Mengapa NU Menerima
Pancasila sebagai Asas?
Tokoh paling penting
yang menjadi “arsitek” penerimaan NU terhadap Pancasila adalah KH Achmad Siddiq
(Rais Aam PBNU 1984-1989). Berikut ini penuturan sesepuh NU, KH Muchit Muzadi
(88), sekretaris Kiai Achmad Siddiq yang sama-sama pernah menjadi murid KH Hasyim
Asy’ari di Pesantren Tebuireng. (*Red)
Bagi saya KH Ahmad
Shiddiq itu adalah seorang ulama yang memiliki ilmu pengetahuan yang komplit.
Komplit kenapa? Karena ia memiliki pemikiran-pemikiran yang cukup mendalam
tentang agama, hubungan agama dengan kehidupan kemasyarakatan, hubungan agama
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara dan lain sebagainya.
Seperti contoh, dalam
merumuskan hubungan Pancasila dan Islam dalam Nahdlatul Ulama. Umumnya orang
hanya melihat bahwa Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan Islam maka
dibilang Islami. Namun tidak dengan KH Achmad Siddiq. Ia melihat bahwa pola
hubungan dan posisi agama dan Pancasila dalam kehidupan bernegara adalah lebih
dari itu.
Saya sendiri dahulu
pernah bertanya masalah ini kepada Beliau. “Kiai, Mengapa kita harus menerima
Pancasila sebagai asas NU ?.”
Ia menjawab:
“Nahdlatul Ulama sendiri dalam Anggaran Dasarnya yang pertama diterangkan bahwa
NU didirikan berdasarkan tujuan-tujuan, bukan asas.”
“Kita tidak usah
mempertentangkan NU dengan asas negara. Karena NU tidak berbicara mengenai
asas. Melainkan tujuan.”
Lalu sekarang apa
tujuan NU? Ialah melaksanakan semua yang akan menjadikan kemaslahatan Ummat
Islam.
Kiai Achmad Siddiq
tidak setuju kalau Islam itu dijadikan asas sebuah organisasi atau partai.
Adalah keliru jika menjadikan Islam sebagai asas, karena justru akan
merendahkan Islam sendiri. Islam adalah agama ciptaan Allah, sedangkan
organisasi ciptaan manusia. Islam jauh diatas asas, karena Islam adalah
Din-Allah.
Seperti zaman dahulu,
Masyumi yang mencantumkan Asas Islam adalah keliru karena justru memelorotkan
Islam dengan menyamakannya dengan berbagai isme-isme yang lain.
Zaman dahulu, NU
memusyawarahkan tentang hubungan Islam dan asas negara berjam-jam. Satu jam
lamanya Kiai Shiddiq terdiam merenungkan masalah ini. Dan ketika mendapatkan
hasilnya, langsung Ia memutuskan di depan rapat, dan terdiamlah semua hadirin
yang berdebat.
Itulah salah satu
kelebihan dari Kharisma Kiai Achmad, yang mana hal itu dikarenakan kedalaman
Ilmunya. Saya menaruh hormat yang besar kepadanya akan hal ini. Meskipun Ia
lebih muda dari pada saya 50 (lima puluh) hari lamanya. Karena saya lahir pada
24 Desember 1925, sedang Kiai Achmad lahir pada 24 Januari 1926. Akan tetapi
karena keilmuan Beliau jauh di atas saya maka meskipun saya lebih tua saya
harus hormat kepadanya. []
Ditranskrip oleh
kontributor NU Online Malang, Ahmad Nur Kholis, dari pidato KH Muchit Muzadi
yang disampaikan dalam acara Workshop Aswaja dengan tema “Revitalisasi
nilai-nilai Aswaja di Tengah Ancaman Gerakan Transnasional di Pondok Pesantren
Mahasiswa Al-Hikam, 8 Februari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar