Seratus Smart City untuk Mengejar Ketertinggalan
Oleh:
Dahlan Iskan
Inilah
kejutan terbaru dari pimpinan baru India hasil pemilu tahun lalu: membangun
sekaligus seratus smart city. Kota baru yang didesain langsung meloncat
menggunakan serba teknologi informasi. ”Ini memang janji dalam kampanye pemilu
tahun lalu,” ujar Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi seperti dikutip luas
media di India.
Yang menarik adalah cara mewujudkan program itu. Pemerintah pusat
menawarkan kepada semua wali kota yang berminat membangun kota baru. Pemerintah
pusat akan memberikan bantuan dana. Tidak semua usulan diterima. Dibatasi
seratus kota baru. Dana yang disediakan memang tidak besar, hanya Rp 15
triliun.
Usulan itu akan dinilai berdasar 13 kriteria. Antara lain
keseriusan wali kotanya. Ini bisa dilihat dari track record (rekam jejak) wali
kota dan pemerintahannya selama ini. Juga dilihat kedisiplinannya dalam
menggunakan anggaran. Kesiapan aparatnya. Kemampuan mengelola sumber
pendapatan. Yang tidak mencapai skor 70 langsung digugurkan.
Dalam enam bulan proses seleksi itu sudah selesai. Bulan lalu
nama-nama calon seratus kota cerdas itu sudah diumumkan (lihat daftarnya di JPNN.com). Yang
terbanyak dari Negara Bagian Gujarat, kampung halaman sang PM. Tujuh kota. Ini
bukan karena kolusi. Gujarat memang paling siap.
Sejak saya ke Gujarat enam tahun lalu, negara bagian kelahiran
Mahatma Gandhi itu sudah memiliki pengalaman membangun smart city. Yakni kota
baru di dekat Gandhiabad, yakni Gandhinagar. Saya pernah menuliskannya waktu
itu. Berarti dalam waktu dekat akan ada enam kota lagi yang dibangun dengan
konsep seperti Gandhinagar.
Pengalaman membangun Gandhinagar itulah yang rupanya memberikan
inspirasi bagi PM Modi untuk membangun seratus smart city di seluruh India.
Waktu itu Modi memang menjadi gubernur Gujarat. Dua periode (2003–2012). Sukses
besar. Pertumbuhan ekonomi Gujarat, selama masa pemerintahannya, adalah yang
tertinggi di antara seluruh negara bagian di India. Sampai 10,3 persen.
Menyamai prestasi pertumbuhan ekonomi di Tiongkok saat itu.
India kini memang lagi jadi ”bintang ekonomi” Asia. Terutama
setelah pertumbuhan ekonomi Tiongkok merosot dua tahun terakhir. Apalagi,
negara-negara yang termasuk ”bintang dunia” (Brasil, Rusia, India, Tiongkok,
dan Afrika Selatan) mengalami penurunan ekonomi, kecuali India.
India yang selama ini kita kenal dengan kota-kotanya yang kotor
dan kumuh kelihatannya menuju proses perubahan yang drastis. Tidak mau kalah
dengan Tiongkok. Bahkan langsung meloncat. Di Tiongkok gerakan itu dimulai dari
kota prototipe Shenzhen. Lalu menginspirasi Wali Kota Dalian, Provinsi
Liaoning, Li Keqiang (kini PM Tiongkok). Sukses Dalian ditiru secara masal oleh
seluruh kota di negara itu.
Di India dimulai oleh Gubernur Modi dari kota prototipe
Gandhinagar di Gujarat. Langsung dikopi PM Modi ke seratus kota di semua negara
bagian di India.
Dari mana para wali kota itu dapat pembiayaan? Bukankah bantuan
pusat hanya kecil? Hanya lebih berfungsi sebagai stimulus.
Pusat mengizinkan pemkot menjalin kerja sama dengan investor. Maka
investor asing akan banyak menyerbu negara itu. Mereka sangat percaya dengan
reputasi dan prestasi PM Modi. India memang sudah lama meninggalkan prinsip
swadesi atau berdikari. Sejak negara itu terancam bangkrut tahun 1989.
Sebagai negara demokrasi yang multipartai, program raksasa ini
bukan tidak menghadapi tantangan. Apalagi, India juga menganut sistem
desentralisasi yang kuat. Pengkritiknya tiap hari membuat bising media sosial.
Yang meragukan kesiapan birokrasinya lah. Yang mengecam kemampuan pemerintah
daerahnya lah. Yang mengkhawatirkan merebaknya korupsi lah. Yang ketakutan akan
modal asing lah. Dan seterusnya. Sangat mirip seperti kita di Indonesia. Bahkan
lebih banyak nehi-nehinya lagi.
”Yang diperlukan India adalah bantuan untuk membangun jutaan kakus
umum. Bukan seratus smart city,” tulis aktivis di Twitter.
Tapi, Modi dikenal sangat keras dengan prinsipnya. Juga
rasionalitasnya. Meski mengalahkan pemerintahan lama yang berbeda partai, Modi
tetap meneruskan kebijakan ekonomi yang sudah terbukti sangat baik itu. Bahkan
lebih agresif lagi. India sudah lebih sepuluh tahun berpengalaman mengatasi
keruwetan membangun jalan tol. Terutama problem pembebasan tanahnya.
Ribuan gugatan dilancarkan para pemilik tanah. Jalan tol akan
menggusur dan memiskinkan mereka. Sidang-sidang di pengadilan berjalan terus.
Tapi, pembangunan jalan tol tidak berhenti. Sejak membangun jalan tol
pertamanya sepanjang 27 km di dekat ibu kota New Delhi, kini India memiliki
lebih 1.000 km jalan tol. Dan masih ribuan kilometer yang dalam proses
pengerjaan. Satu perusahaan Spanyol saja, Isolux Corsan, mendapat konsesi
selama 30 tahun untuk membangun jalan tol sepanjang 600 km. Yakni antara Mumbai
ke Gujarat.
Pembangunan jalan tol itu semula ributnya bukan main. Sempat macet
beberapa tahun. Tapi, lama-kelamaan rakyat merasakan enaknya lewat jalan tol.
Bahkan bila gerbang tolnya bikin macet sedikit saja sudah marah. Banyak
gerbang tol yang dirusak gara-gara lama antre bayar tol. Terpaksa
pemerintahnnya turun tangan. Diubah semua menjadi gerbang tol otomatis.
Pengalaman ”dulu susah kini senang” itulah yang dimanfaatkan untuk
melancarkan pembangunan seratus smart city. Kalau pembangunan smart city ini
sukses, rakyat akan bangga. Tidak malu lagi disebut sebagai negara kumuh.
Rakyat akan merasakan bedanya tinggal di tempat kumuh dan di smart city.
Tentu keluhan tak hanya datang dari rakyatnya, tapi juga dari
investor. Banyak yang meragukan keruwetan birokrasinya. Termasuk keruwetan
pengaturan hewannya. Banyak jalan tol yang terganggu karena lalu lintas sapi
yang dibebaskan berkeliaran. Memang, di India polisi pun tidak akan menindak
sapi. Sapi adalah hewan yang sangat dimuliakan setara dewa di sana.
Gema dan derap proyek seratus smart city ini akan meningkatkan
gairah pembangunan dan optimisme di negara itu. Seperti juga Tiongkok dulu,
kini India lagi mengejar ketertinggalannya. Bisa jadi, yang dikejar tiba-tiba
saja sudah di belakang mereka. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar