Selasa, 06 Oktober 2015

Ali Mustafa Yaqub: Maaf-memaafkan PKI



Maaf-memaafkan PKI
Oleh: Ali Mustafa Yaqub

Tragedi berdarah Gerakan 30 Sep tember Partai Komunis Indonesia (G-30-S/PKI) sudah terjadi 50 tahun yang lalu. Namun, tampaknya, luka-luka akibat peristiwa seputar itu masih belum sembuh total sampai sekarang.

Untuk menyembuhkan luka-luka itu, muncul wacana, bahkan tuntutan agar negara meminta maaf kepada anak-cucu anggota PKI. Sementara, di sisi lain muncul juga tuntutan agar anak-cucu anggota PKI meminta maaf lebih dahulu karena merekalah yang memulai perbuatan yang lazim disebut agresi sepihak PKI.

Ada yang mencoba menganalogikan pemberian maaf itu kepada perilaku Nabi Muhammad SAW ketika membebaskan Kota Makkah dari kontrol kaum musyrikin dalam operasi Fath Makkah pada Ramadhan, 8 Hijriyah. Selama tinggal di Makkah, Nabi SAW selalu diteror dan dizalimi oleh kaum musyrikin, sehingga beliau bersama umat Islam diperintahkan Allah untuk hijrah ke Madinah.

Delapan tahun kemudian, umat Islam menguasai Kota Suci Makkah. Pada saat itu, kaum musyrikin merasa ketakutan apabila Nabi SAW menghukum mereka dan ternyata Nabi Muhammad memaafkan dan tidak menghukumnya.

Analogi ini tampaknya tidak tepat karena baik Nabi SAW sebagai pihak yang dizalimi maupun kaum musyrikin sebagai pihak yang menzalimi, semuanya masih hidup. Sementara, untuk kasus PKI, baik yang dizalimi maupun yang menzalimi, saat ini sudah tidak ada di dunia.

Tampaknya, kejadian yang mungkin dapat menjadi acuan dalam kasus PKI ini adalah apa yang terjadi antara Huyay bin Akhthab al-Quradhy, tokoh Yahudi Bani Quraizhah, dengan Nabi Muhammad SAW. Huyay bin Akhthab sangat memusuhi dan menzalimi Nabi SAW.

Sementara, putrinya, Ummul Mukminin Shafiyyah binti Huyay, adalah seorang Muslimah yang menjadi istri Nabi SAW. Suatu saat, Nabi SAW berkata kepada istri beliau, Shafiyyah, "Hai Shafiyyah, ayahmu itu sampai mati selalu memusuhi dan meneror aku."

Shafiyyah yang bergelar Ummul Mukminin itu dengan cerdas menjawab, "Bukankah Allah telah berfirman bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain?" (QS al- An'am: 164). Tampaknya, Shafiyyah bermaksud bahwa kesalahan yang dilakukan oleh ayahandanya tidak secara otomatis menjadi tanggungannya.

Karenanya, Shafiyyah tidak meminta maaf kepada Rasulullah SAW atas kesalahan yang dilakukan oleh orang tuanya. Nabi SAW juga tidak memberikan pengarahan agar Shafiyyah meminta maaf kepada Nabi atas kesalahan ayahandanya.

Memang, dalam Hadis Riwayat Imam Muslim, Nabi SAW berkata, "Siapa di antara kalian yang pernah menzalimi saudaranya, baik menzalimi dirinya atau hartanya, maka hendaklah ia minta dihalalkan (dimaafkan) sebelum datang kematian."

Dalam hadis ini, permintaan maaf atau memberi maaf pada kesalahan sesama manusia adalah ketika masing-masing masih hidup. Apabila yang bersangkutan sudah meninggal dan belum saling maaf-memaafkan maka urusan selanjutnya adalah diselesaikan dalam pengadilan akhirat.

Pengadilan akhirat ini, dalam HR Imam Muslim lazim disebut dengan Hadis al- Muflis (orang yang pailit). Sekiranya, anak- cucu dari orang-orang yang zalim dan atau menzalimi itu dibenarkan untuk maaf- memaafkan atas kesalahan orang tua mereka yang sudah mati, niscaya Nabi SAW sudah mengajarkan hal itu dan HR Imam Muslim tadi tidak diperlukan.

Kasus PKI tampaknya lebih pas diselesaikan dengan pendekatan ini. Apabila ada anggota PKI yang menzalimi orang Islam dan ia sudah mati maka anak-cucunya tidak menanggung kesalahan orang tuanya, sehingga ia tidak perlu minta maaf kepada umat Islam. Sebaliknya, apabila ada orang Islam yang menzalimi anggota PKI dan ia sudah mati maka anak-cucunya juga tidak menanggung kesalahan yang dilakukan orang tuanya, sehingga ia tidak perlu meminta maaf kepada anak-cucu anggota PKI.

Hal itu karena masing-masing tidak memiliki kesalahan atas orang lain dan masing-masing tidak akan menanggung kesalahan orang tua mereka.

Dalam ajaran Islam, negara adalah sebuah lembaga atau institusi dan tidak disebut sebagai mukalaf (yang dibebani kewajiban dan tanggung jawab). Mukalaf adalah manusia, bukan institusi. Maka, apabila negara melakukan kezaliman, yang dikenai tanggung jawab adalah manusia (mukalaf) yang mengelola negara itu.

Yang kelak masuk surga atau neraka adalah manusia, bukan institusi. Oleh karena itu, negara tidak akan mendapatkan balasan surga atau neraka, melainkan adalah manusia yang mengelola negara itu.

Memang Islam juga mengajarkan agar kita meminta ampun kepada Allah SWT untuk diri kita, orang tua kita, dan orang lain. Namun, konteksnya adalah kesalahan atau dosa kepada Allah. Sementara, kesalahan kepada sesama manusia sudah diatur dalam dua HR Imam Muslim tadi.

Membicarakan maaf-memaafkan kepada PKI adalah membicarakan tentang fosil. Orang yang dizalimi atau yang menzalimi, semuanya telah mati. Alquran menyebutkan, "Mereka adalah orang-orang masa lampau.

Mereka akan mendapatkan balasan dari apa yang mereka kerjakan dan kamu semuanya akan mendapatkan balasan dari apa yang kalian kerjakan. Dan, kamu semuanya tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan." (QS al-Baqarah: 134).

Anak-cucu anggota PKI dan anak-cucu orang Muslim yang hidup semasa dengan anggota PKI, seyogianya tidak membicarakan fosil, tapi berbicara masalah kekinian yang dilandasi oleh sama-sama bersih tanpa memiliki kesalahan antara satu dengan yang lain. []

REPUBLIKA, 03 Oktober 2015
Ali Mustafa Yaqub | Imam Masjid Istiqlal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar