Kamis, 08 Oktober 2015

Yudi Latif: Kecerdasan Kewargaan



Kecerdasan Kewargaan
Oleh: Yudi Latif

Asap tebal yang mengepung langit barat Indonesia adalah tamsil kegelapan langit jiwa bangsa kita. Ada banyak gerak-gerik, kegaduhan, dan keluhan di ruang publik, tetapi semua tingkah polah seperti meraba dalam gelap. Tiada bintang pimpinan (leit star) ke mana langkah harus menuju.

Hari Kesaktian Pancasila masih diperingati sebagai upacara, tetapi keampuhan nilai-nilainya sebagai pedoman kehidupan bangsa dan negara makin pudar. Khotbah sosialisasi Pancasila berhenti sebagai goyang lidah dengan kedalaman cuma sampai tenggorokan. Seruan revolusi mental sebagai ikhtiar menggelorakan jiwa Pancasila sayup terdengar, seakan hanyut dilamun ombak.

Dalam gelap, kendala utama adalah penglihatan. Banyak orang menawarkan jalan keluar dengan visi yang kabur. Krisis multidimensional yang melanda bangsa dicoba dicari akarnya pada persoalan jati diri. Namun, konseptualisasi jati diri itu sendiri tidak didefinisikan secara jelas. Akibatnya, obat yang diberikan tidak berdasarkan diagnosis penyakit yang cermat.

Setelah ukuran kecerdasan diri berbasis intelligence quotient (IQ) dianggap tak memadai menjawab krisis kedirian, program pendidikan dan pelatihan kepribadian berpaling pada pengembangan jenis kecerdasan lain, terutama yang berbasis emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ).

Usaha menyelesaikan persoalan jati diri dengan ukuran-ukuran itu memang patut diapresiasi. Persoalannya, apakah faktor IQ, EQ, dan SQ itu sudah tepat menyasar sisi terlemah dari kedirian bangsa ini?

Untuk memberikan kerangka penilaian, kita harus ingat bahwa diri manusia terdiri atas dua bagian: kedirian privat (private self) yang bersifat personal dan khas serta kedirian publik (public self) yang melibatkan relasi sosial. Keduanya bisa dibedakan, tetapi tak bisa dipisahkan.

Dengan kerangka itu, kita bisa melihat bahwa problem kedirian manusia Indonesia pada dasarnya tidaklah bersumber dari kecerdasan diri privat. Secara IQ, manusia Indonesia bukanlah kelompok manusia dengan defisit kepintaran. Tandanya bisa dilihat dari berbagai olimpiade internasional di bidang matematika, fisika, dan kimia. Anak Indonesia tidak saja bisa bersaing dengan utusan negara terpandang, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok, bahkan berulang kali berhasil merebut predikat juara umum.

Manusia Indonesia juga relatif memiliki kematangan emosional. Berbagai tradisi budaya Indonesia sudah teruji menanamkan ketahanan emosional, seperti kemampuan pengendalian diri untuk tidak berlebihan (ngono yo ngono ning ojo ngono); menjunjung tinggi yang positif, memendam yang negatif (mikul dhuwur, mendhem jero); serta ketahanan menghadapi kesulitan.

Kecerdasan spiritual juga relatif kuat. Manusia Indonesia pada umumnya bersifat ”religius”. Dalam ukuran paling kasatmata, kita bisa melihat bagaimana rumah ibadah dan partisipasi ibadah meningkat; pertumbuhan jemaah calon haji dan umrah melambung; serta majelis zikir, penghayat tarekat, yoga, dan ajaran spiritualitas lain menjamur.

Sisi terlemah manusia Indonesia justru mencolok pada aspek kedirian bersifat publik. Hal ini mudah dilihat dari bagaimana orang berlatar pribadi baik dengan mudah hanyut dalam arus keburukan begitu terjun ke politik. Kita juga bisa menyaksikan, hampir semua hal bersifat kolektif mengalami dekadensi: partai politik sakit, lembaga perwakilan sakit, birokrasi sakit, aparatur penegak hukum dan keamanan-pertahanan sakit, bahkan organisasi keagamaan berskala besar pun mulai menunjukkan gejala sakit.

Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kelalaian dunia pendidikan dan pembudayaan mengembangkan ”kecerdasan kewargaan” (civic quotient). Pendidikan terlalu menekankan kecerdasan personal dengan mengabaikan usaha menautkan keragaman kecerdasan personal ke dalam kecerdasan kolektif-kewargaan. Setiap individu dibiarkan menjadi deret ”huruf” alfabet tanpa disusun secara kesatuan dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika) ke dalam ”kata” dan ”kalimat” bersama. Akibatnya, banyak manusia baik dan cerdas tidak menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar akan kewajiban dan haknya).

Padahal, bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk, dengan pecahan yang banyak jumlahnya, tidak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebaikan bersama kalau tidak menemukan bilangan penyebut yang sama (common denominator) sebagai ekspresi identitas dan kehendak bersama. Oleh karena itu, pendidikan kecerdasan kewargaan berlandaskan Pancasila merupakan jurus pamungkas yang paling dibutuhkan.

Pengembangan kecerdasan kewargaan lebih fundamental bagi suatu bangsa yang ingin membebaskan diri dari kolonisasi individualisme yang mendorong kapitalisme dan kolonialisme. Postulat dasar individualisme meyakini bahwa relasi sosial bukan pembentuk perseorangan dalam pengalamannya yang paling fundamental. Relasi sosial memang sesuatu yang terjadi pada individu, tetapi tidak dipandang sebagai sesuatu yang mendefinisikan identitas dan mengoordinasikan eksistensi individu. Ungkapan yang sangat terkenal dari individualisme menyatakan, ”Kamu datang ke dunia seorang diri dan meninggalkan dunia seorang diri”. Meski demikian, kenyataannya tidak ada seorang pun lahir ke dunia secara sendirian. Selalu ada ibu dan budaya komunitas yang menyertainya, bahkan mengantarnya hingga ke ”tempat peristirahatan yang terakhir”. []

KOMPAS, 6 Oktober 2015
Yudi Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia; Pendapat Pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar