Setahun Nawacita Jokowi
Oleh: Bambang Soesatyo
SETAHUN sudah pemerintahan Jokowi-JK berjalan. Saya melihat
sembilan program kerja Jokowi-JK yang termaktub dalam Nawacita patut
dipertanyakan. Saat ini Jokowi terjebak pada janji-janji kampanye. Fakta di
lapangan, setelah Jokowi menjadi presiden, benarbenar tidak sama dengan
janjinya. Ini dibuktikan selama sekitar setahun Jokowi menjabat presiden,
banyak kekecewaan publik.
Rapor merah membayangi pemerintahan Jokowi-JK dalam satu tahun
pertama ini. Di bidang ekonomi, kinerja Jokowi- JK jauh dari baik. Ada beberapa
indikator yang menggambarkan rendahnya efektivitas itu. Mulai dari lonjakan
harga beras pada periode Februari-Maret 2015, berlanjut dengan kelangkaan
daging sapi setelah Idul Fitri tahun ini, kemudian penyerapan anggaran yang
buruk hingga kejatuhan (depresiasi) rupiah. Terpuruknya nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS hingga mencapai titik terendah Rp 14.700, tentu memprihatinkan.
Padahal ketika Presiden Jokowi dilantik, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
bertengger di kisaran Rp 9.500.
Dulu sempat tersiar kabar optimistis bahwa rupiah akan menguat
setelah Jokowi menjadi presiden. Namun faktanya rupiah terjun bebas. Jika
Jokowi tidak segera melakukan langkah penyelamatan, bukan tidak mungkin nilai
tukar rupiah akan kembali terpuruk ke angka Rp 14.000 lebih. Pertumbuhan
ekonomi juga menurun dari 6% menjadi 5%. Harga BBM dan kebutuhan pokok naik,
inflasi serta utang luar negeri pun terus meningkat. Masyarakat kian terjepit
dan susah memenuhi kebutuhan hidup. Di bidang kemandirian ekonomi, bagaimana
mungkin mewujudkan kemandirian jika sektor-sektor strategis sudah dikuasai
pihak asing. Kemandirian ekonomi hanya bisa diwujudkan jika pemerintah fokus
dalam pembangunan dan melibatkan rakyat. Yang terjadi sekarang sebaliknya.
Di bidang hukum, sulit untuk meyakinkan diri bahwa pemerintah
betul-betul melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat dan tepercaya. Publik menyaksikan, betapa beberapa pelaksanaan
penegakan hukum belakangan ini dilakukan jauh dari cara yang bermartabat, dan
sulit meraih kepercayaan publik. KPK yang beberapa tahun terakhir terbukti
lebih efektif dalam menjalankan pemberantasan korupsi sehingga lebih dipercaya
publik, justru mengalami pelemahan. Dalam konteks membangun tata kelola
pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya, pemerintah dalam
beberapa peristiwa justru mangkir dari tugas. Terbukti, pemerintahan Jokowi-JK
ikut campur tangan dalam kehidupan politik terkait kepartaian, seperti yang
dialami Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar. Menteri Hukum dan HAM
Yasonna Laoly seakan tak mampu memahami kedudukannya, apakah orang partai yang
subjektif ataukah pejabat pengelola kehidupan kepartaian yang objektif dalam
suatu sistem politik yang demokratis.
Di bidang ketatanegaraan, Presiden tampak keteteran. Presiden
seolah tidak mampu mengendalikan sepak terjang pimpinan beberapa institusi
negara. Kesan ini terkonfirmasi oleh disharmoni anggota Kabinet Kerja, yang
justru terjadi beberapa hari setelah reshuffle kabinet. Menteri Koordinator
mengkritik program yang menjadi prioritas Presiden. Sang Menko pun mendapat
perlawanan dari para menteri dan seorang direktur BUMN. Apa yang sedang terjadi
di tubuh Kabinet Kerja akhir-akhir ini sungguh sulit dipahami. Semua ini
menjadi tontotan masyarakat.
Harap digarisbawahi oleh Presiden bahwa kali ini, kegaduhan itu
justru bersumber dari Istana, tepatnya dari Kabinet Kerja yang dikomandani oleh
Presiden Jokowi. Wajar jika kemudian publik curiga, Istana tengah memainkan
manajemen konflik karena kegaduhan itu dibiarkan berlarut-larut. Persoalannya
bukan semata- mata siapa yang paling benar dan salah. Keprihatinan banyak
kalangan lebih tertuju pada soliditas kabinet yang sudah barang tentu sangat
dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan Presiden Jokowi. Manajemen konflik di tubuh
kabinet kerja bisa menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat dan dunia usaha.
Contohnya dalam proyek pembangkit listrik 35.000 Megawatt (MW).
Investor sempat ragu dan mempertanyakan kepastian target daya. Soalnya, seorang
Menko mengatakan paling realistis untuk lima tahun ke depan adalah target
16.000 MW, sementara presiden bersikukuh 35.000 MW. Rongrongan dari partai
pendukung presiden ikut menambah rumit konsolidasi pemerintahan. PDIP sering
berperilaku sebagai oposisi. Menyerang para pembantu terdekat Presiden yang
disebut dengan ‘’Trio Macan Istana’’ hingga terus mendesak presiden
me-reshuffle kabinet. Memang Nawacita Jokowi-JK berisikan program-program yang
tidak mudah untuk diwujudkan. Perlu dukungan penuh dari kabinet yang mampu dan
mau merealisasikannya melalui kerja keras, agar Nawacita tidak berubah menjadi
Nawasiksa. []
SUARA MERDEKA, 20 Oktober 2015
Bambang Soesatyo, Sekretaris Fraksi Golkar DPR dan Wakil Ketua
Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar