Tuhan Kebaikan, Tuhan Kejahatan
Oleh:
Ulil Abshar-Abdalla
Banyak
yang beranggapan bahwa pemikiran-pemikiran saya sangat “menuhankan” akal.
Anggapan ini terutama disampaikan oleh teman-teman Islam fundamentalis.
Teman-teman ini berpendapat bahwa akal itu, kalau diikuti, hanya akan menyeret
manusia kepada kesesatan. Alasannya, akal itu lemah, terbatas, dan karena itu
butuh petunjuk. Petunjuk yang sudah pasti benarnya hanya bisa datang dari
Tuhan.
Dengan kata lain, akal itu adalah “duta besar” Iblis dalam
kehidupan manusia. Iblis sesat karena menggunakan akalnya, sehingga ketika
diperintahkan sujud oleh Allah kepada Adam, Iblis menolak: “Khalaqtani min
narin, wa khalaqtahu min thin, Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia
[Adam] dari lempung,” demikian kata Qur’an.
Pertanyaan saya kemudian, apakah betul bahwa sumber kejahatan itu
di luar Tuhan? Apakah tidak mungkin kejahatan ada dalam Tuhan sendiri? Kalau
kejahatan secara mutlak di luar Tuhan, apakah dalam konsepsi monoteisme hal itu
tidak berujung kepada kemusyrikan, karena akibatnya adalah adanya dua Tuhan:
Tuhan Kebaikan (The Hero) dan Tuhan Kejahatan (The Villain)? Apakah itu tidak
menyekutukan Allah?
Ini masalah rumit yang sudah menjadi perdebatan klasik dari dulu.
Mungkin terlalu mewah memperdebatkan hal ini. Apalagi kita sedang bergairah
menghadapi pemilihan presiden untuk kali pertama. Tetapi, bagaimanapun juga,
perkenankan saya mengutarakan pikiran saya yang masih bersifat sementara ini.
Bagi saya, sebagai penganut monoteisme, wawasan yang lebih masuk
akal tentang ketuhanan adalah wawasan yang justru memandang Tuhan itu sendiri
sebagai “Dzat” atau “Being” atau “Wujud” yang sedang berproses juga. Bagi teman
yang pernah membaca pikiran filosof proses, Alfred Whitehead, konsepsi
ketuhanan yang berwatak “prosesual” ini sudah pasti tidak aneh dan mengagetkan.
Kebaikan dan kejahatan bersumber dari Tuhan yang sama, dan dalam
diri Tuhan memang terdapat dua aspek yang paradoksal. Paradoks ketuhanan itulah
yang kemudian “memancar” (ini istilah khas dalam filsafat: emanasi (al faidh)
ke dalam kehidupan manusia.
Jika manusia diciptakan dalam citra Tuhan (Imago Dei dalam
konsepsi Kristen; atau wa nafakhtu min ruhi dalam konsepsi Islam),
maka dengan sendirinya paradoks-paradoks yang ada dalam Tuhan sendiri akan
“mengalir” pula dalam watak dan psike manusia itu sendiri.
Sebagaimana Tuhan dalam dirinya mengalami semacam “proses” yang
melibatkan pertarungan antara yang “Baik” dan yang “Buruk”, sebagaimana Tuhan
dalam dirinya mengalami dialektika, maka demikian pula manusia. Inilah konsepsi
yang konsisten mengenai Tauhid, mengenai Tuhan yang satu: Tuhan Kebaikan sekaligus
Tuhan Kejahatan. Wallahu a’lam Bisshawab. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar