Berbahasa
Arab di Jepang
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla
Melihat negeri lain, seperti
mengenali benda-benda untuk pertama kali. Kita bertemu dengan orang-orang
dengan kulit, pakaian, bahasa, dan adat-istiadat yang sama sekali berbeda. Kita
bahkan harus menjumpai sebuah musim dan cuaca yang lain sama sekali, juga
makanan yang tak kita kenal selama ini.
Saya
belum sempat menonton film “Lost in Translation” yang mengambil latar belakang
kota Tokyo, Jepang. Tetapi, pertengahan Maret lalu saya berkunjung ke negeri
Timur yang menakjubkan itu. Sudah tentu banyak hal yang patut dicatat dari
kunjungan itu.
Datang
dari sebuah negeri di mana kota-kotanya kurang begitu tertata dengan rapi dan
bersih, hal pertama yang langsung menyambar mata saya ketika masuk ke kota
Tokyo adalah pemandangan kota yang begitu tertib, bersih, serta orang-orang
yang bersliweran ke mana-mana dengan “kereta angin” alias sepeda kaki.
Kepadatan
kota Tokyo tak jauh beda dengan Jakarta, tetapi kota ini masih menyisakan trotoar
yang nyaman buat jalan kaki dan bersepeda. Seandainya saya bisa melakukan hal
itu di Jakarta.
Ketika
saya turun di stasiun TCAT di Hakozaki, saya disambut oleh mahasiswa S3
University of Tokyo. Di taksi, saya mencoba berbicara bahasa Inggris dengan mahasiswa
itu, tetapi dia rupanya kurang lancar berbicara dalam bahasa itu.
Karena
saya mendatangi sebuah seminar tentang Islam yang diadakah oleh Japan
Association of Middle East Studies (JAMES), saya menduga dia mungkin bisa
berbicara dalam bahasa Arab. Dan benar, dia lancar sekali berbahasa Arab.
Sepanjang 20 menit perjalanan menuju hotel, saya berbicara dengan bahasa yang
selama ini identik dengan umat Islam itu.
Ini
adalah sesuatu yang aneh: saya harus berbicara dengan orang Jepang, dalam
bahasa Arab, di sebuah negeri yang selama ini tidak pernah saya kenal mempunyai
populasi Muslim yang cukup besar. Selama dua hari seminar, saya bertemu dengan
banyak sarjana Jepang yang sangat lancar berbahasa Arab, dan ahli dalam kajian
Islam di Timur Tengah.
Saya agak
merasa aneh, karena bertemu dengan sejumlah profesor Jepang yang melakukan
kajian tentang aspek-aspek kecil dalam sejarah Islam klasik. Ada seorang
profesor yang ahli tentang sejarah irigasi Mesir pada masa Dinasti Mamluk.
Ada
profesor lain yang ahli tentang tradisi upacara Maulid Nabi di Andalusia pada
abad pertengahan. Mahasiswa yang menjemput saya di stasiun itu, sedang
melakukan riset tentang sejarah kota Damaskus pada abad 14 dan 15 Masehi, dan
sangat fasih bercerita tentang buku karangan Ibn Asakir, “Tarikh Dimasyq”.
Saya
sempat berkunjung ke sebuah perpustakaan swasta, Toyo Bunko atau
Oriental Library, yang didirikan dan dibiayai oleh keluarga perusahaan besar,
Mitsubishi. Perpustakaan ini mempunyai koleksi ratusan ribu buku tentang
kebudayaan timur dalam pelbagai bahasa.
Saya
diajak keliling oleh Direktur Riset, Prof. Tsugitaka Sato, ke seluruh ruangan
perpustakaan, melihat koleksi ratusan ribu buku dan manuskrip tua yang
menakjubkan. Prof. Sato menghadiahkan sebuah buku yang baru ditulisnya, tentang
sosok seorang wali besar dari Asia Tengah, yaitu Ibrahim b. Adham. Sayang
sekali, saya tidak paham bahasa Jepang sehingga tak bisa menikmatinya. Bagi
anak-anak pesantren, sudah tentu tokoh Ibrahim b. Adham ini sangat dikenal.
Saya
benar-benar kaget, ternyata tradisi kajian Islam di Jepang cukup berkembang
dengan baik dan kukuh. Inilah yang menjelaskan kenapa muncul beberapa sarjana
Islam Jepang dalam tingkatan yang sejajar dengan para sarjana Islam di Barat,
seperti Prof. Toshihiko Izutsu atau Sachiko Murata, pengarang buku The Tao
of Islam yang terkenal itu.
Jepang tidak saja identik
dengan Sony atau Honda. Di negeri ini banyak hal tentang kajian
Islam yang patut diperhitungkan oleh sarjana Islam di Indonesia. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar