Selasa, 13 Oktober 2015

Ulil: Berbahasa Arab di Jepang



Berbahasa Arab di Jepang
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla

Melihat negeri lain, seperti mengenali benda-benda untuk pertama kali. Kita bertemu dengan orang-orang dengan kulit, pakaian, bahasa, dan adat-istiadat yang sama sekali berbeda. Kita bahkan harus menjumpai sebuah musim dan cuaca yang lain sama sekali, juga makanan yang tak kita kenal selama ini.

Saya belum sempat menonton film “Lost in Translation” yang mengambil latar belakang kota Tokyo, Jepang. Tetapi, pertengahan Maret lalu saya berkunjung ke negeri Timur yang menakjubkan itu. Sudah tentu banyak hal yang patut dicatat dari kunjungan itu.

Datang dari sebuah negeri di mana kota-kotanya kurang begitu tertata dengan rapi dan bersih, hal pertama yang langsung menyambar mata saya ketika masuk ke kota Tokyo adalah pemandangan kota yang begitu tertib, bersih, serta orang-orang yang bersliweran ke mana-mana dengan “kereta angin” alias sepeda kaki.

Kepadatan kota Tokyo tak jauh beda dengan Jakarta, tetapi kota ini masih menyisakan trotoar yang nyaman buat jalan kaki dan bersepeda. Seandainya saya bisa melakukan hal itu di Jakarta.

Ketika saya turun di stasiun TCAT di Hakozaki, saya disambut oleh mahasiswa S3 University of Tokyo. Di taksi, saya mencoba berbicara bahasa Inggris dengan mahasiswa itu, tetapi dia rupanya kurang lancar berbicara dalam bahasa itu.

Karena saya mendatangi sebuah seminar tentang Islam yang diadakah oleh Japan Association of Middle East Studies (JAMES), saya menduga dia mungkin bisa berbicara dalam bahasa Arab. Dan benar, dia lancar sekali berbahasa Arab. Sepanjang 20 menit perjalanan menuju hotel, saya berbicara dengan bahasa yang selama ini identik dengan umat Islam itu.

Ini adalah sesuatu yang aneh: saya harus berbicara dengan orang Jepang, dalam bahasa Arab, di sebuah negeri yang selama ini tidak pernah saya kenal mempunyai populasi Muslim yang cukup besar. Selama dua hari seminar, saya bertemu dengan banyak sarjana Jepang yang sangat lancar berbahasa Arab, dan ahli dalam kajian Islam di Timur Tengah.

Saya agak merasa aneh, karena bertemu dengan sejumlah profesor Jepang yang melakukan kajian tentang aspek-aspek kecil dalam sejarah Islam klasik. Ada seorang profesor yang ahli tentang sejarah irigasi Mesir pada masa Dinasti Mamluk.

Ada profesor lain yang ahli tentang tradisi upacara Maulid Nabi di Andalusia pada abad pertengahan. Mahasiswa yang menjemput saya di stasiun itu, sedang melakukan riset tentang sejarah kota Damaskus pada abad 14 dan 15 Masehi, dan sangat fasih bercerita tentang buku karangan Ibn Asakir, “Tarikh Dimasyq”.

Saya sempat berkunjung ke sebuah perpustakaan swasta, Toyo Bunko atau Oriental Library, yang didirikan dan dibiayai oleh keluarga perusahaan besar, Mitsubishi. Perpustakaan ini mempunyai koleksi ratusan ribu buku tentang kebudayaan timur dalam pelbagai bahasa.

Saya diajak keliling oleh Direktur Riset, Prof. Tsugitaka Sato, ke seluruh ruangan perpustakaan, melihat koleksi ratusan ribu buku dan manuskrip tua yang menakjubkan. Prof. Sato menghadiahkan sebuah buku yang baru ditulisnya, tentang sosok seorang wali besar dari Asia Tengah, yaitu Ibrahim b. Adham. Sayang sekali, saya tidak paham bahasa Jepang sehingga tak bisa menikmatinya. Bagi anak-anak pesantren, sudah tentu tokoh Ibrahim b. Adham ini sangat dikenal.

Saya benar-benar kaget, ternyata tradisi kajian Islam di Jepang cukup berkembang dengan baik dan kukuh. Inilah yang menjelaskan kenapa muncul beberapa sarjana Islam Jepang dalam tingkatan yang sejajar dengan para sarjana Islam di Barat, seperti Prof. Toshihiko Izutsu atau Sachiko Murata, pengarang buku The Tao of Islam yang terkenal itu.

Jepang tidak saja identik dengan Sony atau Honda. Di negeri ini banyak hal tentang kajian Islam yang patut diperhitungkan oleh sarjana Islam di Indonesia. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar