Kecerdasan
Kewargaan
Oleh:
Yudi Latif
Asap
tebal yang mengepung langit barat Indonesia adalah tamsil kegelapan langit jiwa
bangsa kita. Ada banyak gerak-gerik, kegaduhan, dan keluhan di ruang publik,
tetapi semua tingkah polah seperti meraba dalam gelap. Tiada bintang pimpinan
(leit star) ke mana langkah harus menuju.
Hari
Kesaktian Pancasila masih diperingati sebagai upacara, tetapi keampuhan
nilai-nilainya sebagai pedoman kehidupan bangsa dan negara makin pudar. Khotbah
sosialisasi Pancasila berhenti sebagai goyang lidah dengan kedalaman cuma
sampai tenggorokan. Seruan revolusi mental sebagai ikhtiar menggelorakan jiwa
Pancasila sayup terdengar, seakan hanyut dilamun ombak.
Dalam
gelap, kendala utama adalah penglihatan. Banyak orang menawarkan jalan keluar
dengan visi yang kabur. Krisis multidimensional yang melanda bangsa dicoba
dicari akarnya pada persoalan jati diri. Namun, konseptualisasi jati diri itu
sendiri tidak didefinisikan secara jelas. Akibatnya, obat yang diberikan tidak
berdasarkan diagnosis penyakit yang cermat.
Setelah
ukuran kecerdasan diri berbasis intelligence quotient (IQ) dianggap tak memadai
menjawab krisis kedirian, program pendidikan dan pelatihan kepribadian
berpaling pada pengembangan jenis kecerdasan lain, terutama yang berbasis
emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ).
Usaha
menyelesaikan persoalan jati diri dengan ukuran-ukuran itu memang patut
diapresiasi. Persoalannya, apakah faktor IQ, EQ, dan SQ itu sudah tepat
menyasar sisi terlemah dari kedirian bangsa ini?
Untuk
memberikan kerangka penilaian, kita harus ingat bahwa diri manusia terdiri atas
dua bagian: kedirian privat (private self) yang bersifat personal dan khas
serta kedirian publik (public self) yang melibatkan relasi sosial. Keduanya
bisa dibedakan, tetapi tak bisa dipisahkan.
Dengan
kerangka itu, kita bisa melihat bahwa problem kedirian manusia Indonesia pada
dasarnya tidaklah bersumber dari kecerdasan diri privat. Secara IQ, manusia
Indonesia bukanlah kelompok manusia dengan defisit kepintaran. Tandanya bisa
dilihat dari berbagai olimpiade internasional di bidang matematika, fisika, dan
kimia. Anak Indonesia tidak saja bisa bersaing dengan utusan negara terpandang,
seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok, bahkan berulang kali berhasil
merebut predikat juara umum.
Manusia
Indonesia juga relatif memiliki kematangan emosional. Berbagai tradisi budaya
Indonesia sudah teruji menanamkan ketahanan emosional, seperti kemampuan
pengendalian diri untuk tidak berlebihan (ngono yo ngono ning ojo ngono);
menjunjung tinggi yang positif, memendam yang negatif (mikul dhuwur, mendhem
jero); serta ketahanan menghadapi kesulitan.
Kecerdasan
spiritual juga relatif kuat. Manusia Indonesia pada umumnya bersifat
”religius”. Dalam ukuran paling kasatmata, kita bisa melihat bagaimana rumah ibadah
dan partisipasi ibadah meningkat; pertumbuhan jemaah calon haji dan umrah
melambung; serta majelis zikir, penghayat tarekat, yoga, dan ajaran
spiritualitas lain menjamur.
Sisi
terlemah manusia Indonesia justru mencolok pada aspek kedirian bersifat publik.
Hal ini mudah dilihat dari bagaimana orang berlatar pribadi baik dengan mudah
hanyut dalam arus keburukan begitu terjun ke politik. Kita juga bisa
menyaksikan, hampir semua hal bersifat kolektif mengalami dekadensi: partai
politik sakit, lembaga perwakilan sakit, birokrasi sakit, aparatur penegak
hukum dan keamanan-pertahanan sakit, bahkan organisasi keagamaan berskala besar
pun mulai menunjukkan gejala sakit.
Krisis
pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kelalaian dunia pendidikan
dan pembudayaan mengembangkan ”kecerdasan kewargaan” (civic quotient).
Pendidikan terlalu menekankan kecerdasan personal dengan mengabaikan usaha
menautkan keragaman kecerdasan personal ke dalam kecerdasan kolektif-kewargaan.
Setiap individu dibiarkan menjadi deret ”huruf” alfabet tanpa disusun secara
kesatuan dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika) ke dalam ”kata” dan ”kalimat”
bersama. Akibatnya, banyak manusia baik dan cerdas tidak menjadi warga negara
dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar akan kewajiban dan
haknya).
Padahal,
bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk, dengan pecahan yang banyak
jumlahnya, tidak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebaikan bersama kalau tidak
menemukan bilangan penyebut yang sama (common denominator) sebagai ekspresi
identitas dan kehendak bersama. Oleh karena itu, pendidikan kecerdasan
kewargaan berlandaskan Pancasila merupakan jurus pamungkas yang paling
dibutuhkan.
Pengembangan
kecerdasan kewargaan lebih fundamental bagi suatu bangsa yang ingin membebaskan
diri dari kolonisasi individualisme yang mendorong kapitalisme dan
kolonialisme. Postulat dasar individualisme meyakini bahwa relasi sosial bukan
pembentuk perseorangan dalam pengalamannya yang paling fundamental. Relasi
sosial memang sesuatu yang terjadi pada individu, tetapi tidak dipandang
sebagai sesuatu yang mendefinisikan identitas dan mengoordinasikan eksistensi
individu. Ungkapan yang sangat terkenal dari individualisme menyatakan, ”Kamu
datang ke dunia seorang diri dan meninggalkan dunia seorang diri”. Meski
demikian, kenyataannya tidak ada seorang pun lahir ke dunia secara sendirian.
Selalu ada ibu dan budaya komunitas yang menyertainya, bahkan mengantarnya
hingga ke ”tempat peristirahatan yang terakhir”. []
KOMPAS, 6
Oktober 2015
Yudi
Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia; Pendapat Pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar