
Isa, dan Muhammad, semuanya dikejar-kejar oleh penguasa penindas rakyat. Mereka
hendak dibunuh karena dianggap sebagai tokoh subversif yang mengancam kekuasaan
waktu itu. Ketika para nabi itu menaklukkan suatu wilayah, istilah yang tepat
bukan penaklukan, melainkan pembebasan (al-fath).
Sebagaimana
ketika Nabi Muhammad kembali masuk ke Mekkah setelah lama tinggal diMadinah
menghindari kejaran musuh, hal itu dikenal dengan istilah fathu Makkah.
Pembebasan Kota Mekkah dari cengkeraman penguasa yang zalim. Pembebasan dari
kehidupan jahiliah , dari kebodohan, amoralitas, dan kekufuran.
Agama
yang awalnya merupakan gerakan moral dan pencerahan yang dibawa oleh sosok
rasul Tuhan seorang diri, ketika berhasil pada urutannya melahirkan sebuah
komunitas orang beriman (the community of believers) yang jajaran elitenya
memiliki akses untuk menggenggam kekuasaan politik dan ekonomi. Ketika itu
agama tidak lagi melekat sebagai identitas orang-orang yang lemah, miskin, dan
tertindas, melainkan juga menjadi agama penguasa. Rasulullah Muhammad,
misalnya, beliau dikenal tidak saja sebagai nabi pemimpin agama, tetapi juga
pemimpin politik.
Ketika
Rasulullah wafat, yang diwariskan tidak saja ajaran dan tradisi agama, tetapi
juga komunitas politik (political community) di Madinah. Kenabiannya tidak bisa
digantikan, tetapi kepemimpinannya bagi komunitas orang beriman diteruskan
untuk melestarikan kekuatan politik yang berlangsung berabadabad. Maka
muncullah sosoksosok pemimpin di dunia Islam dengan sebutan khalifah, sultan,
ataupun amir yang berkonotasi sebagai pemimpin politik dan keagamaan.
Dalam
konteks kekuasaan politik, agama bukan sekadar sebagai tangga untuk meraih
kekuasaan, tetapi agama juga instrumen politik yang canggih jika digunakan
untuk mengendalikan dan memperluas kekuasaan. Dalam sejarah agama, khususnya
Kristen dan Islam, ekspansi kekuasaan politik dan penyebaran agama selalu
berbarengan. Bahkan kadang agama terlibat perang sehingga muncul istilah perang
suci atau holy war.
Perang
yang disucikan atau penyebaran ajaran suci tapi menggunakan jalan peperangan.
Sebuah kata yang paradoksal. Peperangan dengan dalih pembebasan dengan
menyebarkan agama sebagai jalan kebenaran dan peradaban, tetapi sering kali
agama sekadar instrumen ekspansi kekuasaan politik dan ekonomi. Dalam
perjalanan sejarahnya agama lalu menampilkan wajah ganda.
Wajah dan
karakter aslinya sebagai kekuatan moral, intelektual, dan peradaban sering kali
tertutupi oleh wajahnya yang seram dan menakutkan akibat deviasi sejarah yang
dilakukan para penguasa yang menggunakan agama sebagai instrumen kekuasaannya.
Situasi ini sangat merugikan misi dan eksistensi agama yang telah banyak
memberikan kontribusi pada pembangunan peradaban dan pembelaannya pada agenda
menjaga martabat kemanusiaan. Sejarah kristiani di Barat telah menorehkan
catatan hitam akibat agama terlibat dalam perang berebut kekuasaan politik yang
pada urutannya mendorong lahirnya sekularisme karena masyarakat intelektual
kecewa pada agama untuk mengatur kehidupan politik dan lembaga keilmuan.
Dalam
Islam pun terjadi. Hari-hari ini kita disuguhi drama perang antarsesama umat
Islam dan sama-sama bangsa Arab untuk memperebutkan hegemoni politik dan
ekonomi di Timur Tengah. Ironisnya, perang itu telah mengundang kekuatan asing
nonmuslim untuk membantu pihak masing-masing yang tengah berseteru. Lalu rakyat
sipil yang menjadi korban melakukan diaspora secara mengenaskan untuk
mendapatkan tempat tinggal, makanan, dan pekerjaan di Eropa yang juga bukan
muslim.
Drama ini
sungguh bertolak belakang dari misi awal ketika agama diperkenalkan oleh para
rasul Tuhan sebagai pembela orang-orang miskin yang tertindas. Padahal sejarah
membuktikan, agama memiliki sumber dan kekuatan laten yang amat besar dalam
membangun peradaban dan mempromosikan perdamaian. Agenda inilah yang mesti
diambil umat Islam Indonesia untuk menyuarakan pesan perdamaian serta melakukan
aksi nyata menjadikan agama sebagai sumber kemajuandanperadaban.
Sebagainegara
dengan penduduknya mayoritas muslim, sungguh tidak pantas jika emosi dan
simbolsimbol agama hanya dijadikan instrumen perebutan kekuasaan dan ritual
dengan niat penebusan dosa sosial.
Indonesia
mesti memberikan kontribusi dan sumber inspirasi pada dunia bahwa agama itu
menjadi liberating force seperti awal mula diwahyukan. Jangan biarkan kekuatan
luar dan mazhab pemikiran keagamaan yang senangnya berantem merusak taman
peradaban kita. []
KORAN
SINDO, 16 Oktober 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar