Rabu, 28 Oktober 2015

BamSoet: 51 Tahun Golkar; Badai Pasti Berlalu



51 Tahun Golkar; Badai Pasti Berlalu
Oleh: Bambang Soesatyo

Partai Golkar sejatinya memang tak pernah terbelah, apalagi tumbang. Ibarat beringin yang usianya bisa mencapai ratusan tahun, eksistensi Partai Golkar selalu terjaga, kini hingga dekade-dekade mendatang.

Tepat pada usianya yang ke-51 tahun, Golkar pun sudah melalui ujian terberat pada zaman ini. Fondasi Partai Golkar kembali tegak lurus berkat dua keputusan hukum baru-baru ini. Pertama, Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menolak banding yang diajukan Golkar abal-abal hasil Munas Ancol pimpinan Agung Laksono. Keputusan ini dipublikasikan pada Selasa (20/ 10).

Keputusan PT Jakarta itu sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) yang telah mengesahkan kepengurusan Golkar produk Munas Bali, serta menolak kepengurusan Golkar abal-abalproduk Munas Ancol. Kedua, Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasinya juga pada Selasa (20/10) membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta. Dengan pembatalan itu, MA kembali menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta).

Seperti diketahui, PTUN Jakarta dalam vonisnya pada 18 Mei 2015 telah mengembalikan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golongan Karya hasil Munas Riau. Majelis Hakim PTUN juga memerintahkan Menkumham mencabut SK (surat keputusan) yang mengesahkan kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono. Dua keputusan hukum yang strategis ini sudah menutup masa-masa sulit yang dilalui Golkar dalam beberapa bulan belakangan ini.

Sekadar menyegarkan ingatan, sejak November 2014, Partai Golkar sudah dipersepsikan ”terbelah”. Persepsi itu mengemuka karena terjadi beda pandang antara Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (ARB) dan sejumlah figur calon ketua umum tentang jadwal Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar. Masalah di internal Golkar meruncing dengan tampilnya presidium penyelamat partai. Padahal, struktur organisasi Golkar tidak mengenal presidium seperti itu.

Presidium inilah yang mendorong terlaksananya munas odong-odongdi Ancol pekan pertama Desember 2014. Sejaktampilnya DPP produk munas odongodong itulah Golkar harus berkutat menyelesaikan persoalan yang menyelimutinya. Akhirnya, seperti yang terkandung dalam putusan PT Jakarta dan kasasi MA barubaru ini, Golkar memang tidak pernah terbelah.

Sebaliknya, tetap utuh, bahkan makin kokoh. Ketua Umum Partai Golkar ARB langsung menyuarakan salam damai dan mengajak Agung Laksono membentuk kepengurusan Partai Golkar yang baru. Rekonsiliasi di tubuh Golkar harus segera berproses. Tidak ada lagi kubu Munas Bali atau Kubu Munas Ancol. Ajakan ARB itu direspons positif oleh Yorrys Raweyai. Dia mengingatkan, semua pihak harus menerima putusan kasasi MA yang mengabulkan gugatan ARB dan Idrus Marham.

Baik Agung Laksono maupun ARB sudah terikat kesepakatan (gentlemen’s agreement) untuk menerima apa pun putusan kasasi MA. Yorrys pun berharap agar Agung Laksono berjiwa besar dan berlapang dada menerima putusan itu. ”Semua sudah sepakat, apa pun hasil dari putusan hukum itu harus kita terima walaupun pahit,” kata Yorrys. Sebagai konsekuensi logis dari putusan kasasi MA itu, Menkumham memang wajib menerbitkan SK baru untuk mengesahkan DPP Golkar hasil Munas Bali pimpinan ARB.

Namun, ARB dkk lebih mengutamakan keutuhan partai. Karena itulah, ARB berharap bisa segera berembuk dengan semua elite Golkar guna menyusun formasi kepengurusan DPP yang baru. Sesuai dengan semangat dari putusan PT Jakarta dan kasasi MA, model kepengurusan Partai Golkar bisa saja mengacu pada susunan kepengurusan periode sebelumnya.

Terpenting, semua unsur dalam partai harus kooperatif dan mengutamakan soliditas partai. Soliditas itu sangat penting karena Golkar harus menghadapi pilkada serentak yang dimulai pada Desember 2015.

Minus Munaslub

Harus dipastikan sejak dini bahwa proses pembentukan kepengurusan DPP Partai Golkar yang baru tidak perlu melalui forum munas luar biasa (munaslub). Pembentukan kepengurusan DPP yang baru cukup melalui mekanisme urun rembuk atau musyawarah untuk mufakat. Selain itu, sama sekali tidak ada urgensinya untuk menyelenggarakan Munaslub Partai Golkar.

Jika tidak ada kearifan dari semua elite Golkar, forum seperti munaslub itu akan menjadi perangkap yang melahirkan potensi konflik baru. Akan muncul pengelompokan-pengelompokan baru untuk sekadar memperebutkan posisi puncak dalam struktur kepengurusan partai. Artinya, alih-alih mewujudkan soliditas partai, forum seperti munaslub justru bisa memperlemah Golkar menghadapi pilkada serentak.

Semua elite Golkar di Jakarta harus realistis bahwa rentang waktu persiapan sudah sangat pendek untuk mendapatkan kemenangan maksimal dalam pilkada serentak. Para elite di Jakarta juga harus mendengarkan dan menghayati aspirasi kader di semua daerah yang menghendaki partai ini solid. Mereka sudah lelah menyaksikan pertikaian di tingkat elite. Golkar sudah mengajukan 219 calon kepala daerah untuk bertarung dalam pilkada serentak pada Desember mendatang.

Golkar sebagai partai pengusung harus menunjukkan tanggung jawab penuh agar semua calon bisa meraih kemenangan. Sudah barang tentu DPP Partai Golkar harus solid agar mampu menggerakkan mesin partai demi mencapai kemenangan besar. Wacana tentang munaslub dalam waktu dekat untuk membentuk DPP yang baru hanya akan mengganggu proses persiapan semua calon peserta pilkada yang diusung Partai Golkar.

Para calon kepala daerah itu akan bingung; aktif dengan hirup-pikuk persiapan munaslub, atau fokus mengerahkan tim sukses di daerah pemilihan masing-masing. Kalau para calon kepala daerah aktif pada proses persiapan Munaslub Golkar, kerja mesin partai di daerah pasti berantakan.

Sebaliknya, jika mereka fokus mengerahkan mesin partai di tengah kesibukan elite menyiapkan munaslub, akan muncul kesan bahwa partai membiarkan para calon kepala daerah bertarung sendirian tanpa dukungan maksimal dari DPP. Partai akan dirugikan jika banyak calon gagal meraihkan kemenangan. Episode ”Kubu Bali versus Kubu Ancol” sudah dinyatakan selesai oleh putusan PT Jakarta dan kasasi MA.

Semua elemen Golkar hendaknya mengenang episode itu sebagai masa-masa sulit yang pernah dihadapi dan berkomitmen untuk tidak mengulanginya lagi. Pertikaian internal hanya menguntungkan partai politik lain. Satu hal yang patut digarisbawahi semua kader Golkar bahwa persaingan di antara sesama partai politik adalah sesuatu yang permanen.

Ketika sebuah partai terperangkap dalam pertikaian internal, partai politik lainnya akan tertawa dan bertepuk tangan sambil berharap pertikaian itu berlarut-larut. Pertikaian internal akan membuat sebuah partai rapuh dan tidak cukup kuat untuk menghadapi perhelatan politik sebesar pilkada serentak akhir tahun ini. Kalau Golkar rapuh, partai politik lainlah yang akan memetik kemenangan. Dengan semakin dekatnya jadwal pelaksanaan pilkada serentak, partai politik lain pasti berharap Golkar gagal mewujudkan soliditas internal.

Di antara partai-partai itu mungkin ada yang ikut mendorong agar Golkar melaksanakan munaslub untuk membentuk DPP baru. Padahal, bukan DPP Golkar baru yang lebih mereka harapkan. Mereka pasti lebih mengharapkan Golkar yang semakin rapuh sehingga kalah telak dalam pilkada serentak nanti. Patut diingatkan lagi bahwa Golkar juga pernah menghadapi ujian cukup berat pada 1999. Saat itu sejumlah elemen masyarakat menekan dan menuntut Golkar dibubarkan.

Karena solid, Golkar terbukti bisa melalui ujian itu, bahkan muncul sebagai pemenang kedua pada Pemilu 1999 dengan perolehan suara 22,44% dari total pemilih. Artinya, jika solid, sukses Golkar pada 1999 bisa terulang pada pilakda serentak 2015. Semoga. Dirgahayu Partai Golkar!

Koran SINDO, 26 Oktober 2015
Bambang Soesatyo | Bendahara Umum DPP Partai Golkar/ Anggota Komisi III DPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar