Kamis, 29 Oktober 2015

Kang Sobary: Drama dan Revolusi Mental



Drama dan Revolusi Mental
Oleh: Mohamad Sobary

Keresahan politik berkembang di hati rakyat. Mereka menyadari tatanan kehidupan sudah semakin rusak. Para penggede negara sudah lupa. Para pemimpin rohani tetap sibuk berjualan ayat-ayat suci untuk memperkaya diri sendiri.

Rakyat tersiasia. Keadilan ditunda-tunda. Rakyat menyadari pula, di negeri ini selembar daun kering lebih berharga dari rakyat itu sendiri. Betapa getir kehidupan negeri ini. Dan, betapa nista penggede-penggede kita. Mereka pun bertanya: kapan rakyat menjadi raja? Mengapa kita lupa memperjuangkannya?

Kapan rakyat makan enak? Kapan rakyat sehat- sehat? Kapan rakyat boleh pinjam uang di bank? Kapan rakyat punya rumah? Kapan rakyat kebagian pekerjaan? Kapan rakyat didatangi keadilan? Kapan rakyat berhenti menjadi TKI? Kapan pemerintah berhenti menipu diri? Rakyat menanti datangnya Ratu Adil yang bakal mengatur lakon ”Kapan Rakyat Menjadi Raja”.

Situasi politik kelihatannya sudah begitu darurat. Setitik kecil api pun bisa menyulut kemarahan dan membakar kota-kota. Ini berbahaya. Rakyat marah besar. Mereka bisa betriwikrama. Dan datanglah goro-goroyang membikin kekacauan. Goro-goro itu tanda bakal terjadi perubahan alam serta zaman. Juga, tatanan politik. Terjadilah suatu perubahan besar.

***

Itulah yang digambarkan dalam pentas drama Teater Kubur, di Kantor BPJS Kesehatan, di Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Drama ini ditampilkan untuk menjadi sejenis ”preamble” atau ”mukadimah” bagi gerakan demi gerakan Revolusi Mental, yang kelihatannya akan menjadi suatu gerakan nasional. Drama itu bertanya: Kapan rakyat dimakmurkan hidupnya, kapan rakyat diberi kedaulatan nyata di dalam kehidupan politik.

Ringkasnya, secara metaforik, kapan rakyat berhak menjadi raja. Dan, Revolusi Mental itu memberi jawaban: sekarang. Sekarang inilah saatnya rakyat menjadi raja. Saatnya sudah tiba. Kira-kira begitu gagasan dasar di dalam benak Presiden Jokowi. Birokrasi harus cekatan. Kepada mereka itu Revolusi Mental pertama-tama diterapkan. Birokrasi pemerintahan harus bekerja. Birokrasi jangan bising.

Birokrasi jangan kebanyakan kata-kata. Bekerjalah. Ambil tindakan. Perbaiki kehidupan rakyat, lewat kerja, lewat tindakan. Revolusi Mental memang untuk mengubah kehidupan. Tapi, di dalam birokrasi masih banyak kata-kata. Pejabat tinggi bertengkar dengan sesama pejabat tinggi.

Kantor pemerintahan, tempat bekerja tekun, berubah menjadi seperti ruang seminar di mana debat mendebat dan omong demi omong berjalan terus. DPR? Anggota bertengkar dengan sesama anggota. Mereka merenggut ”kerah” satu sama lain rebutan tulang bernama anggaran. Mereka bertarung berebut kekuasaan.

Kata rakyat, di benak mereka terhapus. Rakyat tidak ada. Dan, betapa celaka kalau Revolusi Mental itu terjerumus ke dalam penataran, dan hanya menjadi penataran membosankan, yang memperbanyak kata-kata, seperti penataran P4 zaman Pak Harto yang perkasa dulu. Oo…. betapa mahal biaya kehidupan birokrasi kita. Dana penataran melimpah takterbatas.

Semua habis tandas. Hasilnya? Pusat indoktrinasi ideologis itu pesta-pora. Duit hanya seperti sampah. Tapi, duit tetap duit. Semelimpah apa pun, hanya khusus mereka sendiri yang menikmatinya. Tidak ada selembar pun yang tercecer. Jadi, jelaslah kehidupan rakyat tak berubah seinci pun. Ini hanya jika benar bahwa perubahan bisa diukur dengan ukuran panjang seperti itu.

Revolusi Mental harus waspada. Jangan mengulang lagi tragedi bangsa yang begitu getir itu. Presiden Jokowi harus punya acara. Ibu Puan harus jeli. Soalnya penyimpangan sering terjadi sembunyi-sembunyi. Segalanya seolah sudah benar adanya. Ya. Memang. Mengubah hidup, mungkin pertama-tama sikap birokrasi pemerintahan sendiri, tak bisa ditempuh dengan ceramah, pidato, atau penataran.

BPJS Kesehatan sudah dipilih menjadi percontohan. Jumat, minggu lalu, acara besar, tingkat nasional, diselenggarakan di sana, menandai gerak Revolusi Mental itu perlahan-lahan. Di dalam kabinet, program itu dilimpahkan oleh Presiden kepada Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Langkah awal sudah diambil. Jejaknya? Belum banyak. Juga, belum terlalu meyakinkan untuk menjawab persoalan ruwet birokrasi pemerintahan yang sudah sejak lama karatan.

Diperlukan lokomotif berkekuatan besar untuk menariknya. Juga, untuk merontokkan besi-besi karatan di dalamnya. Ada juga yang harus dipotong, dibuang, diganti. Ini mirip merombak dan menjebol dalam metafora politik Bung Karno dulu. Dan, sering ada kesulitan, kita tak bisa memasangnya kembali. Mungkin itu risiko sebuah revolusi. Kita tidak tahu bagaimana suara orang luar, suara media, tentang strategi ini.

Tapi, BPJS dipilih karena di lembaga itu ada gejala menarik. Kerja keras, membangun suatu komitmen untuk mengabdi pada kepentingan pelanggan secara profesional, ditempuh dengan serius, berkeringat, kadang dengan stres, dengan kecemasan. Tantangan demi tantangan dilawan dan ditundukkan.

Dan, pimpinan di pucuk tertinggi organisasi ini tak gentar pada tantangan. Kelihatannya tantangan itu malah membuatnya hidup. Kalau tantangan tidak ada? ”Mungkin, hidup tanpa tantangan bukan hidup. Di sini kita menyukai tantangan.” Menko Puan Maharani berpidato singkat. Dia mulai yakin, kata-kata tak usah terlalu banyak.

Revolusi Mental itu dianggap momentum memangkas kata-kata, menambah volume kerja, kerja, dan kerja. Birokrasi itu laboratorium teknis, atau pusat pertukangan, ”craftmenhip”, untuk mewujudkan kebijakan demi kebijakan untuk membikin rakyat tak lagi bertanya-tanya kapan rakyat makan enak, kapan rakyat sehat- sehat, seperti sudah disebut tadi.

Kapan rakyat menjadi raja, di BPJS jawabnya, kurang lebih ya sekarang ini. Mereka sudah bekerja lama, untuk membuktikan tekad mereka. Dalam acara besar minggu lalu itu, BPJS membuka diri, seluasluasnya. Sebagian untuk minta dikomentari, dikritik atau diberi tahu di mana kekurangan mereka. Tapi, sebagian lainnya untuk demonstrasi: inilah kami. Inilah sosok organisasi kami.

Dan, Menko Puan mungkin berkenan di hati menjadikan lembaga ini sebagai proyek pertamanya. Ini percontohan yang bisa dilihat, bisa diteladani lembagalembaga lain untuk memulai orientasi kehidupan baru, kiblat politik baru: Revolusi Mental. Drama pembuka pertemuan, persembahan Teater Kubur, mungkin memberi perspektif politik yang jelas, bahwa di negara Republik yang demokratis, rakyat memang selayaknya menjadi raja. Ini sebuah kewajaran. Kewajaran alam, kewajaran politik, kewajaran kebudayaan. BPJS berada di tengah kewajaran- kewajaran itu tanpa kebingungan, tanpa disorientasi. Gerak perubahan yang disadari, dan ditata secara profesional, jelas membuatnya selalu sadar di posisi mana dia berada. []

Koran SINDO, 27 Oktober 2015
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar