Kita ini Penggembala atau Gembalaan
Oleh:
Emha Ainun Nadjib
Berbicara
tentang kepemimpinan, ada idiom-idiom budaya Jawa karya para Wali yang bisa
dipegang. Falsafah kepemimpinan dalam angon bebek (menggembalakan bebek) atau
angon wedhus (menggembala kambing), misalnya, si penggembala selalu berada di
belakang. Posisi ini identik dengan kepemimpinan dalam shalat berjamaah, yakni
para perempuan selalu berada di belakang. Perempuan adalah penggembala dalam konteks
pemimpin yang angon (menggembala) kaum laki-laki yang berada di depannya.
Falsafah kepemimpinan bocah angon (penggembala) tersebut, dapat
kita temui di tembang Ilir-ilir.
Tugas yang sedang diemban oleh bocah angon dalam tembang Ilir-ilir
tersebut, adalah memanjat pohon belimbing yang bergigir lima. Dalam situasi
sekarang dapat diartikan memanjat pohon reformasi, pohon demokratisasi, atau
apapun istilah yang kita pakai. Lunyu-lunyu yo penekno. Selicin apa pun, terus harus
kita panjat. Jatuh melorot lagi, naik lagi, melorot lagi, naik lagi.
Bocah angon yang harus memanjat itu pemerintah dan semua orang.
Untuk pemerintah: penekno, panjatkan. Memanjatkan reformasi untuk kepentingan
rakyat. Tapi kalau nggak bisa, ya lagu itu untuk rakyat: peneken. Panjatlah
sendiri. Sementara upayakan kemandirian dan mengurangi semaksimal mungkin
ketergantungan terhadap perekonomian makro yang dikelola oleh pemerintah.
Tingkatkan etos kerja dan watak swasta. Tingkatkan akses ke alam dan jasa.”
Adapun blimbing bergigir lima, maknanya boleh dimultitafsirkan,
bisa Pancasila, lima rukun Islam, bisa shalat lima waktu, yang pasti bukan
mo-limo: maling (mencuri), madat (narkoba), minum (mabuk), madon (melacur), dan
main (judi).
Lantas, apa makna bocah angon yang selalu berada di belakang?
Begitu pula dengan para wanita yang selalu berada di belakang ketika shalat
berjamaah? Makna simboliknya, sekali lagi, adalah bahwa kaum wanita sebenarnya
sedang angon atau menggembalakan kaum laki-laki, sebagaimana dalam shalat
jamaah itu. Bayangkan bila format dalam shalat itu dibalik, yakni perempuan di
depan, sebagai imam, dan kaum laki-laki di belakang sebagai makmum. Bisa
dipastikan suasananya akan menjadi kacau balau, karena para makmum—yang terdiri
dari kaum laki-laki—tidak bisa khusyu’ dalam shalatnya, lantaran sibuk
memandangi kaum perempuan yang di depannya. Begitulah, perempuan, pada
hakikatnya adalah pemimpin.
Bocah angon bersedia berada di belakang. Artinya kita membutuhkan
manusia yang tidak rakus kekuasaan, mau menjadi rakyat biasa, mau berada di
belakang-belakang saja. Manusia yang punya kebesaran jiwa sebagai manusia,
sehingga meskipun ‘hanya’ menjadi manusia biasa, ia tidak berpenyakit jiwa
apa-apa. Bukan manusia kerdil yang memerlukan jabatan, otoritas politik, dan
popularitas untuk merasa dirinya besar. Jika sudah matang ‘ke-belakang-an’nya
seperti ini, justru orang macam inilah yang paling siap tampil di depan.
Ciri bocah angon yang lain adalah pada habitat budaya anak
gembala. Egaliter, bersahaja, siap tidur di bawah pohon, siap ber-geluteh
dengan kotoran kerbau. Bukan priyayi feodal, bukan anak Mami yang necis, bukan
hedonis yang gaya hidupnya memerlukan pengorbanan ekonomi orang banyak. Orang
semacam ini yang paling siap berpuasa dari KKN, nothing to loose untuk tidak
maling uang negara.
Tapi mungkin yang kita miliki sekarang belum sebagai bocah angon.
Yang kita punya bukan penggembala kerbau, melainkan kerbau. []
(Dokumentasi Progress: Tulisan Cak Nun pada kolom Refleksi Harian
Republika, 29 Juli 2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar