Selasa, 20 Oktober 2015

(Tokoh of the Day) KH. Mustahal Ahmad, Surakarta - Jawa Tengah



KH Mustahal Ahmad, Perintis Tiga Banom NU


31 Januari 1935. Tepat pada momentum Hari Lahir (Harlah) Nahdlatul Ulama ke-9, lahir seorang yang kelak menjadi tokoh pendiri IPNU, PMII, dan bahkan juga ikut membidani berdirinya IPPNU. Lahir dari pasangan seorang ulama terkemuka di Kota Solo, KH Masjhud dan Nyai Syuaibah, Mustahal lahir dan dibesarkan di Pesantren Al-Masjhudiyah Keprabon Solo yang diasuh ayahnya. Nama Mustahal sebenarnya merupakan nama kecil sang ayah, sebelum akhirnya berganti menjadi Masjhud kala belajar di Tanah Suci.

Mustahal ini masih saudara seayah dengan Nyai Hj. Mahmudah Mawardi, tokoh perempuan yang pernah menjadi ketua PP Muslimat NU selama delapan periode (1950-1979). Kiai Masjhud yang dikenal sebagai seorang tokoh ulama ahli nahwu, dianugerahi lima putri (termasuk Mahmudah) dari istri pertama. Kemudian setelah istrinya wafat, ia mempersunting Nyai Syuaibah yang memperoleh keturunan Mustahal.

Alhasil, meski masih satu saudara dengan Nyai Mahmudah, namun secara usia Mustahal ini terpaut cukup jauh. Salah satu putera Nyai Mahmudah, A Chalid Mawardi bahkan menjadi kawan Mustahal sewaktu kecil, juga teman mengaji di Pesantren Al-Masjhudiyah.

“Chalid Mawardi dulu pernah dibondo (diikat) dan diludahi simbah (Kiai Masjhud), kena mata kanan,” kenang Nasirul Umam, salah satu putra Mustahal, saat NU Online berkunjung ke rumah peninggalan Mustahal beberapa waktu lalu.

Tidak banyak yang dapat dikisahkan dari masa kecil Mustahal, hingga ia menginjak masa remaja, ketika ia ikut membidani berdirinya sejumlah badan otonom NU.

Pendiri IPNU

Pada tanggal 27 Desember 1953, Mustahal Ahmad dan Chalid Mawardi bersama sekelompok pelajar SMA di Surakarta, mendirikan satu wadah organisasi yang menghimpun para pelajar NU. Organisasi ini masih bersifat lokal dan bernama Ikatan Pelajar Nahdatul Oelama (IPNO) Surakarta.

Selang dua bulan kemudian, atau tepatnya tanggal 24 Februari 1954, Mustahal mengikuti Konferensi Besar I Lembaga Pendidikan Ma’arif NU untuk merealisasikan gagasan pembentukan organisasi pelajar NU yang berskala nasional. Dalam pertemuan tersebut, turut hadir perwakilan dari Semarang dan Yogyakarta.

Perlu menjadi catatan dan pelurusan sejarah, bahwa dari berbagai penelusuran penulis ke beberapa keluarga/tokoh pendiri IPNU-IPPNU di Kota Solo, nama H. Musthafa yang menjadi perwakilan dari Solo, sejatinya bernama Mustahal Ahmad. Namun, entah karena adanya kekeliruan penulisan nama ataupun faktor lain, sehingga dalam dokumen dan catatan sejarah pendiri IPNU yang disebut hanya M. Sufyan Cholil (Yogyakarta), H. Musthafa (Solo), dan Abdul Ghony Farida (Semarang). Pada kepengurusan pertama (1954-1955) PP IPNU di bawah kepemimpinan Tolchah Mansoer, Mustahal Ahmad masuk ke dalam kepengurusan, dan tercatat dengan nama Mustahal A.M.

Selang setahun setelah ikut mendirikan IPNU, Mustahal kemudian juga merintis berdirinya organisasi kemahasiswaan NU di Kota Solo. Dirinya yang kala itu sudah menjadi mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Cokroaminoto Surakarta mendirikan Keluarga Mahasiswa Nahdatul Ulama (KMNU) Surakarta. Boleh dikatakan, KMNU ini adalah satu-satunya organisasi mahasiswa NU yang dapat bertahan sampai dengan lahirnya PMII pada tahun 1960.

Penggerak Kaum Muda

Rumah Mustahal yang berada di kompleks Pesantren Al-Masjhudiyah, sejak dahulu menjadi rujukan para santri untuk memperdalam ilmu agama, khususnya ilmu nahwu. Santri Kiai Masjhud tidak hanya berasal dari wilayah Soloraya, namun juga dari Jawa Timur dan wilayah lainnya.

Bahkan, menurut penuturan salah satu tokoh di Solo, pada zaman itu para santri yang hendak khataman kitab Alfiyah, belum lengkap apabila belum sowan dan ditashih Kiai Masjhud. “Santri yang pernah mengaji dengan beliau banyak yang kemudian menjadi tokoh, seperti KH Maimoen Zubaer, Mbah Liem, KH Mukhtar Rosjidi, dan lainnya,” ungkap Nasirul Umam.

Termasuk mantan Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri yang juga pernah menjadi muridnya, menyebut gurunya sebagai seorang ulama terkenal ahli nahwu. “Ilmu yang ia ajarkan mendapat jaminan mutu”, tulis Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya Berangkat Dari Pesantren.

Namun, semenjak Kiai Masjhud wafat pada tahun 1950-an, Al-Masjhudiyah kemudian menjadi pesantren putri dan diasuh oleh istri Kiai Masjhud, atau yang lebih dikenal sebagai Nyai Masjhud.

Pada periode ini, banyak santri putri yang ikut mengaji di tempat tersebut, antara lain, Umroh Machfudzoh, Atikah Murtadlo, Lathifah Hasyim, Romlah, dan Basyiroh Saimuri (kebetulan sekolah mereka terletak tak jauh dari Al-Masjhudiyah). Mereka inilah yang kelak menjadi para perintis berdirinya IPNU Puteri (sekarang bernama IPPNU,-Pen). Ketika itu, Kota Solo pun menjadi kantor sekretariat IPNU Puteri.

Peran Mustahal dalam pendirian IPNU Puteri tersebut sangat vital, mengingat di samping tinggal di sekitar kompleks Pesantren, Mustahal juga mengemban amanah sebagai pengurus PP IPNU di Bagian Pendidikan. Bersama Ketua Fatayat NU Surakarta, Nihayah (Kelak menjadi istri KH Ahmad Shiddiq/ Rais ‘Aam PBNU), keduanya ikut mengawal berdirinya organisasi pelajar putri NU. Beberapa kali ia juga terlibat dalam diskusi dan dimintai pendapat oleh Umroh dkk untuk soal pendirian IPNU Puteri ini.

Hal ini, diungkapkan Nyai Umroh Mahfudloh ketika diwawancarai tim penulis buku KH Moh Tolchah Mansoer Biografi Profesor NU yang Terlupakan, tahun 2008 silam. “Dulu, saya kos di rumah Pak Mustahal Ahmad Solo. Pada saat itu, Pak Mustahal-lah yang mendukung berdirinya organisasi pelajar putri. Dia selalu menyemangati kami agar mampu secara mandiri mendirikan organisasi” kata Umroh yang menjadi Ketua PP IPPNU pada periode pertama.

Mustahal juga ikut terlibat dalam proses pendirian PMII, organisasi kemahasiswaan yang pada awalnya menjadi underbouw NU, namun kemudian menyatakan idependensi dan interdependensi-nya terhadap NU.

Pada kepengurusan PP PMII (sekarang istilahnya PB PMII) di bawah kepemimpinan Mahbub Djunaidi, Mustahal masuk dalam kepengurusan sebagai salah satu anggota pengurus bersama dua pendiri PMII lainnya yang berasal dari Surakarta Nuril Huda Suaidy (pernah menjadi ketua Lembaga Dakwah PBNU) dan Laily Mansur. Sedangkan keponakannya, A. Chalid Mawardi (mewakili Jakarta) mendapat amanah sebagai Ketua Satu.

Inisial NU

Seiring bertambahnya usia, Mustahal tak mengendurkan semangat dalam berkhidmah bersama NU. pada tahun 1970-an dan 1980-an, sembari menjadi salah satu pengajar di kampus UNU Surakarta, dirinya juga aktif di kepengurusan PCNU Surakarta, bahkan berlanjut hingga tingkat PWNU Jawa Tengah. Pada Pemilu tahun 1982, Mustahal menjadi anggota DPRD Tingkat I Propinsi Jawa Tengah mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

“Ketika itu, bapak pernah ditawari untuk menjadi anggota dewan atau Bupati di Rembang,” ungkap Nasirul Umam.

Kecintaannya pada NU tidak hanya tercermin dalam kesehariannya, hal tersebut bahkan diabadikan dalam nama putera-puterinya, yang kesemuanya diberikan nama berinisial “NU”. Mereka yakni Ni’matun Ulfa, Niswatul Umah, Najmatul Usrah, Nasirul Umam, Naimul Unsi dan Nasikhul Ukhwan.

Dalam usia 59 tahun, tepatnya pada 1 Juli 1994, H. Mustahal Ahmad, BA. menghembuskan nafasnya yang terakhir. Jenazahnya dikebumikan di Kota Solo. []

(Ajie Najmuddin)

Referensi pendukung :
·         Caswiyono Rusydie dkk, KH Moh Tolchah Mansoer Biografi Profesor NU yang Terlupakan (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009).
·         Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren, (Yogyakarta, LkiS, 2013)
·         Sejarah singkat IPNU IPPNU, buku. Kenang-kenangan Makesta IPNU IPPNU Kodya Surakarta tahun 1970
·         Buku Sejarah PMII Kota Surakarta
·         Wawancara dengan Nasirul Umam (cucu KH. Masjhud/putra H. Mustahal Ahmad) di Solo, 2 Juni 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar