KH Mustahal Ahmad,
Perintis Tiga Banom NU
31 Januari 1935.
Tepat pada momentum Hari Lahir (Harlah) Nahdlatul Ulama ke-9, lahir seorang
yang kelak menjadi tokoh pendiri IPNU, PMII, dan bahkan juga ikut membidani
berdirinya IPPNU. Lahir dari pasangan seorang ulama terkemuka di Kota Solo, KH
Masjhud dan Nyai Syuaibah, Mustahal lahir dan dibesarkan di Pesantren
Al-Masjhudiyah Keprabon Solo yang diasuh ayahnya. Nama Mustahal sebenarnya
merupakan nama kecil sang ayah, sebelum akhirnya berganti menjadi Masjhud kala
belajar di Tanah Suci.
Mustahal ini masih
saudara seayah dengan Nyai Hj. Mahmudah Mawardi, tokoh perempuan yang pernah
menjadi ketua PP Muslimat NU selama delapan periode (1950-1979). Kiai Masjhud
yang dikenal sebagai seorang tokoh ulama ahli nahwu, dianugerahi lima putri
(termasuk Mahmudah) dari istri pertama. Kemudian setelah istrinya wafat, ia
mempersunting Nyai Syuaibah yang memperoleh keturunan Mustahal.
Alhasil, meski masih
satu saudara dengan Nyai Mahmudah, namun secara usia Mustahal ini terpaut cukup
jauh. Salah satu putera Nyai Mahmudah, A Chalid Mawardi bahkan menjadi kawan
Mustahal sewaktu kecil, juga teman mengaji di Pesantren Al-Masjhudiyah.
“Chalid Mawardi dulu
pernah dibondo (diikat) dan diludahi simbah (Kiai Masjhud), kena mata kanan,”
kenang Nasirul Umam, salah satu putra Mustahal, saat NU Online berkunjung ke
rumah peninggalan Mustahal beberapa waktu lalu.
Tidak banyak yang
dapat dikisahkan dari masa kecil Mustahal, hingga ia menginjak masa remaja,
ketika ia ikut membidani berdirinya sejumlah badan otonom NU.
Pendiri IPNU
Pada tanggal 27
Desember 1953, Mustahal Ahmad dan Chalid Mawardi bersama sekelompok pelajar SMA
di Surakarta, mendirikan satu wadah organisasi yang menghimpun para pelajar NU.
Organisasi ini masih bersifat lokal dan bernama Ikatan Pelajar Nahdatul Oelama
(IPNO) Surakarta.
Selang dua bulan
kemudian, atau tepatnya tanggal 24 Februari 1954, Mustahal mengikuti Konferensi
Besar I Lembaga Pendidikan Ma’arif NU untuk merealisasikan gagasan pembentukan
organisasi pelajar NU yang berskala nasional. Dalam pertemuan tersebut, turut
hadir perwakilan dari Semarang dan Yogyakarta.
Perlu menjadi catatan
dan pelurusan sejarah, bahwa dari berbagai penelusuran penulis ke beberapa
keluarga/tokoh pendiri IPNU-IPPNU di Kota Solo, nama H. Musthafa yang menjadi
perwakilan dari Solo, sejatinya bernama Mustahal Ahmad. Namun, entah karena
adanya kekeliruan penulisan nama ataupun faktor lain, sehingga dalam dokumen
dan catatan sejarah pendiri IPNU yang disebut hanya M. Sufyan Cholil
(Yogyakarta), H. Musthafa (Solo), dan Abdul Ghony Farida (Semarang). Pada
kepengurusan pertama (1954-1955) PP IPNU di bawah kepemimpinan Tolchah Mansoer,
Mustahal Ahmad masuk ke dalam kepengurusan, dan tercatat dengan nama Mustahal
A.M.
Selang setahun
setelah ikut mendirikan IPNU, Mustahal kemudian juga merintis berdirinya
organisasi kemahasiswaan NU di Kota Solo. Dirinya yang kala itu sudah menjadi
mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Cokroaminoto Surakarta mendirikan
Keluarga Mahasiswa Nahdatul Ulama (KMNU) Surakarta. Boleh dikatakan, KMNU ini
adalah satu-satunya organisasi mahasiswa NU yang dapat bertahan sampai dengan
lahirnya PMII pada tahun 1960.
Penggerak Kaum Muda
Rumah Mustahal yang
berada di kompleks Pesantren Al-Masjhudiyah, sejak dahulu menjadi rujukan para
santri untuk memperdalam ilmu agama, khususnya ilmu nahwu. Santri Kiai Masjhud
tidak hanya berasal dari wilayah Soloraya, namun juga dari Jawa Timur dan
wilayah lainnya.
Bahkan, menurut
penuturan salah satu tokoh di Solo, pada zaman itu para santri yang hendak
khataman kitab Alfiyah, belum lengkap apabila belum sowan dan ditashih Kiai
Masjhud. “Santri yang pernah mengaji dengan beliau banyak yang kemudian menjadi
tokoh, seperti KH Maimoen Zubaer, Mbah Liem, KH Mukhtar Rosjidi, dan lainnya,”
ungkap Nasirul Umam.
Termasuk mantan
Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri yang juga pernah menjadi muridnya, menyebut
gurunya sebagai seorang ulama terkenal ahli nahwu. “Ilmu yang ia ajarkan
mendapat jaminan mutu”, tulis Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya Berangkat Dari
Pesantren.
Namun, semenjak Kiai
Masjhud wafat pada tahun 1950-an, Al-Masjhudiyah kemudian menjadi pesantren
putri dan diasuh oleh istri Kiai Masjhud, atau yang lebih dikenal sebagai Nyai
Masjhud.
Pada periode ini,
banyak santri putri yang ikut mengaji di tempat tersebut, antara lain, Umroh Machfudzoh,
Atikah Murtadlo, Lathifah Hasyim, Romlah, dan Basyiroh Saimuri (kebetulan
sekolah mereka terletak tak jauh dari Al-Masjhudiyah). Mereka inilah yang kelak
menjadi para perintis berdirinya IPNU Puteri (sekarang bernama IPPNU,-Pen).
Ketika itu, Kota Solo pun menjadi kantor sekretariat IPNU Puteri.
Peran Mustahal dalam
pendirian IPNU Puteri tersebut sangat vital, mengingat di samping tinggal di
sekitar kompleks Pesantren, Mustahal juga mengemban amanah sebagai pengurus PP
IPNU di Bagian Pendidikan. Bersama Ketua Fatayat NU Surakarta, Nihayah (Kelak
menjadi istri KH Ahmad Shiddiq/ Rais ‘Aam PBNU), keduanya ikut mengawal
berdirinya organisasi pelajar putri NU. Beberapa kali ia juga terlibat dalam
diskusi dan dimintai pendapat oleh Umroh dkk untuk soal pendirian IPNU Puteri
ini.
Hal ini, diungkapkan
Nyai Umroh Mahfudloh ketika diwawancarai tim penulis buku KH Moh Tolchah
Mansoer Biografi Profesor NU yang Terlupakan, tahun 2008 silam. “Dulu, saya kos
di rumah Pak Mustahal Ahmad Solo. Pada saat itu, Pak Mustahal-lah yang
mendukung berdirinya organisasi pelajar putri. Dia selalu menyemangati kami
agar mampu secara mandiri mendirikan organisasi” kata Umroh yang menjadi Ketua
PP IPPNU pada periode pertama.
Mustahal juga ikut
terlibat dalam proses pendirian PMII, organisasi kemahasiswaan yang pada
awalnya menjadi underbouw NU, namun kemudian menyatakan idependensi dan
interdependensi-nya terhadap NU.
Pada kepengurusan PP
PMII (sekarang istilahnya PB PMII) di bawah kepemimpinan Mahbub Djunaidi, Mustahal
masuk dalam kepengurusan sebagai salah satu anggota pengurus bersama dua
pendiri PMII lainnya yang berasal dari Surakarta Nuril Huda Suaidy (pernah
menjadi ketua Lembaga Dakwah PBNU) dan Laily Mansur. Sedangkan keponakannya, A.
Chalid Mawardi (mewakili Jakarta) mendapat amanah sebagai Ketua Satu.
Inisial NU
Seiring bertambahnya
usia, Mustahal tak mengendurkan semangat dalam berkhidmah bersama NU. pada
tahun 1970-an dan 1980-an, sembari menjadi salah satu pengajar di kampus UNU
Surakarta, dirinya juga aktif di kepengurusan PCNU Surakarta, bahkan berlanjut
hingga tingkat PWNU Jawa Tengah. Pada Pemilu tahun 1982, Mustahal menjadi
anggota DPRD Tingkat I Propinsi Jawa Tengah mewakili Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
“Ketika itu, bapak
pernah ditawari untuk menjadi anggota dewan atau Bupati di Rembang,” ungkap
Nasirul Umam.
Kecintaannya pada NU
tidak hanya tercermin dalam kesehariannya, hal tersebut bahkan diabadikan dalam
nama putera-puterinya, yang kesemuanya diberikan nama berinisial “NU”. Mereka
yakni Ni’matun Ulfa, Niswatul Umah, Najmatul Usrah, Nasirul Umam, Naimul Unsi
dan Nasikhul Ukhwan.
Dalam usia 59 tahun,
tepatnya pada 1 Juli 1994, H. Mustahal Ahmad, BA. menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Jenazahnya dikebumikan di Kota Solo. []
(Ajie Najmuddin)
Referensi pendukung :
·
Caswiyono Rusydie dkk, KH Moh Tolchah
Mansoer Biografi Profesor NU yang Terlupakan (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2009).
·
Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari
Pesantren, (Yogyakarta, LkiS, 2013)
·
Sejarah singkat IPNU IPPNU, buku. Kenang-kenangan
Makesta IPNU IPPNU Kodya Surakarta tahun 1970
·
Buku Sejarah PMII Kota Surakarta
·
Wawancara dengan Nasirul Umam (cucu
KH. Masjhud/putra H. Mustahal Ahmad) di Solo, 2 Juni 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar