Kamis, 22 Oktober 2015

BamSoet: Setahun Nawacita Jokowi



Setahun Nawacita Jokowi
Oleh: Bambang Soesatyo

SETAHUN sudah pemerintahan Jokowi-JK berjalan. Saya melihat sembilan program kerja Jokowi-JK yang termaktub dalam Nawacita patut dipertanyakan. Saat ini Jokowi terjebak pada janji-janji kampanye. Fakta di lapangan, setelah Jokowi menjadi presiden, benarbenar tidak sama dengan janjinya. Ini dibuktikan selama sekitar setahun Jokowi menjabat presiden, banyak kekecewaan publik.

Rapor merah membayangi pemerintahan Jokowi-JK dalam satu tahun pertama ini. Di bidang ekonomi, kinerja Jokowi- JK jauh dari baik. Ada beberapa indikator yang menggambarkan rendahnya efektivitas itu. Mulai dari lonjakan harga beras pada periode Februari-Maret 2015, berlanjut dengan kelangkaan daging sapi setelah Idul Fitri tahun ini, kemudian penyerapan anggaran yang buruk hingga kejatuhan (depresiasi) rupiah. Terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga mencapai titik terendah Rp 14.700, tentu memprihatinkan. Padahal ketika Presiden Jokowi dilantik, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bertengger di kisaran Rp 9.500.

Dulu sempat tersiar kabar optimistis bahwa rupiah akan menguat setelah Jokowi menjadi presiden. Namun faktanya rupiah terjun bebas. Jika Jokowi tidak segera melakukan langkah penyelamatan, bukan tidak mungkin nilai tukar rupiah akan kembali terpuruk ke angka Rp 14.000 lebih. Pertumbuhan ekonomi juga menurun dari 6% menjadi 5%. Harga BBM dan kebutuhan pokok naik, inflasi serta utang luar negeri pun terus meningkat. Masyarakat kian terjepit dan susah memenuhi kebutuhan hidup. Di bidang kemandirian ekonomi, bagaimana mungkin mewujudkan kemandirian jika sektor-sektor strategis sudah dikuasai pihak asing. Kemandirian ekonomi hanya bisa diwujudkan jika pemerintah fokus dalam pembangunan dan melibatkan rakyat. Yang terjadi sekarang sebaliknya.

Di bidang hukum, sulit untuk meyakinkan diri bahwa pemerintah betul-betul melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan tepercaya. Publik menyaksikan, betapa beberapa pelaksanaan penegakan hukum belakangan ini dilakukan jauh dari cara yang bermartabat, dan sulit meraih kepercayaan publik. KPK yang beberapa tahun terakhir terbukti lebih efektif dalam menjalankan pemberantasan korupsi sehingga lebih dipercaya publik, justru mengalami pelemahan. Dalam konteks membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya, pemerintah dalam beberapa peristiwa justru mangkir dari tugas. Terbukti, pemerintahan Jokowi-JK ikut campur tangan dalam kehidupan politik terkait kepartaian, seperti yang dialami Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly seakan tak mampu memahami kedudukannya, apakah orang partai yang subjektif ataukah pejabat pengelola kehidupan kepartaian yang objektif dalam suatu sistem politik yang demokratis.

Di bidang ketatanegaraan, Presiden tampak keteteran. Presiden seolah tidak mampu mengendalikan sepak terjang pimpinan beberapa institusi negara. Kesan ini terkonfirmasi oleh disharmoni anggota Kabinet Kerja, yang justru terjadi beberapa hari setelah reshuffle kabinet. Menteri Koordinator mengkritik program yang menjadi prioritas Presiden. Sang Menko pun mendapat perlawanan dari para menteri dan seorang direktur BUMN. Apa yang sedang terjadi di tubuh Kabinet Kerja akhir-akhir ini sungguh sulit dipahami. Semua ini menjadi tontotan masyarakat.

Harap digarisbawahi oleh Presiden bahwa kali ini, kegaduhan itu justru bersumber dari Istana, tepatnya dari Kabinet Kerja yang dikomandani oleh Presiden Jokowi. Wajar jika kemudian publik curiga, Istana tengah memainkan manajemen konflik karena kegaduhan itu dibiarkan berlarut-larut. Persoalannya bukan semata- mata siapa yang paling benar dan salah. Keprihatinan banyak kalangan lebih tertuju pada soliditas kabinet yang sudah barang tentu sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan Presiden Jokowi. Manajemen konflik di tubuh kabinet kerja bisa menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat dan dunia usaha.

Contohnya dalam proyek pembangkit listrik 35.000 Megawatt (MW). Investor sempat ragu dan mempertanyakan kepastian target daya. Soalnya, seorang Menko mengatakan paling realistis untuk lima tahun ke depan adalah target 16.000 MW, sementara presiden bersikukuh 35.000 MW. Rongrongan dari partai pendukung presiden ikut menambah rumit konsolidasi pemerintahan. PDIP sering berperilaku sebagai oposisi. Menyerang para pembantu terdekat Presiden yang disebut dengan ‘’Trio Macan Istana’’ hingga terus mendesak presiden me-reshuffle kabinet. Memang Nawacita Jokowi-JK berisikan program-program yang tidak mudah untuk diwujudkan. Perlu dukungan penuh dari kabinet yang mampu dan mau merealisasikannya melalui kerja keras, agar Nawacita tidak berubah menjadi Nawasiksa. []

SUARA MERDEKA, 20 Oktober 2015
Bambang Soesatyo, Sekretaris Fraksi Golkar DPR dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar